Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kemenkeu melalui Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/ Lembaga Wawan Sunarjo membeberkan subtansi dari aturan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“PMK Nomor 58 Tahun 2023 ini menggantikan PMK 155/PMK.02/2021 yang merupakan aturan tururnan dari PP Nomor 58 Tahun 2020 mengenai pengelolaan PNBP dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP,” ujar Wawan dalam konferensi pers di Gedung DJA Kemenkeu, Jakarta Pusat, pada Kamis, 8 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari berbagai materi, kata Wawan, ada beberapa hal yang dikembangkan dalam aturan itu. Berikut detailnya.
1. Mitra instansi pengelola (MIP) PNBP
Menurtu Wawan, MIP PNBP adalah pihak yang mempunyai hak atau diberikan kewenangan memungut PBNP. Di mana diberikan perubahan jangka waktu menjadi lebih dari setahun dan tergantung pada kontraknya.
“Mengapa demikian? Karena begini pada saat misalkan contohnya Visa On Arrival (VOA) maka Finnet mengembangkan sistem, yang tentunya butuh modal,” kata dia.
Sehingga jika hanya diberikan waktu hanya setahun, maka beban investasinya hanya dibagi dalam satu tahun saja. Hal itu justru memberatkan masyarakat (warga asing). Lain hal jika jangka waktu yang diberikan 3-5 tahun, biaya yang dibebankan kepada warga asing sebagai wajib bayarnya itu relatif lebih rendah.
“Ini kalau dulu belum jelas, berapa lama, maka kini kita buka bisa lebih dari satu tahun,” ucap Wawan.
2. Pembayaran dan penyetoran PNBP terutang
Wawan mengakui saat ini ada persaingan bisnis antar himbara atau himpunan bank milik negara. Bahkan, dia menjelaskan, himbara itu mendekati kementerian/ lembaga untuk melakukan “monopoli”. “Monopoli sistem penyetoan PNBP.”
Misalnya, dia mencontohkan, dulu pembayaran pembuatan surat izin mengemudi atau SIM hanya bisa melalui PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI dan Visa hanya bisa lewat PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI. Wawan menilai hal itu tidak adil.
Sehingga PMK Nomor 58 Tahun 2023 menegaskan bahwa kementerian/ lembaga tidak boleh melakukan kontrak kerja sama dengan hanya satu bank. Aturan itu mengharuskan kementerian/ lembaga membuka collecting agent atau loket pembayaran untuk semua bank.
Selanjutnya: “Yang tentu ini akan sangat memudahkan ..."
“Yang tentu ini akan sangat memudahkan masyarakat. Sontohnya saya tidak punya rekening di salah satu bank tersebut, enggak ada masalah tinggal ke bank lain,” tutur Wawan. Berbeda ketika masyarakat harus menggunakan ATM di bank lain yang justri memberatkan masyarakat.
“Yang ini kita atur bahwa kementerian/lembaga enggak boleh menunjuk, dia harus membuka kesempatan yang sama. Perkara ternyata bank tidak mau ikut, itu lain masalah. Itu pilihan,” kata dia.
3. Optimalisasi penagihan piutang PNBP
Wawan menjelaskan, dalam proses penagihan piutang, pihaknya mempunyai jangka waktu 6 bulan. Namun, hal ini keterkaitan dengan proses penagihan yang ada di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Di mana mereka mensyarakatkan adanya penagihan optimal.
Dia mencontohkan, misalnya haru mencari dulu wajib bayar PNBP sampai ketemu, kemudian dipaksa untuk membayar, dan lainnya. Menurut Wawan, pihaknya memberikan kelonggaran selama 3 bulan untuk kementerian/ lembaga melakukan upaya-upaya tambahan di dalam penagih piutang PNBP yang selama ini hanya 6 bulan.
“Sehingga selama 3 bulan misalkan itu diupayakan optimal, dicari, kalau tidak bisa baru diserahkan kepada KPKNL,” ucap Wawan.
4. Penggunaan dana PNBP
Pada bagian penggunaan dana ini, Wawan melihat adanaya masalah administrasi. Selama ini di penggunaan dana ini izinnya hanya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, termasuk jika ada penolakan dan sebagainya.
Untuk memberikan kepastian layanan yang lebih cepat, meskipun penggunaan dana PNBP ditolah, isinya cukup melalui Dirjen Anggaran Kemenkeu. “Nah administrasi seperti inilah yang menurut kami perlu dipermudah bagi kementerian/ lembaga. Cukup Pak Dirjen Anggaran yang tanda tangan, pelimpahan kewenangan administrasi maupun percepatan layanan kami kepada kementerian/ lembaga,” ujar dia.
5. Penilaian kinerja pengelolaan PNBP pada kementerian/ lembaga
Menurut Wawan, bagian ini agak unik. Karena kinerja pengelolaan PNBP ikut dimasukan ke dalam evaluasi kinerja anggaran kementerian/ lembaga. “Mulai dari bagaimana tata kelolanya, pelaporannya, ada tidaknya piutang tidak tertagih, hingga targetnya tercapai atau tidak,” ucap Wawan.
Sebagian orang mengenalnya indikator kinerja pelaksanaan anggaran (Ikpa), kinerja pengelolaan PNBP pada kementerian/ lembaga akan masuk di dalamnya. “Karena kita ingin reward and punishment PNBP, penganggaran, perencanaan, pelaksanaan anggaran kita jadikan satu di sana,” katanya.
Sehingga tidak meribetkan kementerian/ lembaga. “Apa saja sih yang akan diukur? Ya capaian target PNBP, akurasi perencanaan PNBP, kepatuhan penyampaian laporan pelaksanaan PNBP dan sebagainya,” tutur dia.
Selanjutnya: 6. Penguatan pengawasan PNBP oleh Menkeu...
6. Penguatan pengawasan PNBP oleh Menkeu
Dalam UU PNBP, ada beberapa hal yang menguatkan posisi Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di dalam pengawasan PNBP, dilakukan oleh dua unit, kementerian/ lembaga itu sendiri oleh Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Kemenkeu yang dalam hal ini di dalam PMK lama hanya dilakukan oleh DJA.
“Di sini kita bersama APIP Kemenkeu untuk melaksanaan pengawasan PNBP di kementerian/ lembaga yang lain. Tentunya kita tetap berkoordinasi dengan APIP kementerian/ lembaga,” kata Wawan.
Dia pun mencontohkan, misalnya ada masalah perkebunan sawit yang menggunaka lahan hutan, kemudian ada pengawasan di dalam proses pengajuan hak guna usaha suatu lahan. Rupanya, kata dia, ada ketidakcocokan luasan lahan produksi yang dilaporkan di pajak.
“Kami on the way itu. Yang mungkin nanti hasilnya adalah rekomendasi kami Kemenkeu untuk perubahan SOP maupun dasar hukum di ATR BPN. Di sisi lain di pengawasan kami juga memberikan penguatan kepada APIP kementerian/ lembafa. Sedangkan di pemeriksaan tetap dilakukan oleh BPKP,” ucap dia.
7. Pengentian layanan dan implementasi automatic blocking system (ABS)
Di dalam PMK dulu, ABS belum merambah kepada siapa yang melakukan atau siapa yang berhak untuk meminta ABS. Jika berbicara piutang terutama piutang PNBP memiliki pola pengelolaannya. Kementerian/ lembaga harus mengupayakan menagih, jika tidak bisa maka diserahkan KPKNL.
“Nah pada PMK yang dulu permintaan ABS hanya boleh oleh kementerian/ lembaga. Kalau sudah diserahkan, maka kami belum punya dasar hukum bagi KPKNL untuk melakukan permintaan ABS,” ujar Wawan.
Dia juga mencotohkan soal ABS ini di sektor mineral dan batu bara atau monerba, di mana ada suatu perusahaan yang tidak bayar royalti. “Tidak bayarnya ini bukan di awal pengapalan, saat pengapalan itu pengusaha atau eksportir sudah membayar duluan. Sudah membayar terlebih dahulu untuk royalti yang asesmen,” tutur dia.
Berjalannya waktu, maka ada langkah verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, misalnya namanya perusagaannya PT Batu Bara Timur Jaya sudah bayar royalti di 6 bulan ini senilai Rp 531 miliar. Namun, pada Agustus di-review, di verifikasi oleh ESDM kurang bayar senilai Rp 40 miliar. Sedangkan ditagih tidak mau bayar.
Namun, karena aturan untuk pengapalan dan kemudahan berusaha tentunya maka setiap ekspor di bulan berikutnya sepanjang membayar asesmen yang awal tadi, itu masih diperbolehkan. Sebagai penguatan, maka untuk memaksa PT Batu Bara Timur Jaya, jika tidak membayar Rp 40 miliar, maka tidak akan bisa membayar royalti next ekspor.
“Kemudian layanannya ditutup, dia tidak bisa bayar karena tidak punya billing, simpulnya kita tutup. Kita paksa mereka bayar dulu. Nah ini namanya ABS,” kata Wawan.
Jika perusahaan sudah membayar, lalu simpulnya dibuka dan bisa membayar royalti, maka bisa pula melakukan pengapalan. Sehingga, ini akan membuat optimalisasi penerimaan negara.
“Itu kenapa kita kenalkan ABS, karena kementerian/ lembaga itu tidak melakukan apa-apa sebetulnya. Tapi tetap melakukan pelaporan ke kita, PT ini perlu dilakukan ABS simpulnya kita tutup,” ucap Wawan.
Pilihan Editor: Aset Tommy Soeharto Tak Kunjung Laku Dilelang, Begini Penjelasan Sri Mulyani dan Ketua Satgas BLBI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini