Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuntut Jepang menghentikan pendanaan publik negara tersebut untuk proyek gas dan LNG (Liquefied Natural Gas) di beberapa negara termasuk Indonesia. Mereka mengecam Jepang dan lembaga kredit ekspornya, yaitu Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang terus mendanai proyek LNG.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore, ada pola kerusakan yang jelas dalam proyek-proyek gas dan LNG yang dibiayai oleh JBIC. Sebelumnya WALHI telah menggelar protes di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta pada Kamis, 25 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Hal ini merupakan bencana bagi perubahan iklim dan terlebih lagi bagi mata pencaharian, kesehatan, dan keamanan masyarakat lokal, keanekaragaman hayati, dan hak asasi manusia,” ucapnya dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu, 27 April 2024.
Ia berujar proyek-proyek gas dan LNG yang didanai JBIC di Indonesia seperti PLTGU Jawa-1 di Jawa Barat, LNG Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah, dan LNG Tangguh di Papua Barat telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Proyek itu, tuturnya, juga merusak wilayah kelola rakyat, menghancurkan mata pencaharian, menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, dan menggusur secara paksa masyarakat adat dan komunitas lokal.
Menurut WALHI, pasca Perjanjian Paris, JBIC justru menjadi penyandang dana gas fosil terbesar di Asia Tenggara dengan total pinjaman yang diberikan sebesar US$ 3,3 miliar. Selain proyek-proyek di Indonesia, portofolio LNG JBIC di Asia Tenggara meliputi Terminal Impor LNG di Filipina dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas yang dipasok oleh terminal impor LNG Map Ta Phut di Thailand. Walhi mengungkapkan proyek-proyek itu telah menyebabkan penurunan tajam hasil ikan dan pembatasan wilayah perburuan dan penangkapan ikan tradisional.
Meskipun Jepang memiliki komitmen bersama negara-negara G7 lainnya untuk mengakhiri pendanaan publik internasional bagi proyek bahan bakar fosil, namun menurut Walhi, nyatanya Jepang telah menyediakan dana rata-rata tahunan sebesar US$ 6,9 miliar untuk pendanaan bahan bakar fosil.
Fanny menyebutkan Jepang juga hanya mendanai sebesar US$ 2,3 miliar untuk energi bersih antara 2020 dan 2022. Walhi juga menilai Jepang sebagai pendukung utama proyek-proyek hulu bahan bakar fosil, dengan menyediakan dana sebesar $2,5 miliar per tahun.
“Di seluruh dunia, kami bersama-sama mendesak JBIC dan Perdana Menteri Jepang Kishida untuk berhenti mendanai gas fosil dan berkontribusi pada transisi energi yang penuh, adil, cepat, dan memiliki perspektif feminis menuju energi terbarukan,” ujar Fanny.
Protes bersama dilakukan oleh berbagai kelompok dari Indonesia, Filipina, Thailand, Bangladesh, Amerika Serikat, Mozambik, Kanada, dan Australia. Fanny menuturkan aksi ini merupakan upaya untuk menarik perhatian para pemimpin negara G7 terhadap dukungan Jepang pada proyek-proyek gas dan LNG.
Bagi WALHI, ujar Fanny, Jepang telah menggunakan dana publik untuk mendukung imperium gas sambil berusaha menyamarkan LNG sebagai alternatif yang lebih bersih dibandingkan batubara. Namun kenyataannya tidak demikian, Walhi menilai gas bisa sama buruknya dengan batubara bagi iklim.