JURUPOTRET Olivier Rebbot dari majalah Newsweek akhirnya mari di
suatu rumah sakit di Miami, AS. Ia dirawat lebih sepekan setelah
ditembak pasukan sayap kiri ketika meliput perang saudara di
Kota San Francisco Gotera, El Salvador, akhir Januari. Sebelum
Rebbot, tiga reporter AS dilukai oleh peluru penembak gelap
negeri itu.
Sekalipun harus mempertaruhkan nyawa, sejumlah wartawan masih
memasuki kawasan pertempuran di El Salvador. Dan mereka belum
terdengar meminta perlindungan khusus dalam menjalankan tugas
berbahaya itu. Di tengah suasana seperti itu, UNESCO suatu
badan PBB dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, mensponsori upaya pembentukan suatu organisasi yang
bertugas mengawasi dan melindungi keselamatan wartawan.
Jika disetujui gagasan ini, organisasi itu akan mengeluarkan
kartu identitas kepada wartawan yang bertugas memasuki kawasan
pertempuran (berbahaya). Tujuannya ialah mempermudah para
wartawan memperkenalkan diri di daerah bergolak. Tentu saja para
wartawan dituntut supaya berpegang pada suatu kode etik pers
internasional dan memperoleh lisensi kerja. Demikian gagasan
Pierre Gaborit, ahli ilmu politik dari University of North
Paris, yang diajukan ke pertemuan UNESCO di Paris, 16 Februari.
Sekitar 15 organisasi pemberitaan dunia -- kebanyakan dari Dunia
Ketiga dan blok komunis -- diundang menghadiri pertemuan
tersebut. Terutama pihak komunis yang gencar mendukung gagasan
Gaborit. Sesungguhnya gagasan itu sejiwa dengan salah satu pasal
rekomendasi Komisi Sean MacBride yang pernah ditolak ketika
diajukan ke Konpaensi Umum ke-21 UNESCO di Beograd (28 Oktober
1980).
Mayoritas suara di Beograd itu menganggap bahwa rekomendasi
MacBride tersebut hanya akan mengurangi kebebasan pers. Tapi
kemudian blok komunis -- dimotori Uni Soviet -- ternyata masih
gigih menghidupkan rencana tadi.
Tentu saja sejumlah organisasi pemberitaan Barat dengan pedas
menentang gagasan Gaborit tersebut. George Beebe dari Inter
American Press Association, misalnya, menyebut bahwa sebentuk
kartu identitas tiada gunanya buat melindungi jiwa wartawan di
medan perang maupun tempat genting. "Wartawan kami sering berada
di daerah pegunungan bersama para gerilyawan, dan adakalanya
bisa tinggal bersama para pemimpin militer. Tapi tak seorang pun
mampu menjamin keselamatannya," katanya.
Dana Bullen dari World Press Freedom Committee, AS, mengatakan
bahwa pengusiran dan penyiksaan terhadap wartawan bukan karena
suatu rezim tidak mengetahui mereka wartawan, tapi justru rezim
tadi mengetahui bahwa mereka wartawan. "Suatu kartu dalam
kantung seorang wartawan tetap tidak akan menyelamatkannya dari
incaran penembak tersembunyi." katanya.
Sebagian wakil organisasi pemberitaan Dunia Ketiga juga
menyuarakan pendapat serupa. Diaz Rangel dari Latin American
Federation of Journalists, misalnya, menghendaki agar wartawan
terutama dilindungi dari kepentingan majikan yang sering
membatasi kebebasan menulis. Mereka pun harus dilindungi dari
tindakan teror, pengasingan dan penculikan yang kini terjadi di
Bolivia, katanya.
Perdebatan mengenai hal itu -- seperti juga perdebatan mengenai
konsep pemberitaan -- memang tak akan habis. OrganiSasi
pemberitaan Barat -- terutama pers AS, Inggris dan Jerman Barat
- -jelas tidak ingin menerima suatu konsep pers versi Soviet.
Sangat tidak mungkin, ulas New York Times, mengkompromikan
standar kebebasan pers Barat dengan kebebasan model Soviet.
Negara komunis umumnya mengontrol dan memonopoli secara penuh
arus informasi. "Pers AS seharusnya tidak ikut ambil bagian
dalam setiap kompromi, dan jika UNESCO tidak mau membatalkan
gagasan itu, mereka seharusnya mundur saja," tulis koran New
York tadi.
Dan setelah bertikai pekan lalu selama tiga hari, pertemuan
UNESCO tadi akhirnya gagal membentuk organisasi perlindungan
bagi keselamatan wartawan. Bullen kemudian menganjurkan agar
badan dunia itu tidak lagi mencoba membicarakan hal serupa di
masa datang. Sebab, katanya, organisasi pemberitaan Barat akan
tetap berusaha dengan keras menggagalkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini