Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBENTUKAN Departemen Transmigrasi secara tersendiri dalam
Kabinet Pembangunan IV ini berarti peranan para petugas ukur
semakin penting. Mulai dari merencanakan lokasi transmigrasi,
membuka lahan, membangun perkampungan dan jalan, petugas ukur
tak bisa dikesampingkan. "Semua pekerjaan itu membutuhkan peta
teknis. Untuk itu dibutuhkan pengukuran," kata Hendro Tjahjono.
"Sulit dibayangkan suatu rencana pemukiman tanpa adanya peta
teknis."
Hendro Tjahjono, 31 tahun, sarjana geodesi lulusan Fakultas
Teknik UGM tahun 1978, sekarang bertugas di Direktorat Tata Kota
& Tata Daerah Ditjen Cipta Karya. Direktorat yang akan pindah
induk dari Departemen PU ke Departemen Transmigrasi ini adalah
tempat ngumpulnya para petugas ukur bergelar sarjana geodesi.
Sebagai juru ukur Hendro sendiri punya pengalaman menarik. Waktu
itu, 1974 Hendro dan kawan-kawannya harus menyiapkan rencana
pemukiman transmigrasi di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Ketika itu Hendro masih tercatat sebagai mahasiswa UGM. Selama 6
bulan ia berada di tengah hutan lebat, dibantu oleh 70 tenaga
pelaksana yang sebagian dari penduduk sekitarnya.
Ia harus membikin peta untuk areal seluas 600 ha, melewati
beberapa sungai dan bukit. Bekalnya sebuah peta topografi dengan
skala 1:100.000. Tugas Hendro mengecilkan peta itu menjadi
1:500. Dengan kata lain keadaan alam dalam areal 600 hektar itu
harus digambarkan secara terperinci. Tinggi rendah dataran,
liku-liku sungai, perbedaan temperatur, keadaan tanah. Termasuk
pula sifat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghuni hutan itu.
Berhari-hari ia naik turun bukit terjal dan curam. Di beberapa
bagian peta yang dipakai sebagai pegangan itu (peta lewat
pemotretan udara) tak cocok dengan keadaan di lapangan. Ini
berarti para petugas itu harus mengubah detil, sekaligus
mengubah peta pegangan itu. Kenapa pemotretan udara bisa salah?
"Bisa saja, lekuk sungai di tengah hutan lebat bisa kabur
dipotret dari udara," katanya.
Kemah-kemah para petugas ukur itu pindah tempat tiap 2 hari
sekali. Ini berarti tempat mereka semakin masuk ke pelosok
hutan. Karena itu tak heran bila rombongan mereka pernah
kehabisan makanan -- hingga selama dua hari hanya makan
dedaunan. "Kami makan pakis dan pucuk enau, droping terlambat
karena lokasi semakin masuk ke hutan," kata Hendro.
Mengatasi kesepian di hutan, Hendro tak lupa membawa radio dan
buku-buku. Tapi buku tak banyak berguna, karena ternyata tak
sempat dibaca. "Seharian penuh mengadakan pengukuran dan malam
hari dengan sinar lampu petromak saya harus mengolah data. Cukup
rumit," katanya. Tugas mengolah data harus selesai malam itu,
sebab malam berikutnya data baru harus dikerjakan pula.
Bagi Hendro ada juga enaknya tinggal di hutan sedemikian lama.
"Pikiran saya benar-benar jernih. Saya merasa dekat dengan
Tuhan, saya seperti selalu berdialog dengan Tuhan," kata Hendro.
Keluar dari hutan setelah 6 bulan tak menghirup udara kota,
badannya jadi kurus. Tapi uangnya banyak, uang saku sehari Rp
5.000. "Uang itu habis saya belikan buku dan biaya kuliah,"
ujarnya.
Setahun kemudian Hendro bertugas di Irian Jaya -- juga ketika ia
masih berstatus mahasiswa. Ia menerima proyek dari perusahaan
minyak Amerika, Petromer Trend untuk merencanakan lokasi tangki
minyak di pantai Jeff Kasim Sele, 40 mil di selatan Sorong.
Pekerjaan itu diselesaikan 20 hari. Ia makan mewah, tidur pakai
AC, jika perlu rekreasi, ada helikopter. Pekerjaannya pun tak
sulit. Ia harus menentukan lokasi tangki yang didukung kemudahan
sumber alam. Dan uang sakunya Rp 6.000 sehari. "Pulangnya, saya
bisa membeli sepeda motor," katanya.
Pengalaman berkali-kali mengikuti proyek pengukuran, memudahkan
Hendro mendapat pekerjaan setelah lulus dari UGM. Selama setahun
(1978-1979) ia bekerja di PT Geo Jaya Teknik Jakarta, perusahaan
pemotretan dari udara. Maret 1979 ia kawin, lantas bekerja di
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Sekarang ia menjadi
pimpinan juru ukur di instansi itu dengan status golongan III A.
Syarat menjadi petugas ukur, "sehat mental kuat, dan tahan
menderita," kata Ir. Suharsono, 43 tahun, dosen photogrametry
(pengukuran dengan media photo udara) Fakultas Teknik UGM. Ia
pernah memimpin pemetaan untuk rencana jalan pemukiman
transmigrasi di Kalimantan Barat, tahun 1975, sepanjang hampir
25 km. Ia memerlukan waktu 2 minggu untuk tugas itu, dengan 15
pembantu. Berkali-kali pemetaannya gagal karena rencana jalan
yang dihasilkannya ternyata lebih dari 25 km. Pemetaan harus
diulang. "Terlalu banyak rawa di sekitar itu jadi hambatan,"
katanya. Pengukuran juga bisa terhambat jika hutannya cukup
rimbun. Patok-patok ukur tak bisa direntangkan lebih panjang.
Dengan pengalaman sebagai juru ukur sejak 1964, Suharsono
menyebut tugasnya mirip pasukan Kopasandha. "Kami petugas
terdepan yang merintis sebuah proyek pembangunan. Tanpa pemetaan
lokasi proyek bisa fatal," kata dosen yang sudah lupa berapa
kali menangani proyek itu. Ia pernah mempersiapkan pemukiman
transmigrasi di Sulawesi dan berkali-kali menangani
proyek-proyek jalan Departemen PU. Ia menolak menyebutkan "harga
proyek", namun honor mahasiswa yang jadi pembantunya antara Rp
100.000 sampai Rp 300.000 di luar uang saku. "Senangnya kalau
proyek berhasil dan terima uang. Susahnya di hutan itu," kata
dosen yang sudah dikaruniai empat anak itu.
Pengukuran tanah untuk lokasi proyek, tentu saja tak cuma
merencanakan lahan transmigrasi. Juga untuk mendirikan bangunan
gedung, jembatan, jalan, di kota maupun di desa. Soeprapto, 40
tahun, petugas ukur di Kantor Agraria Sidoarjo, Jawa Timur,
sering berkeliling ke desa-desa. "Kerja kami bukan hanya
mengukur tanah saja, tapi sekaligus menggambar peta dan membikin
sertifikat," kata ayah dari dua anak yang memulai karirnya
sebagai juru ukur sejak 1962.
Pernah tiga minggu terus menerus Soeprapto berkeliling dari satu
desa ke desa lain. Lebih-lebih ketika pemerintah mengumumkan
pelaksanaan Prona (Proyek Nasional Agraria) tahun 1982.
Soeprapto yang dikenal sebagai juru ukur senior di kantornya
digelari pimpinannya "juru ukur teladan".
Jika tanah yang diukur sedang disengketakan, bisa menyulitkan
petugas ukur. Sebab, menurut Soeprapto, kedua pihak yang
bersengketa sama-sama menghalangi pengukuran ltu. Begitu pula
jika ada perselisihan batas antara dua bidang tanah. "Untuk
mengukur tanah satunya, saya tak diberi izin masuk ke tanah
sebelahnya," kata Soeprapto. Padahal untuk pengukuran diperlukan
tempat dari luar lokasi itu. Tetapi kesulitan serupa itu segera
lenyap dari pikirannya jika telah menerima uang saku Rp 2.000
sehari. "Uang saku itu cukup menggairahkan, walau kecil,"
katanya. Ia maklum, karena pendidikannya "cuma jebolan Kursus
Petugas Ukur tahun 1962 di Kediri.
Di kalangan petugas ukur memang dikenal uang saku yang jumlahnya
berdasarkan pendidikan dan pengalaman kerja. Kusnadi, 27 tahun,
lulusan STM di Surabaya, 1976, yang kini berkantor di PU Ja-Bar,
kalau bertugas mendapat uang saku Rp 2.500. Ia pernah bertugas
di daerah transmigrasi Sumatera Selatan, memetakan rencana jalan
tembus Surolangun. Banyak rumah dan tanah penduduk yang terkena
proyek, sementara ganti rugi hampir tak ada. "Tetapi penduduk
menghargai petugas. Ketika haus mereka memberi minum," kenang
Kusnadi.
Berbeda sekali ketika dua tahun lalu ia mengukur pelebaran Jalan
Pasirkaliki Bandung. "Jangankan diberi minum, malah diomeli.
Pagi patok dipasang, sore dicabuti penduduk. Para pengukur
ngeri, takut ditimpuk," katanya. Penduduk yang terkena
pelebaran mempermasalahkan ganti rugi, dan juru ukur yang tak
tahu soal itu kena getah. Karena itu Kusnadi merasa lebih senang
bekerja di pedalaman. Selain aman, ia merasa ditantang. Dengan
theodolid (alat pengukur sudut dan jarak) berkaki tiga itu, ia
selalu asyik menghitung berapa kemiringan suatu tanah. Lekuk
liku sungai diukur dengan bantuan mistar yang selalu dibopong
pembantunya. "Jelimet dan mengasyikkan seperti mengukur tubuh
gadis," kata Kusnadi yang istrinya tinggal di Surabaya sebagai
guru.
Kusnadi memang benar. Mengukur tanah di kota, apalagi seperti di
Jakarta yang sering ada penggusuran, lebih banyak dukanya. "Kami
pernah dikejar orang kampung, diteriaki maling. Alat-alat
dirusak, kami dituduh tukang gusur, kerja sama dengan calo dan
macam-macam," tutur Soepar, 45 tahun, yang sudah 27 tahun
menjadi juru ukur di kantor PU DKI Jakarta.
Selain itu, di Jakarta banyak tembok tinggi yang menghalangi
pemandangan. Izin memasuki halaman rumah orang sulit didapat --
meskipun proyek yang diukur di luar halaman rumah itu. Sakitnya
lagi, "kami kurang dihargai, padahal yang menentukan posisi
bangunan, tinggi rendahnya jalan yang dibangun dan rata-tidaknya
lapangan, tugas juru ukur," lanjut Soepar yang ikut menangani
pengukuran proyek Gelora Senayan. Pegawai negeri golongan II A
dengan tiga anak ini berpendidikan SD, tapi pernah mengikuti
kursus Alokasi Pengukuran, tahun 1957.
Seorang juru ukur swasta dari PT Hutama Karya, Suharno, 46 tahun
juga mengakui agak sulit bertugas di Jakarta. Ia ikut membantu
merencanakan jalan layang yang menembus Cawang, dan hari-hari
terakhir ini ia mengukur kemiringan rencana jalan itu. "Saat
patok merah di ujung sana mau dibidik lewat pesawat theodolid,
ada mobil nyelonong, wah sulit," katanya. Bekerja malam tak
mungkin dilakukan seorang juru ukur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo