Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bukan Cubitan Setan

Penderita ITP biasa hidup dengan jumlah trombosit jauh di bawah normal. Saat menstruasi pertama, perdarahan bisa menghabiskan 60 pembalut sehari.

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memar ungu kebiruan adalah cap wajar yang menempel di tubuh Yuta Marisza Cardoba, 30 tahun. Seperti Selasa siang pekan lalu, siku tangan kiri, leher sebelah kiri, hingga beberapa bagian betis penuh lebam. Tampak sepertinya ibu satu anak ini habis dipukuli, meski tidak begitu. "Ini karena trombosit saya turun," kata Marisza. Trombositnya—keping darah yang berfungsi membekukan darah—berada pada angka 8.000 per mikroliter darah.

Meski jumlah keping darahnya turun, Marisza masih beraktivitas normal, bekerja, mengantar anak sekolah, dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Padahal kadar trombosit manusia normal adalah 150 ribu per mikroliter darah. "Bagi pengidap ITP, punya trombosit 60 ribu saja sudah bagus.Saya biasanya 20 ribu," katanya. ITP adalah immune thrombocytopenic purpura atau sekarang dikenal sebagai idiopathic thrombocytopenic purpura. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang dipakai adalah trombositopenia autoimun.

Ini adalah sebuah penyakit autoimun. Menurut dokter Fransiska Hardi, spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi-onkologi medik, cirinya adalah jumlah trombosit (keping darah) yang rendah. Rata-rata di bawah 50 ribu per mikroliter darah. Kelainan ini terjadi ketika sistem imun tubuh menghancurkan trombosit, karena trombosit dianggap sebagai benda asing. Padahal trombosit penting bagi tubuh karena berfungsi membantu penggumpalan darah dan menghentikan perdarahan. Akibatnya, karena kekurangan trombosit, jika penderita kena benturan atau goresan, darah mengalir tanpa henti.

Tak ada benturan pun, memar, lebam, dan mata menghitam bisa jadi pertanda kumatnya penyakit ini. "Khususnya kalau capek, capek fisik atau psikis," ujar Marisza, yang didiagnosis positif sejak usia lima tahun. Gejalanya, kata dokter Noorwati Sutandyo, hematolog dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, adalah aneka bentuk perdarahan, dari bintik kemerahan, mimisan, perdarahan gusi, perdarahan di kemaluan, perdarahan saluran cerna, hingga perdarahan otak.

Perdarahan hebat pernah dialami Marisza saat menstruasi pertama pada usia 11 tahun. Dalam sehari terpaksa 60 pembalut dan 5 diaper dewasa dihabiskan untuk mengerem darah dari siklus bulanan yang berlangsung hingga 32 hari. Sampai akhirnya Marisza terpaksa mengkonsumsi pil antihamil untuk mengatur haid. Jadilah hanya saban enam bulan sekali ia menjalaninya.

Awalnya, tak ada yang tahu pasti penyebab memar-memar di tubuh Marisza kecil. "Bahkan dokter bilang ini digigit setan," ujarnya. Karena gejala Marisza itu tak kunjung hilang, bahkan muncul mimisan tanpa sebab, keluarga membawanya ke hematolog, dokter spesialis darah. Dari tes darah, Marisza diketahui positif ITP. Untuk lebih melengkapi diagnosis ITP, Noorwati mengatakan penderita biasanya juga harus menjalani uji sumsum tulang belakang. Dari hasil laboratorium dan diagnosis yang lengkap, baru diperoleh kepastian ITP.

Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, terutama wanita pada usia 20-40 tahun dan anak-anak usia 2-4 tahun. Namun tetap ada kejadian pada laki-laki dengan peluang yang lebih kecil. Fransiska, yang juga Ketua Umum Yayasan Smile with ITP, menjelaskan bahwa ITP yang menyerang orang dewasa biasanya bersifat kronik, sementara untuk anak-anak masih ada kemungkinan sembuh hingga 80 persen dalam jangka waktu enam bulan. Sayangnya, data prevalensi di Indonesia belum ada.

ITP adalah penyakit yang hingga kini belum jelas penyebabnya. Noorwati menyebutkan ada beberapa penelitian yang menyatakan infeksi virus atau bakteri dapat mencetuskan timbulnya antibodi yang bereaksi terhadap trombosit karena adanya kemiripan struktur molekulnya. Tapi itu belum disepakati bersama di dunia kedokteran. Penyakit ini tidak menular, tapi, kata dia, "Belum ditemukan cara khusus untuk mencegahnya."

Pasien ITP dibedakan menjadi tipe primer—yang hingga kini belum diketahui sebabnya—dan tipe sekunder, yang terjadi akibat penyakit lain. Bisa karena penyakit HIV, lupus, atau hepatitis. Adapun ITP primer, kata Fransiska, bisa dikelompokkan lagi menjadi pasien baru (terdiagnosis kurang dari 3 bulan), ITP persisten (3-12 bulan), hingga ITP kronik (lebih dari 12 bulan)—seperti yang dialami Marisza selama 25 tahun.

Pada kasus Marisza, di usianya yang kelima, golongan obat kortikosteroid sudah jadi santapan sehari-hari. Obat hormonal ini adalah lini pertama terapi ITP. Selain murah, golongan obat ini membantu meningkatkan jumlah trombosit. Sayang, ternyata obat yang masuk golongan obat keras oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan ini menimbulkan efek samping yang langsung kentara. Wajah menjadi lebih bulat (moonface), nafsu makan melonjak, dan dalam jangka waktu lama bisa memicu terjadinya osteoporosis. "Saya naik 15 kilogram dalam sebulan. Bahkan di beberapa kasus ada penderita ITP yang penglihatannya jadi lebih buram sehabis mengkonsumsi," kata pendiri yayasan nirlaba untuk penderita ITP bernama Marisza Cardoba Foundation ini.

Efek samping inilah yang terkadang menyebabkan pasien ogah mengkonsumsinya. "Karena ada efek psikis akibat perubahan bentuk badan dia," kata Marisza. Noorwati mengatakan pasien yang telah mengkonsumsi kortikosteroid dalam jangka panjang tak boleh putus obat tanpa setahu dokter.

Untuk pasien yang tidak merespons obat, Noorwati menjelaskan, pilihannya adalah operasi pengangkatan limfa. Limfa adalah organ utama tempat penghancuran trombosit yang berikatan dengan antibodi. Tentu keputusan yang berat, tapi itu adalah opsi terakhir setelah makan obat kortikosteroid, imunoglobulin intravena (serum darah), dan rituximab (obat yang membuang sel darah pembuat antibodi). Dapat juga diberikan obat yang berfungsi merangsang pembentukan trombosit (thrombopoietin). Biasanya, rampung perdarahan, konsumsi kortikosteroid pun dikurangi, hingga bisa berhenti sama sekali.

Guru besar obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Ali Baziad, tidak menyarankan pemakaian pil KB, karena estrogen dalam obat tersebut justru mengganggu pembekuan darah. "Cukup diberikan progesteron saja," ujarnya.

Permasalahan akan muncul jika penderita berniat hamil. Bagi pemilik gangguan ini, tentu kecil kemungkinan untuk bisa melahirkan secara normal. Dengan cara operasi caesar pun perlu lebih dulu dicek kadar trombositnya. Sampai kadarnya normal atau mendapat transfusi trombosit, baru sang ibu boleh dioperasi. "Karena pasti ada risiko perdarahan," kata Ali.

Perdarahan, Noorwati mengatakan, menjadi penyebab kematian pasien ITP. "Mayoritas karena perdarahan otak," kata dia. Tapi angka kematiannya cukup kecil, hanya 3 persen. Sekitar 93 persen pasien bisa hidup normal dan tidak perlu mengkonsumsi obat lagi dan 4 persen harus terus bergantung pada bahan kimia itu selama sisa hidupnya.

Selain dalam hal perdarahan, penderita bisa hidup normal, bahkan berolahraga. Hanya, Fransiska mengingatkan, hindari olahraga yang melibatkan kontak fisik. Dan tentunya selalu gunakan alat pelindung diri. "Jenis olahraga bisa dipilih menurut kadar trombosit," ujarnya. Paling aman adalah olahraga yang bisa dilakukan pada kadar trombosit berapa pun, yaitu renang, joging, taichi, dan golf.

Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus