Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bunuh diri merupakan fenomena yang terjadi di berbagai negara di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setidaknya tiap tahun ada 703 ribu kasus percobaan bunuh diri. Kasus bunuh diri merupakan tragedi yang mempengaruhi keluarga, karena memiliki efek jangka panjang untuk orang-orang yang ditinggalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut catatan WHO, bunuh diri merupakan penyebab kematian keempat pada 2019. Adapun 77 persen kasus bunuh terjadi di berbagai negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus bunuh diri negara berpenghasilan tinggi saat mengalami tekanan hidup, di antaranya putusnya hubungan sosial dan penyakit kronis yang tak sembuh. Bunuh diri juga dipengaruhi pengalaman masa lalu seperti kekerasan, pelecehan, diskriminasi.
Sudah sejak lama kasus bunuh diri menjadi fokus penelitian para ilmuwan. Sosiolog Prancis Emile Durkheim dalam bukunya Le Suicide: Étude de Sociologie (1897) membagi empat tipe bunuh diri yang merujuk dua aspek sosial. Pertama integrasi sosial tentang kemampuan individu untuk terikat dalam tatanan masyarakat. Kedua, regulasi moral berupa aturan atau norma yang mengatur kehidupan individu.
Empat tipe bunuh diri menurut Emile Durkheim:
- Bunuh diri egoistis
Santi Marliana dalam laporan ilmiahnya di Universitas Indonesia berjudul Bunuh Diri sebagai Pilihan Sadar Individu: Analisa Kritis Filosofis Terhadap Konsep Bunuh Diri Emile Durkheim menjelaskan, bunuh diri egoistis terjadi karena hubungan integrasi antara kelompok sosial (masyaraka) dengan individu manusia.
Bunuh diri egoistis terjadi akibat tingkat integrasi sosial rendah atau menurunnya pembauran yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bunuh diri egoistis terkait peran emosi dan perasaan. Setiap manusia hidup dalam masyarakat dan bergantung pada orang lain. Ketika manusia bersikap egois dan tidak ada hubungan dekat dengan lingkungannya, maka akan muncul perasaan kesendirian, sehingga merasa depresi.
- Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik kebalikan dari egoistis. Bunuh diri altruistik terjadi karena hubungan individu manusia dengan masyarakat sangat dekat. Itu terjadi ketika seseorang memiliki tanggung jawab yang lebih pada kelompok masyarakat. Seseorang akan memiliki pandangan, bahwa dirinya pantas melakukan apa pun, bahkan bunuh diri demi masyarakat (orang lain). Manusia yang bunuh diri altruistik menganggap kematian adalah pembebasan.
- Bunuh diri anomi
Bunuh diri anomi terjadi ketika adanya regulasi yang melemah atau tidak adanya aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bunuh diri anomi muncul karena ketakstabilan sosial akibat kerusakan pedoman dan nilai.
Bunuh diri anomik terjadi seseorang berada dalam situasi norma lama yang sudah tidak berlaku. Sedangkan norma baru belum dikembangkan, sehingga tak ada pegangan hidup. Gangguan ini berpotensi membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol yang tak pernah puas terhadap kesenangan.
- Bunuh diri fatalis
Alfan Biroli dalam artikelnya berjudul Bunuh Diri dalam Perspektif Sosiologi yang dimuat jurnal Simulacra menjelaskan, bunuh diri fatalis terjadi ketika seseorang terlalu diatur atau dikekang.
Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalis karena menganggap masa depannya telah tertutup atau terkekang oleh disiplin yang menindas. Seseorang yang melakukan bunuh diri fatalis memandang hidupnya tak bisa berubah. Bunuh diri fatalis sebagai upaya menghindari kehidupan yang penuh penderitaan.
NAUFAL RIDHWAN ALY