Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Selain jumlah mesin apheresis yang masih sedikit dan lebih difokuskan di wilayah berzona merah yang memiliki banyak penyintas COVID-19, tidak semua penyintas COVID-19 dapat menjadi pendonor plasma konvalesen. Ketua Bidang Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia (PMI), Dr. Linda Lukitari, menyebut sejumlah permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan plasma konvalesen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Linda mengatakan hal tersebut karena dalam donor plasma konvalesen pihaknya tidak hanya memastikan orang itu telah sembuh tetapi juga perlu melihat titer antibodi milik penyintas tersebut. Ia memberikan contoh dari 100 penyintas yang pernah mendaftarkan diri sebagai pendonor plasma konvalesen, hanya 20 yang berhasil lolos menjadi pendonor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Dari pengalaman yang kita ambil, contohnya 100 orang yang bisa lolos untuk bisa menjadi pendonor plasma konvalesen paling banyak hanya 20 orang. Itu permasalahannya, jadi memang tidak mudah menjadi donor plasma konvalesen atau penyintas. Yang utama itu titer antibodinya,” jelasnya.
CEO Reblood, Leonika Sari, mengatakan proses donor plasma konvalesen memiliki perbedaan dengan donor darah biasa karena dilakukan pemeriksaan dua kali.
“Untuk donor biasa hanya datang ke PMI, dites Hb (hemoglobin) dan tensi, kemudian kalau lolos langsung dilakukan pendonoran darah. Tapi kalau donor plasma harus dilakukan dua kali ke PMI,” kata Leonika.
Pada tahap pertama, penyintas akan menjalani skrining sampel darah dan pengecekan lengkap melalui antibodi untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit atau infeksi yang menular, seperti HIV atau hepatitis. Setelah melakukan sejumlah tes, apabila penyintas dinyatakan lolos, maka harus datang kembali ke unit PMI keesokan hari untuk melakukan donor menggunakan mesin apheresis.
“Di mesin apheresis ini darah yang didonorkan dimasukkan ke dalam mesin, kemudian dipisahkan komponennya. Hanya diambil plasmanya saja dan plasmanya ini adalah plasma konvalesen yang akhirnya membantu penyembuhan pasien Covid-19 karena di dalam plasma tersebut ada antibodi yang bisa membantu penyembuhan pasien,” ujarnya.
Karena dilakukan pemeriksaan secara mendetail, dia mengakui sulit untuk mencari penyintas yang dapat meluangkan waktu dua kali datang ke unit donor yang disediakan oleh PMI karena waktu donor yang dapat menghabiskan sekitar satu jam. Ia juga menyebutkan masalah yang dihadapi juga datang dari kondisi plasma pendonor itu sendiri. Ada yang telah tercemar oleh kolesterol sehingga tidak dapat digunakan kepada pasien. Jadi, benar-benar penting untuk memastikan penyintas COVID-19 yang telah sembuh telah mengonsumsi makanan yang sehat, terutama yang tidak berminyak.
“Kalau misalnya makanannya terlalu berminyak, terlalu banyak mengandung kolesterol, maka plasmanya menjadi keruh. Akhirnya, plasma itu tidak bisa dipakai dan nantinya terbuang. Itu sudah terjadi berkali-kali dan jadinya sayang,” tegasnya.