Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN guru dan pelajar berkumpul di stadion Sulaiman Abdullah
Tanjungpinang, pagi hari 2 Mei yang lalu. Bupati Kepulauan Riau
selaku Inspektur Upacara sedang membacakan amanat tertulis
Menteri P&K berkenaan dengan Hari Pendidikan Nasional. Di
emper-emper toko sementara itu tampak beberapa guru SD yang
lain, melakukan "pemberontakan" dengan cara ngelayap ke sana ke
mari. "Ah lagi malas, habis awak disuruh dengar pidato terus,
tapi kepala pusing, gaji belum terima!" kata mereka.
Sejak pengurusan masalah personalia guru-guru SD dititipkan pada
pemerintah daerah, gaji telat adalah cerita sehari-hari di Riau.
Kalau guru-guru SLP dan SLA selalu beres tiap tanggal satu, 1700
lebih guru SD sudah boleh bersyukur kalau menerima tanggal 5.
Sebab sering terjadi mundur sampai tanggal 15. seperti terjadi
April yang lalu. Tak diketahui apa musababnya, sementara mereka
semua berada di depan hidung kantor Dinas P&K di Tanjungpinang.
Kalau di pelosok sih bisa dimengerti, barangkali ada tanah
longsor atau macan galak, sehingga perhubungan terputus.
Dulu kaum guru Riau tidak mengeluh, lantaran masih ada dana
SPP-SD yang bisa dipinjam untuk ganjal. Sekarang sudah hapus,
sekolah tak punya kas penunjang dapur untuk sementara seperti
dulu selalu dilakukan. "Jadi ke mana lagi harus ngutang. Kami
merasa dianaktirikan," kata guru-guru yang malang itu.
Apa yang lazim disebut uang rapel juga menjadi penderitaan para
guru. Meskipun SK sudah satu tahun berjalan, kekurangan gaji
sudah biasa tidak segera muncul. Memang adakalanya hanya bertaut
beberapa puluh rupiah saja, tapi umumnya setiap pegawai negeri
menganggap ketiban rapel sepertl memanjat langit ketujuh.
Keterlambatan itu bukannya karena tidak diurus. Malah langsung
ditanyakan di kantor Dinas P&K kabupaten. Biasanya kemudian
mendapat jawaban: amprahnya sudah dikirim ke kantor keuangan
daerah. Sedang di kantor ini petugasnya akan cepat mengatakan
belum. "Jadi kita sering jadi bola," kata guru-guru itu dengan
muka meringis.
Pejabat-pejabat keuangan pemerintah daerah sering mengemukakan
alasan tak ada uang. Lalu kenaikan gaji dan kenaikan pangkat
jadi kerja bohong-bohongan. Para guru hanya bisa bersabar,
seperti mereka bersabar menghadapi murid-murid yang suka bohong
dan bandel. Tetapi muka terpaksa jadi tebal lagi setiap kali
menerima rezeki tahunan, karena jumlahnya tak pernah utuh.
Selalu ada potongan uang lelah dan komisi petugas yang mencapai
10 sampai 15 prosen.
Guru-guru SD di Singkep (Kepulauan Riau) merasa disembelih.
Dengan hati geram mereka mengadu ke DPRD dan bupati. "Pak bupati
mesti menindak oknum-oknum di kantor keuangan daerah yang selama
ini menjadi otak penyembelihan itu," kata seorang kepala SD di
Tanjungpinang kepada TEMPO. Bupati Firman Eddy memang baru saja
menindak seorang pejabat teras di kantor Dinas P&K karena
terbukti menyalahgunakan jabatannya, terlibat korupsi yang
meliputi jumlah Rp 13 juta.
Protes Amin
Nasib guru yang tinggal di pelosok lebih-lebih lagi. Mereka
menderita terutama dalam soal kenaikan pangkat. Aziz Isba (47
tahun setelah tujuh tahun mengajar di Kecamatan Lingga,
pangkatnya tetap saja CC/II (pangkat lama sebelum impasing
1968). Setelah pindah ke Tanjungpinang atas permintaan sendiri,
segera pangkatnya melonjak jadi II/a Untuk pengabdian selama 25
tahun, b masih rendah. Rekan-rekannya yang sudah terlebih dahulu
pindah ke kabupaten telah berada dua tingkat di atasnya. "Tak
apalah," kata Aziz, "daripada seumur hidup di pulau dan tetap
golongan I ! "
Ahmad Ripin (52 tahun) yang pernah tercecer di Laut Natuna sejak
1948 berhasil pindah ke Tanjungpinang pada 1972. Akibatnya ia
masih sempat mencicipi rasa jadi pegawai golongan II/b. Ini
amat penting, terutama jika ia pensiun nanti. Bagi kebanyakan
guru, kala pemerintah betul-betul hendak memperhatikan nasib
mereka, kenaikan gaji saja tidak cukup. Penyesuaian pangkat
berarti pula mengandung perhatian yang lebih gede. "Apakah
pemerintah tak bersedia memberi kenaikan otomatis kepada guru
yang sudah bekerja sejak 1948 atau setidak-tidaknya sudah 25
tahu dinas, supaya dapat menikmati pangka II/c? " tanya seorang
guru.
Zainal Anang (55 tahun) sudah jadi guru sejak 1944 di Kepulauan
Riau. Baru tiga bulan yang lalu pensiun dengan pangkat II/a.
Tetapi karena sudah lebih dari sepuluh kali pindah dari pulau ke
pulau, SK pengangkatannya hilang. Ini berakibat pensiunnya belum
bisa dibayar. Kini ia hanya mendapat uang tunggu. Tapi tentu tak
memadai. Terpaksa pensiunan ini mendayung sampan tambangan di
pelantar-pelantar di Tanjungpinang sejak pukul 8 pagi hingga
sore. Diminta kesan-kesan, ia segera menjawab: "Untuk apa lagi
dikenang-kenang. Pokoknya pemerintah sudah tahu, tiga zaman saya
jadi guru, tak pernah jelek, buktinya tak pernah diberhentikan!"
Orang tua ini memang pasrah. Ia juga tak sudi mengadu kepada
menteri. "Bodoh kalau sampai begitu," ujarnya "kan pak menteri
tak harus mengurus soal kecil ke pelosok, untuk apa ada pejabat
lainnya di daerah, kalau semua harus ke menteri?"
Jadi semua guru SD di Kepulauan Riau berlomba-lomba ingin pindah
kc Rlnjurigpinang. Yang ada di Tanjungpinang, semuanya takut
dikirim ke pulau. Hanya R.M. Amin (41 tahun) yang bcrkata lain.
"Tak usah ke Pulau Abang, Irian Jaya pun boleh," katanya
menantang ketika ia dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pulau
Abang. Tantangan itu karena rasa jengkel. Ia memang tukang
protes. Dari soal kelambatan gaji, rapel sampai hak-hak
kepegawaian ia protes kalau diselewengkan dari ketentuan yang
ada.
Jabatan terakhir Amin adalah pejabat sementara Kepala SD di
Penyengat, yang dipangku sejak 1976. Tapi dalam pembagian
tunjangan jabatan yang berlaku sejak April 1977, ternyata ia
tidak mendapat. Alasannya jabatan pejabat sementara Kepala SD,
tidak ada SK-nya. Amin naik pitam. Ia datang ke pejabat
pendidikan di Tanjungpinang terus ke kantor bupati sambil
membawa SK Gubernur Riau dan Keputusan Presiden yang antara lain
menyebutkan bahwa yang memangku jabatan sebagai kepala sekolah
dapat diberi tunjangan sebagai Kepala SD. Nah, kalau ia tidak
diakui sebagai pemangku, ia ingin membatalkan semua ijazah
(STTB) SD yang sudah dikeluarkan SD Penyengat dan
ditandatanganinya. Termasuk kenaikan para bawahan yang
direkomendasikan dengan tanda tangannya. "Saya minta RRI
menyiarkan, minta polisi menyita itu Ijazah palsu, " katanya
dengan marah.
Tapi tak banyak guru SD yang berani bicara seperti Amin. Idrus
M. Thahar (36 tahun) guru SD XVI Tanjungpinang merasa betapa
berat resiko mempertahankan kebenaran sebagai seorang guru SD.
Pada waktu Pemilu 1971, bersama 4 orang kawannya yang lain ia
tak mau menandatangani monoloyalitas. Segera ia dapat SK
Gubernur yang menon-aktifkannya dari jabatannya. Hidupnya jadi
tak karuan. "Bahkan sampai jadi kuli pengaspal jalan pun sudah,"
kata lelaki yang berusia 36 tahun itu. Untung pada 1974 ada SK
Mendagri yang merehabilitirnya. Tetapi ia sudah terlanjur
ketakutan. "Saya tak mau kehilangan tongkat dua kali," kata
Idrus menunjukkan motto hidupnya setelah kemalangan itu. "Tak
mau macam-macam lagi, kalau sampai diberhentikan bagaimana nasib
anak isteri saya?"
Enak Kok
Guru-guru SD Kecamatan Dimembe Kabupaten Minahasa barangkali
tidak sefaham dengan kepasrahan Idrus. Sudah sejak setahun silam
mereka menuntut pembayaran selisih gaji (rapel) mereka yang
berjumlah hampir tiga juta. Hanya saja mereka bergerak di dalam
kelompok, tidak berani menyebutkan nama perseorangan. Karena
rupanya mereka juga tidak berani menanggung risiko terlalu
besar, meskipun tetap ada usaha untuk bertanya. Ya sekedar
bertanya.
Direktur Keuangan Kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Utara
menjelaskan hahwa uang tersebut telah disalurkan lewat Kepala
Dinas P&K Kecamatan Dimembe. Tetapi pejabat itu ternyata sudah
diganti. Sedangkan pejabat yang baru ternyata tidak menolong.
Guru-guru akhirnya hanya bisa mengeluh ke Kantor Wilayah
Departemen P&K. Tetapi yang bersangkutan tak memiliki wewenang
yang diharapkan. "Kehabisan kata, kepalan yang bicara," kata
beberapa orang guru karena panas. Tetapi kemudian mereka sadar,
sebagai pendidik harus kasih contoh bagaimana menyelesaikan
perkara dengan akal sehat.
Tersebutlah nenek Sigarlaki guru SD Suwaan, Kecamatan Airmadidi
di Minahasa. Beberapa bulan lalu ia menerima selisih gaji Rp 20
ribu, dari jumlah Rp 49 ribu yang seharusnya. Ini peristiwa yang
umum terjadi hingga diterima sebagai kebiasaan -- sebagai jasa
baik atawa biaya pengurusan yang kadangkala langsung dipotong.
Ibu Worotitjan, Kepala SD II Airmadidi mencoba menanyakan
pungli-pungli tersebut kepada Kepala Dinas P&K Kecamatan.
Sebagai hasilnya, ia menerima surat mutasi, walaupun baru
setahun bertugas di Airmadidi.
Desa Tateli Kecamatan Pineleng (Minahasa) beruntung memiliki
seorang guru yang punya suami anggota DPRD Kabupaten Minahasa.
Maka datanglah rombongan wakil rakyat itu pada suatu kali, untuk
mendengarkan kebenaran perlakuan Kepala Dinas P&K dalam hal
pembayaran gaji dan mutasi. Guru-guru segera mendapat ancaman
dari yang bersangkutan apabila menemui wakil-wakil rakyat itu.
Biasa akan dimutasikan. Untung guru-guru itu masih memiliki
keberanian. Mereka tetap mengadu dan berhasil.
Masih di Minahasa, lain lagi nasib guru-guru di Kecamatan
Motoling. Beberapa bulan lalu kecurangan datang dari sang
bendahara yang tak bisa mempertanggungjawabkan ke mana larinya
uang sejumlah Rp 3,5 juta. Di Direktorat Keuangan Kantor
Gubernur uang gaji itu sudah dibayarkan. Ternyata sang
bendahara Dinas P & K itulah biangjnya. Tapi ia cepat-cepat
berjanji akan menyelesaikan dengan cara mengundang para guru
untuk memetik hasil cengkehnya, bila panen tiba. Guru-guru
senang juga tak jadi kehilangan. Tapi waktu panen datang dan
mereka muncul, pohon-pohon sudah dipetik oleh orang lain. Tambah
lagi bendahara itu sudah diganti, jadi urusan tak bisa lagi
lewat P&K.
Mutasi = Momok
Hampir semua guru kecamatan di Sul-Ut, memiliki penderitaan
sama. Mereka dikibulin atau dipungli dengan mudah, karena
rata-rata mereka petani. Jadi seusai mengajar ada keterikatan
pada tanah, menyebabkan mereka amat ngeri pada kata "mutasi".
Mereka terpaksa berani menerima persyaratan apapun, asal jangan
dimutasikan. Menurut kamus setempat, mutasi adalah momok.
Artinya harus berpisah dengan kebun cengkeh. Ini merupakan
senjata ampuh buat mengganyang guru-guru kalau ada perselisihan
dengan sementara pejabat Dinas P&K di wilayah-wilayah Kecamatan
biasanya sekitar pemotongan gaji.
"Kalau mau gaji besar, jangan menjadi guru," kata Zainuddin
Nontji (44 tahun), kepala SD Inpres I Pulau Lae-Lae.
Ujungpandang. Ia adalah contoh dari guru yang bernasib baik,
karena tidak pernah mengalami pemotongan atau keterlambatan
gaji. Jadi meskipun jumlah pendapatannya kecil, kegembiraannya
mendidik tetap ada. "Menjadi guru memang merupakan hobi dan
terpanggil oleh rasa pengabdian," katanya.
Syahdan S. guru SD sejak 1958 di Desa Mutiara, Kisaran (Sumatera
Utara) juga berkata sama. Ia termasuk golonga IIA dengan
pendapatan Rp 50 ribu sebulan. Meskipun uang itu tidak mencukupi
untuk hidup dengan isteri da 9 anak, tetapi ia kelihatan tetap
bangga sebagai guru. "Banyak yang jadi orang karena saya,"
katanya dengan bangga dan sungguh-sungguh. Isterinya langsung
menambah dengan gembira betapa banyak murid sekolah menangis
ketika suaminya pindah mengajar. "Sekarang gaji guru agak
lumayan, meskipun belum cukup betul. Kalau kutipan-kutipan liar
itu sudah betul habis, sebenarnya jadi guru itu enak kok," kata
Rosmaniar, isteri Syahdan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo