Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jendela Dunia Kain Tenun Ikat Rote

Film Women from Rote Island banyak menampilkan kain tenun ikat khas NTT. Perlu modifikasi untuk menjadikannya produk busana.

17 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film Women from Rote Island banyak menampilkan kain tenun ikat khas NTT.

  • Para pemain dan kru selalu mengenakan kain tradisional tersebut dalam acara yang berkaitan dengan film mereka.

  • Perancang busana menilai kebanyakan kain tenun ikat NTT tebal dan kaku sehingga sulit dikreasikan dalam produk fashion.

Perempuan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, itu sedang berduka. Orpa namanya. Dia baru ditinggal mati suaminya. Mengenakan kain tenun ikat sebagai bawahan dan atasan putih, dia menunggu kepulangan putrinya, Martha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan itu membuka film Women from Rote Island karya Jeremias Nyangoen. Film Terbaik Festival Film Indonesia 2023 dan Film Pilihan Tempo 2023 itu diawali dengan adegan yang menampilkan banyak pelayat berbusana serupa, yakni kain tenun ikat bercorak bunga atau geometris serta berwarna gelap dengan dominasi cokelat tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemeran Orpha dalam film "Women from Rote Island", Merlinda Dessy Arantji Adoe, berpose di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 10 Januari 2024. Rizal Saputra Djaha untuk TEMPO

Kain itu merupakan kain tenun ikat Rote, kepulauan di ujung selatan Indonesia. Masyarakat Rote biasa mengenakannya dalam acara-acara adat, termasuk tarian di upacara kematian. Menurut Jeremias, sebelum membuat adegan kematian suami Orpha, ia mendapat penjelasan bahwa kain tenun ikat dipakai sebagai bentuk penghormatan bagi mereka yang berpulang dan keluarga yang ditinggalkan. "Maka, kami bikin seperti itu. Mereka sebut kain itu selimut," ujarnya di media screening film ini di bioskop Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Februari 2024.

Lewat Women from Rote Island, kain tenun ikat Rote mencoba mendunia. Film itu tayang perdana di Busan International Film Festival pada 7 Oktober 2023. Sinema ini juga dijadwalkan hadir di enam negara, dengan tuan rumah sebagai negara pembuka pada 22 Februari mendatang.

Seperti di film, para pemain serta kru mengenakan kain tenun ikat Rote dalam setiap acara yang berkaitan dengan Women from Rote Island dan mereka kerap mendapat pujian soal busananya. Di Busan, Korea Selatan, misalnya, seseorang menarik kain Jeremias dan hendak membelinya. Tidak dia jual, tentu saja. Perbincangan kemudian mengalir soal kain tersebut dan budaya tenun di Indonesia. "Dia tanya bisa beli di mana dan terkagum karena Indonesia banyak sekali produk budayanya," kata Jeremias.

Sutradara Jeremias Nyangoen bersama tim produksi, aktor, dan aktris film Women from Rote Island setelah meraih penghargaan Film Cerita Panjang Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2023 di Jakarta, 14 November 2023. ANTARA/Bayu Pratama S.

Rizka Shakira, produser Women from Rote Island, punya pengalaman serupa di Busan. Berkat mengenakan seragam berupa kain tenun ikat, banyak mata tertuju pada mereka. Di festival film internasional tersebut, Rizka memadukan kain tenun ikat Sumba dan Rote dengan nuansa merah, kuning, dan cokelat. "Berarti keberanian," ujarnya.

Rizka mengatakan, selama pengambilan gambar di Pulau Rote, dia melihat banyak warga yang mengenakan kain tenun ikat. Umumnya mereka menggunakannya sebagai sarung. "Bisa perempuan atau laki-laki," katanya. Menurut Rizka, meski kain tenun ikat Rote memiliki corak tersendiri, dia juga mendapati banyak warga mengenakan kain tenun ikat dari wilayah lain di NTT. "Kami memang menonjolkan penggunaan kain ini sebagai bagian dari adat mereka."

Desainer, Wignyo Rahadi. Dok. TEMPO/Nurdiansah

Wignyo Rahadi, perancang busana yang kerap berkreasi dengan kain tenun, mengatakan penggunaan kain tenun ikat suatu daerah, seperti di Women from Rote Island, tak hanya mengangkat budaya Rote, tapi juga tenun Indonesia secara keseluruhan. "Pasti berdampak karena orang jadi pengin tahu," katanya.

Wignyo pernah memanfaatkan kain tenun NTT dalam rancangannya pada 2015. Menurut dia, dari sekian banyak kain tenun ikat di NTT, baru kain tenun ikat Sumba yang familier di kalangan desainer. Sebab, meski diakui cantik dan unik, kebanyakan kain tenun ikat NTT jauh lebih tebal dan kaku ketimbang bahan kain lainnya. Walhasil, penggunaannya sebatas bawahan yang disarungkan. "Kain tenun asal Sumba sudah ada inovasinya sehingga tidak tebal dan kaku," ujar Wignyo.

Menurut dia, upaya membawa kain tenun ke level dunia perlu menggandeng industri lain. Misalnya, merek busana kelas dunia. Wignyo mencontohkan kain endek Bali langsung mendunia setelah Dior menjadikannya bagian dari koleksi mereka.

 

JIHAN RISTIYANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus