Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Kisah Mereka yang Menggilai Piringan Hitam

Inilah cerita anak muda yang tergilap-gila mengoleksi piringan hitam. Kemana pun akan diburu.

10 April 2017 | 18.16 WIB

Pengunjung mengamati aneka piringan hitam yang dijual dalam acara perayaan Cassette Store Day di Pasar Santa, Jakarta, 16 April 2016. Cassette Store Day merupakan ajang untuk lebih mengenali nilai penting dari kaset dan vinyl. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Perbesar
Pengunjung mengamati aneka piringan hitam yang dijual dalam acara perayaan Cassette Store Day di Pasar Santa, Jakarta, 16 April 2016. Cassette Store Day merupakan ajang untuk lebih mengenali nilai penting dari kaset dan vinyl. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Gerimis dan alunan musik syahdu menemani pengunjung Kiputih Satu Bake & Dine di Ciumbuleuit, Bandung, Kamis lalu. Berbeda dengan kebanyakan tempat kongko, musik yang diputar di bangunan kuno berhalaman jembar itu bersumber dari piringan hitam alias vinyl—mengacu pada material pembuatnya.


Sakrya Adiguna, 32 tahun, yang akrab disapa Adit, memutarnya untuk memanjakan gendang telinga tamu-tamu kafenya. Di tempat itu, toko Keep Keep Musik menjual enam ribu keping piringan hitam dari ukuran diameter 7, 10, hingga 12 inci. “Ini usaha bersama yang menyandingkan toko rekaman dengan toko kue dan masakan,” kata dia.  Bermitra dengan tiga rekannya, Adit membuka toko ini pada November 2016.


Beberapa dari tamu Kiputih terlihat menikmati hidangan, lalu membeli piringan hitam.  Ada pula yang semata-mata datang untuk membeli piringan.  Salah satunya, Muhammad Asyraf, 25 tahun.  Ia mengatakan kerap mencari album musik jenis elektronik dalam bentuk piringan hitam.


Asyraf menyukai piringan hitam sejak pertengahan 2016. Motivasinya adalah ingin memiliki fisik rekaman sekaligus mengapresiasi artis lebih dalam. Motivasi lainnya adalah hobi barunya sebagai disc jockey.

“Koleksi album vinyl saya sekarang ada 135 buah, campur-campur,  tapi kebanyakan musik elektronik,” kata alumnus  Jurusan Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran itu. Di luar musik elektronik dia juga mencintai musik jazz, funk, dan soul.


Asyraf mengatakan, kualitas suara yang mengalun dari piringan hitam lebih memuaskan ketimbang kaset dan cakram kompak. “Rentang bunyi suara musiknya juga lebih lebar,” kata dia. Asyraf juga sering memakai piringan hitam koleksinya jika bertugas sebagai disc jockey di acara pembukaan toko atau tempat makanan. Alasan lainnya adalah Ray tertarik pada kemolekan sampul album piringan hitam. 


Harga  piringan hitam milik Asyraf terentang dari Rp 50 ribu hingga Rp 1,2 juta per album. Album termahal yang dimilikinya adalah karya Frank Ocean. Selain ke toko Keep Keep Musik, ia  mencari album ke tiga tempat lainnya di Bandung.  Saban bulan ia menargetkan menambah lima judul album.


Selanjutnya: Berburu Tiap Pekan



Di Jakarta, Fristine Amelia, 22 tahun, hampir setiap pekan berburu piringan hitam di kawasan Blok M. Perancang busana ini biasanya menghabiskan dana sekitar Rp 500 ribu dalam satu kali perburuan.  “Tapi kalau lagi banyak bisa sampai Rp 1 juta,” kata pemilik brand Tenun Nan Elok ini kepada Tempo, Kamis lalu.


Sekarang ini, ia lagi tertarik digging—istilah berburu piringan hitam-- genre musik balearic, jazz, dan Jepang. Dia antara lain, menggemari album musikus Jepang, Tatsuro Yamashita; musikus  jazz  Herbie Mann dan Bob James.  


Secara mengejutkan, ia bahkan mendapatkan kiriman piringan langsung dari salah satu produser musik balearic di Inggris, yakni album Ambala. Dan sebagai balasannya, ia akan mencari piringan hitam dari musikus Indonesia dengan jenis musik yang diharapkan sang pengirim.  


Buah dari rajin berburu, jumlah koleksi piringan hitam Fristine sekarang mencapai seratusan keping. “Saya emang pencinta musik dari dulu.” Koleksi terbaru  Fristine termasuk album piringan hitam Philosophy Gang karya Harry Roesli yang dirilis bulan lalu.Penggemar musisi Harry Roesli menunjukkan piringan hitam Philosopy Gang di Jakarta.


Kalau koleksi Fristine baru mencapai seratusan keping, koleksi Wahyu Nugroho, 38 tahun, sudah menembus dua ribu keping. Anggota grup band Bangkutaman ini  menuturkan, kegemarannya akan piringan hitam muncul setelah mewawancarai David Tarigan, pengelola Irama Nusantara, pada 2006 silam.  Selain piringan hitam, koleksi Acum—begitu ia biasa disapa, masih ditambah  cakram kompak dan kaset.

“Istri saya sudah bilang, kayaknya koleksinya mulai kebanyakan nih..,” ujarnya kepada Tempo di kantornya di Jalan Petogongan, Jakarta Selatan.


Acum menjadikan pula piringan hitam sebagai hadiah bagi yang memesan buku #Gilavinyl sebelum peluncurannya dalam acara Record Store Day pada 21-23 April nanti.  Record Store Day adalah hari perayaan bagi penggemar produk rekaman musik berbentuk fisik sedunia.


Selanjutnya: Marak Sejak 2013



Menurut Acum, buku #Gilavinyl merupakan catatan perjalanannya dari awal tertarik membeli piringan hitam sampai  menjadi kolektor, disc jockey, penyiar, dan musikus. Ia juga mewawancarai selebritas dan musikus seperti personel grup band Nidji, Andien, dan Aprilia Apsari “White Shoes”.


Dia mengimbuhkan,  buku ini bisa menjadi referensi tentang kolektor piringan hitam.

Acum berujar,  minat generasi muda terhadap media piringan hitam mulai marak sekitar 2013-2014.


Salah satu pendorongnya adalah acara Record Store Day yang digelar serempak di seluruh dunia.  Biasanya, dalam perhelatan tersebut digelar penjualan album-album musik  dalam format kaset, cakram, serta piringan hitam. 


David Tarigan mengungkapkan,  tren anak muda menyukai piringan hitam cenderung datar tahun ini. “Puncaknya dua atau tiga tahun lalu,” kata dia. Alasan itu didasari dari membludaknya pengunjung Record Store Day  di Bara Futsal, Jakarta, dua tahun lalu.


Saat ini, ujar David, kebanyakan pencinta piringan hitam membeli lewat situs Internet dan media sosial seperti Instagram dan Facebook. “Penjualnya banyak di luar Jakarta, koleksinya bagus dan unik,” kata David yang juga tergabung dalam label rekaman DeMajors.


Ia sendiri termasuk orang yang suka membeli rekaman fisik lewat akun Instagram. Salah satunya Shadylane Records, yang bermarkas di Kota Mataram, Lombok.  Pemilik akun Shadylane Records, Fajri Syafaat, 30 tahun mengatakan, pembeli piringan hitam umumnya berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Setiap hari ia bisa menjual 15-20 keping piringan.


Dihubungi  Selasa lalu ia menuturkan, koleksi piringan hitamnya sekitar 600 keping, CD  300 keping, dan kaset 250 buah. Ia juga mengimpor dari temannya di Jepang dan Inggris. “Sekarang saya lagi senang cari kaset lagu-lagu Indonesia,” kata dia. Seperti album Giant Steps dan album karya Benny Soebardja.  Pada pertengahan Maret lalu, ia juga membeli album piringan hitam Philosophy Gang Harry Roesli yang diluncurkan oleh La Munai Records.  


Selanjutnya: Bermula Dari Waldjinah



Di Surabaya, Diani Permata Sari, 24 tahun, pemilik Blackwood Record Store memulai usahanya berjualan alat rekam fisik melalui Internet. Bisnisnya bermula dari hobi yang tidak sengaja ia tekuni ketika pertama kali mendengarkan lagu Waljinah lewat piringan hitam, pada 2012.


Sekitar 95 persen usahanya berfokus menjual piringan hitam, alat pemutar, beserta aksesorisnya seperti jarum pemutar. “Semua piringan kami impor dari distributor pusatnya di Amerika Serikat,” kata Diani kepada Tempo, Kamis lalu.


Ia bersama kekasihnya Tofani Persada, lalu membuka toko di bekas gudang milik keluarga Tofani yang terbengkalai sejak November tahun lalu. “Stok piringan impor semakin menggunung seiring dengan meningkatnya permintaan pembeli,” tutur mahasiswa Sastra Inggris Universitas Airlangga ini.


Diani menuturkan, Blackwood Record Store mengandalkan promosi lewat Internet selama kurang lebih tiga tahun. Instagram dan Bukalapak dinilainya efektif menyedot minat penghobi piringan hitam.  Buktinya, sekitar 95 persen pembeli berasal dari media sosial.


Mayoritas penyuka piringan hitam yang membeli dari lapaknya adalah anak-anak muda. “Dari kira-kira 100 transaksi dalam setahun, 50-60 persen pembelinya berusia 17-25 tahun,” ucap manajer toko,  Abraham. Sisanya merupakan pembeli dewasa yang berusia di atas 25 tahun.  Konsumen dewasa, ucapnya,  lebih suka membeli langsung saat Blackwood berjualan di perhelatan anak-anak muda.  


Untuk pilihan jenis musiknya, british pop dan rock paling digemari. Menyusul koleksi piringan hitam dari musikus-musikus legendaris seperti Bob Marley, the Beatles, atau Nirvana.  Kebanyakan pembeli piringan berasal dari luar kota Surabaya. Misalnya Jakarta, Bandung, Kalimantan, bahkan Malaysia. “Mungkin mereka penasaran dengan kami yang berasal dari Surabaya, sebagai satu-satunya spesialis vinyl,” kata Diani.


Selanjutnya: Tak Selalu Mulus



Namun bisnis media rekam fisik tak selalu mulus. Pengalaman Reza Pohan yang pernah menjadi  pedagang  piringan hitam di Medan menunjukkan hal itu. Dia membuka toko musik garasi pada 2010 hingga 2012. Selain lewat toko, Reza  memasarkan koleksinya melalui Facebook. Sebanyak 80 persen  pembeli datang dari Jakarta dan Bandung.

“Selain dari Facebook, teman-teman di luar kota yang menginformasikan dari mulut ke mulut,” kata Reza, Kamis lalu. Pembelinya rerata adalah pekerja berusia 30 tahun ke atas. Tapi lama-kelamaan, jumlah penjualan berikut stok piringan Reza menipis. Koleksinya yang dulu  mencapai seribu keping lebih kini  tinggal 100-200 keping.  “Tren toko piringan hitam sekarang adalah  menggabungkannya dengan bisnis lain, seperti kafe dan butik.  Pasti akan sangat menjual,” katanya.   


Penjualan melalui Internet pun tak selalu lancar.  Fristine mengatakan yang  lebih suka membeli langsung di gerai penjualan. Rupanya, dia pernah punya pengalaman buruk membeli piringan hitam melalui Instagram, tapi tak kunjung tiba. “Kalau pun digging via Internet, aku janjian ketemu orangnya,” kata dia.


Toko Keep Keep Musik memilih tidak membuka toko  di ranah maya. Adit menuturkan lebih suka peminat datang langsung dan berbincang soal musik serta piringan. “Interaksi seperti itu yang membuat saya  senang, sekaligus menambah kenalan,” ujar mantan anggota band Rock n Roll Mafia itu.


Adit punya pengalaman unik dengan pembeli remaja  yang mengajak orang tuanya ke kafe sambil bertukar pikiran dengan dirinya dan beberapa orang penyuka piringan hitam lain. “Banyak juga yang memberi daftar album permintaan,” ujarnya.


Suasana serupa ini juga yang dirasakan anak-anak muda Jakarta. Di toko Monka Magic yang berada di dalam toko Buku Aksara, Kemang tidak sedikit penghobi piringan nongkrong. “Buat gue, Monka Magic bukan hanya toko rekaman,  tapi kayak social art,” kata Acum dalam buku #Gilavinyl.


Bisnis Monka Magic diawali dari berjualan di Kaskus pada 2010.  Setelah permintaannya semakin besar, Satrio Hutomo, salah satu pendiri Monka Magic membuka kemitraan dengan Aksara.


MARTHA WARTA SILABAN |ANWAR SISWADI |ARTIKA RACHMI FARMITA| ASKAR MONDZA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tulus Wijanarko

Tulus Wijanarko

Wartawan senior dan penyair.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus