Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK semua orang seperti Sudiro, bekas Walikota Jakarta yang
tambah banyak jabatan setelah pensiun. Kebanyakan pensiunan
akhirnya seperti orang kesepian, kehilangan kerja, malas dan
akhirnya cepat melayu. Sementara Departemen Kesehatan sudah
menyimpulkan bahwa orang Indonesia dalam umur 60 tahun masih
sanggup bekerja.
Pernah dikabarkan di Yogya ada seorang pensiunan PJKA yang
berusia 112 tahun. Mungkin Suro yang dimaksud. Tapi orang ini
sudah meninggal 1977. KBN Yogya menunjuk Mbah Djojosentono,
pensiunan PJKA sebagai pemegang rekor umur tertua di antara
para pensiunan di Kota Gudeg. Kakek itu berusia 106 tahun
sekarang. "Saya ingin mati umur 120 tahun," ujarnya dengan yakin
kepada Syahril Chili dari TEMPO.
Kapabelitas Kurang
Djojosentono berambut putih. Giginya ompong, penglihatannya
kabur, pendengaran kurang, ingatan luntur. Ke mana-mana perlu
ditemani tongkat. Sekarang ia tidak berani pergi terlalu jauh
dari rumahnya yang berdinding gedek di Pengok Blok E no. 23.
Setiap bulan, pada tanggal 6, cucunya mengantarkan ke Kantor Kas
Negara untuk mengambil uang pensiunan yang berjumlah Rp 20.450.
"Uang itu untuk dibagi-bagikan sama cucu," kata mbah Djojo.
Dari dua anak yang masih hidup (dua orang meninggal) orang tua
ini memiliki l3 orang cucu dan 23 orang buyut. Dia memang tidak
hidup untuk dirinya sendiri lagi. Anak-anaknya sendiri yang juga
mengabdikan dirinya pada PJKA sekarang masing-masing berusia 63
dan 58 tahun. Keduanya juga sudah pensiun. Djojo sendiri pensiun
pada 1953 setelah mengalami 37 tahun masa kerja. Di Kantor
Bendahara Negara Yogya umurnya tercatat baru 93 tahun -- itu
akal-akalan waktu ia melamar kerja -- dipermuda agar bisa
memenuhi persyaratan dari Belanda.
Soeradi PW seorang polisi pensiunan juga dari Yogya mengatakan
bahwa pengunduran batas usia pensiunan sampai 60 tahun dari 56
tahun adalah tepat. Ia sendiri pensiun 1973 pada usia 45 tahun.
Ia menderita cacad pada jari tangan. Karena anggota ABRI
diperkenankan meminta pensiun apabila menderita cacad.
"Sebenarnya bagi orang yang punya keahlian lain, seperti saya,
sebagai pelukis misalnya, lebih senang cepat-cepat pensiun"
ujarnya. Lalu ia tambahkan: "Namun kebanyakan orang tak punya
keahlian lain, sehingga masa pensiun dianggap suatu masa di mana
kehidupan mundur.
Di Surabaya ada pensiunan Bengkel Air Minum Kodya Surabaya yang
bernama Mustakim. Ia bebas tugas sejak 1965. Sekarang usianya 71
tahun. Meskipun tak memiliki keahlian lain, tapi dengan usaha
seradak-seruduknya, ia berhasil mendapat uang lebih banyak
daripada waktu sebelum pensiun. Uang pensiunan terakhir yang
diterimanya sebelum kenaikan satu April, berjumlah Rp 25.000.
Tapi karena ia rela menjadi penunggu penitipan sepeda di daerah
Pasar Gubeng, setiap hari ia mendapat tambahan Rp 400. Selain
itu ia membantu dokter praktek pada sore hari dengan gaji Rp 15
ribu sebulan. Walhasil meskipun hanya pensiunan golongan C-3, ia
sudah punya TV di rumah.
Di Balaikota Ujungpandang ada pensiunan pesuruh bernama Baco,
sudah berusia 109 tahun. Ia pensiun 1960, tapi kemudian diangkat
kembali sebagai pesuruh honorer Mungkin mengingat pengabdiannya
sejak tahun 1920-an. Pensiunan golongan I B ini mengeluh bahwa
distribusi seperti kain, minyak, beras yang diterimanya sebelum
pensiun, kini tak ada lagi. Meskipun dihujani tanda penghargaan
sebagai pegawai eladan sebanyak 6 kali -- hidupnya agak
kewalahan. Kenapa? Dua dari enam isterinya (empat lainnya sudah
meninggal) masih menjadi tanggungan Baco. Perlu disebut juga
pesuruh ini memiliki 45 orang anak, 4 di antaranya masih hidup.
Wasiat Ibu
Pada 1960, uang pensiunan Baco hanya Rp 80. Pada zaman Walikota
Patompo naik menjadi Rp 13 ribu. Sesudah Kenop 15, Walikota
Abustam mengatrol jumlah itu menjadi Rp 22.500. Inilah
penghasilan Baco sekarang di samping honornya sebagai pesuruh
yang berjumlah Rp 7.500 itu. Seperti cerita film si Mamad, Baco
biasa berangkat ke kantor pukul 5 subuh naik sepeda merek
"Sumiko" pemberian Patompo tahun 1969.
"Dengan pendapatan saya sekarang, kehidupan saya belum memadai,"
ujar Baco mengeluh. Namun demikian setelah Walikota Abustam ia
menerima uang pensiunan pada awal bulan. "Memang gaji pensiun
biasa terlambat diterima tapi tidak bagi saya, mungkin karena
saya sudah banyak menerima tanda penghargaan, termasuk Bintang
Mas sebagai Pegawai Teladan," ujarnya. Kemudian ditambahkannya
"Tapi sebetulnya yang saya harapkan bukan tanda penghargaan,
tapi bantuan uang sebagai pegawai kecil."
Di Jakarta sendiri banyak pensiunan yang memang merasa hidupnya
mundur setelah tak bertugas. Adalah yang bernama Siahaan,
pensiunan Departemen Kesehatan RI golongan III-B. Ia menguasai
dengan baik bahasa Inggeris, Belanda dan Jerman. Tetapi setelah
pensiun 4 tahun lalu, ia sama sekali tak punya tambahan
penghasilan. "Aku ini pensiunan yang tidak cerah," katanya
mengaku kepada Muthalib dari TEMPO, "setelah pensiun ini,
kapabelitas saya berkurang. "
Ia seorang olahragawan yang sampai usia 40 tahun masih doyan
main "ringen." Ia menyatakan kalau tidak diganggu sakit, ia
masih kuat kerja di kantor sampai usia 70 tahun. "Asal
pekerjaannya benar-benar kita senangi," ujarnya menambahkan.
Untuk menghadapi sisa umur selanjutnya Siahaan ini berniat masuk
perguruan tinggi lagi, meneruskan studi hukumnya yang
terbengkalai pada 1962. Ia ingin menjadi pengacara untuk membela
orang-orang yang tidak mampu. "Kalau Tuhan mengizinkan, saya
akan mengamalkan ilmu itu nanti sampai usia 80 tahunlah!"
ujarnya dengan pasti.
Waktu pensiun, Siahaan sempat membeli cicil sebuah Jeep Willys
1957 milik Depkes. Mobil yang masih gesit itu memang banyak
membantu dan merupakan kenang-kenangan berharga buat
pengabdiannya. Di jalan Kusen, Rawamangun, isterinya juga aktip
berjualan barang kebutuhan sehari-hari. "Aku pakai catatan,
paling-paling sehari cuma Rp 500 untungnya, tapi lumayan untuk
tambah-tambah," kata Siahaan.
Kalau banyak orang mengeluh dalam mengurus surat pensiun,
Siahaan yang tertarik pada soal-soal hukum ini ternyata tidak
mengalami kesulitan. "Ah tidak sulit untuk saya. Kita tahu kan
permasalahan pensiunan itu, jadi tidak adalah itu orang
mempermainkan," jawabnya.
Berbeda dengan Siahaan, MohamInad Saleh, pensiunan Letnan Dua
TNI AD (55 tahun) tetap aktif bekeria setelah pensiun. Bapak ini
sebenarnya sudah tidak langsung aktip sebagai tentara sejak
l950, dengan jabatan terakhir sebagai Ajudan Batalyon I di
Cirebon. Namun baru 1969 ia mengurus surat pensiun. "Saya mulai
tidak aktif sebagai tentara lantaran wasiat ibu saya, menjelang
meninggal. Ia bilang kalau selamat pulang dari tugas di Bandung,
agar tidak jadi tentara lagi," ujarnya menerangkan.
Tahun 1951, pak Saleh merantau ke Jakarta, bekerja di perusahaan
asing. Pindah dari satu kantor ke kantor yang lain. Sejak 1977
sampai sekarang ia mengurusi rumah sakit di daerah Depok milik
kelompok Harian Benta Yudha-sebagai staf keuangan. "Uang
pensiunan kecil tak lebih dari Rp 20 ribu, tapi cukup untuk
menambah-nambah ongkos anak-anak sekolah," ujarnya. Ia memiliki
7 anak -- 3 orang masih menjadi tanggungannya.
Dengan adanya penyesuaian pensiunan pokok sekarang, pak Saleh
belum tahu berapa akan menerima pensiunan. Tapi ia kelihatannya
agak pesimis. "Bagi yang setingkat saya, kalau mengharap
pensiun saja, jelas tidak cukup. Dan saya bisa merasakan mereka
yang lebih kecil terimanya dibanding saya. Padahal bagi saya
pensiun itu seharusnya saat untuk merasa tenang di hari tua. Ya,
kan dik?" ujarnya. Untunglah ia mendapat Rp 40 ribu dari
pekerjaannya sekarang. Jadi meskipun tidak ayem, toh ia bisa
lebih tenang daripada hanya mengandalkan uang pensiunan.
Mengenai soal kenaikan uang pensiun sebenarnya pak Saleh tidak
begitu gembira. "Kalau harga-harga juga pada naik, hitung-hitung
juga hampir sama dengan sebelum ini," ujarnya. Untuk barang
barang pangan ia masih optimis bisa dijangkau. Ia hanya
termenung kalau memikirkan biaya jalan atau biaya sekolah untuk
anak-anak. "Mudah-mudahan perbaikan terus dilakukan, seperti
pensiunan dulu kita cuma terima berapa itu, Rp 5000 pertama
kalinya. Sekarang dinaikkan lagi. Asal diteruskan supaya lebih
baik, lumayan."
Sandang, pensiunan Kantor Gubernur di Banda Aceh juga acuh tak
acuh mendengar kenaikan uang pensiunan. Lelaki berusia 62 tahun
ini sekarang bekerja di terminal bus, karena uang pensiunannya
hanya Rp 16.800. aji pokok pensiunannya Rp 600. "Tak tahulah
berapa yang bakal saya terima kelak. Kalaupun pensiunan naik,
pasti saya tidak bisa hidup dari duit itu tok," ujarnya kepada
TEMPO.
Tetapi ia tidak ingin mengeritik Pemerintah, ia justru ingin
mengeritik teman-temannya yang sama-sama antre di loket. "Mereka
hanya membicarakan tentang pensiun kecil tanpa mau berusaha
membebaskan diri mereka. Kan pensiun itu bukan berarti
menganggur, ya tidak nak," katanya polos. Sementara Sukiman
seorang pensiunan Mantri Ukur dari kawasan yang sama
menambahkan bahwa keputusan penyesuaian pensiunan adalah sesuatu
yang adil. "Kita iri melihat mereka yang pensiun tahun terakhir
ini pendapatannya besar. Sebenarnya apa sih bedanya pengabdian
mereka dengan kita" tanyanya.
Ketampiasan Rezeki
Perkara saling pacu antara harga barang yang selalu menguntit
perbaikan gaji memang perkara sulit. Berbagai akal juga dicoba
oleh pensiunan. Di Yogya misalnya pernah ada koperasi para
pensiun. Di sana para pensiun dilayani untuk meminjam uang
dengan bunga yang sama besarnya dengan pinjaman di bank. Tapi
sekarang usaha itu musnah. "Sudah bubar tahun 1974," kata
Sukirman Kusumosaputro, bekas pimpinan Koperasi Timbul Usaha
yang berkedudukan di Jalan Ngampilan Yogya itu.
Koperasi yang almarhum itu sempat menggabungkan 300 orang
anggota. Didirikan dengan maksud menghindarkan anggotanya dari
cekekan rentenir. Sukirman tidak mau menjelaskan secara
terperinci sebab-sebab kegagalan usaha yang baik itu. Ia hanya
berkata pendek: "Gara-gara kemasukan orang lain." Tapi kemudian
ia menambahkan bahwa anggota menerima Rp 1.000 setiap orang
waktu dibubarkan, padahal waktu berdiri tahun 1969 hanya
menyetor Rp 500.
Sementara itu yang masih aktip sekarang untuk mencari jalan
keluar bersama adalah para purnawirawan ABRI Yogya. Untuk
memelihara kesejahteraan anggota mereka memiliki kegiatan
tersendiri. Misalnya dengan membentuk Ketoprak Sapta Mandala
pimpinan pensiunan Kapten CPM Sunarjadi. Setiap kali pementasan
para pensiunan yang langsung aktip sebagai kru ketampiasan
rezeki. Mungkin kecil, tapi daripada tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo