Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian orang mungkin tidak menyadari jika sering oversharing di media sosial. Apa bahayanya dan bagaimana cara menghindarinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan oversharing adalah untuk berbagi atau mengungkapkan terlalu banyak informasi. Istilah ini biasa digunakan pada seseorang yang, entah sadar atau tidak, telah terlalu banyak mengumbar suatu informasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sungguh menakjubkan betapa banyak hal di luar sana tentang semua orang, dan apa yang orang-orang bagikan tentang diri mereka sendiri, seringkali tanpa sadar mereka lakukan,” kata profesor komunikasi di Annenberg School for Communication, Joseph Turow, dalam laman Penn Today.
Oversharing bisa dilakukan dengan memberikan informasi pribadi atau membagikan informasi dari pihak lain. Tindakan ini dapat dilakukan siapa saja dan di mana saja, termasuk pada media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya.
Dilansir dari artikel berjudul Perilaku Oversharing di Media Sosial: Ancaman atau Peluang? yang terbit di jurnal Psikologika, motif yang menyebabkan seseorang oversharing adalah menjaga relasi sosial dengan orang lain, melakukan presentasi diri, dan mendapatkan hiburan, serta belajar.
Berikut adalah bahaya oversharing:
- Terlalu banyak membagikan suatu informasi di media sosial bisa menyebabkan efek adiktif atau kecanduan. Oleh karena itu, perlu dilakukan terapi dengan pendekatan biologis, psikologis, dan sosial untuk menghilangkannya;
- Memicu perundungan di dunia maya atau cyberbullying;
- Menyebabkan perbandingan diri dengan orang lain yang justru bisa menurunkan harga diri;
- Memunculkan kesempatan tindak kriminal melalui pencurian data pribadi yang dapat disalahgunakan, seperti untuk mengakses akun bank hingga mengakses dokumen-dokumen rahasia.
Lantas, bagaimana cara menghindari oversharing? Dilansir dari laman diskominfo.pontianakkota.go.id, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, antara lain:
- Memisahkan akun pribadi dan profesional untuk membatasi konten yang disebarkan;
- Memilah kembali informasi yang ingin dibagikan di media sosial;
- Mencari tahu apa yang terjadi bila mencari diri sendiri dalam mesin pencarian;
- Menghapus konten yang dianggap memberikan informasi atau citra negatif pada pencarian nama pribadi.
Selain cara itu, Turow menyarankan meminimalkan tumpang tindih kata sandi dan berhati-hati dalam mengklik tautan di email. Menyebarkan tautan melalui email adalah cara umum bagi scammers untuk menyusup ke komputer seseorang.
Ia juga menyarankan orang-orang berpikir dua kali saat mengikuti “tantangan viral” di media sosial yang membagikan informasi pribadi, seperti kota kelahiran, nama ibu, dan sebagainya. Informasi-informasi itu mungkin tampak sepele, tapi bisa digunakan untuk menggali identitas seseorang lebih dalam.
Dari informasi itulah, peretas bisa menebak pertanyaan keamanan untuk meretas akun media sosial maupun akun bank, dan mengirim pesan 'spear phishing' yang dirancang untuk menipu seseorang demi mendapatkan informasi sensitif. Turow juga mengingatkan postingan seseorang di media sosial akan menjadi konsumsi publik, sehingga orang-orang harus berpikir dua kali sebelum memposting sesuatu.
AMELIA RAHIMA SARI