Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Bila Anda merasa sudah terlalu biasa menyambangi Pasar Bringharjo ketika sedang melancong ke Yogyakarta, cobalah blusukan ke Pasar Legi. Pasar yang berlokasi di jantung kota Kotagede tersebut memiliki suasana yang lebih tradisional dibanding pasar-pasar lain.
Saban hari, para pelancong akan menyaksikan ibu-ibu para pemilik kios dagangan menggunakan pakaian Jawa, seperti jarik atau kain tradisional, untuk membebat tubuh mereka sebagai ganti rok. Di tengah pasar, para pedagang pun menjual penganan-penganan tempo dulu yang sudah langka ditemui. Misalnya kipo atau kuliner ringan yang terbuat dari tepung beras dan dikemas dengan daun pisang.
Tak cuma itu, cara pedagang berjualan juga masih mengandalkan cara lama. Misalnya Dawimah, si pedagang jamu batok. Disebut jamu batok karena penyajiannya menggunakan gelas batok. Inilah yang memperkuat nuansa tradisional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dawimah tak mengganti cara penyajian batoknya dengan gelas sejak 63 tahun lalu. Ya, ia memang sudah puluhan tahun berdagang jamu di Pasar Legi Kota Gede, Yogyakarta. Jamu dagangannya langsung ia racik di tempat saat pengunjung membeli. Meraciknya pun manual, yakni menggunakan perasan tangan.
Cara ini ia adopsi dari nenek dan ibunya yang konon juga berdagang jamu di Kotagede. Sejak pertama kali membuka lapaknya di pasar itu, tepatnya 63 tahun lalu, Dawimah tak mengganti metode jualannya. Ia mewarisi cara ibu dan neneknya berjualan jamu, yakni meracik secara manual di tempat.
Tempo mengobrol dengan Dawimah sambil menyaksikan ia melayani para tamu yang memesan jamu pada Senin lalu, 3 September. Tampak, perempuan paruh baya itu begitu piawai meracik jamu. Tak heran banyak pengunjung yang datang bukan cuma buat minum jamu, tapi juga belajar cara membuatnya.
Pengunjung juga bisa berkonsultasi dengan Dawimah perihal keluhannya. Semisal pegal-pegal, Dawimah akan menyarankan tamunya meminum jamu pegal linu. Ia juga akan menanyai sudah berapa lama si tamu merasa tak enak badan. Seorang penjaja jamu di Pasar Legi Kota Ged, Yogyakarta, Senin, 3 September 2018. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Tak heran lapak itu ramai. Padahal, dari pengamatan sekelebat, gerai sederhana Dawimah hanya diisi meja panjang setinggi lutut orang dewasa dan dua kursi panjang untuk pengunjung. Pengunjung yang duduk di kursi itu akan berhadap-hadapan langsung dengan Dawimah yang sibuk meracik jamu di balik meja.
Di meja itu diletakkan belasan botol jamu. Jenisnya macam-macam. "Mau jamu apa?" kata Dawimah setiap kali ada yang mendekat ke lapaknya. Rata-rata, ujar Dawimah, pengunjung yang berasal dari kalangan pedagang pasar memesan jamu uyup-uyup alias jamu untuk kebugaran. Sedangkan pengunjung atau wisatawan biasanya membeli kunyit asam dan beras kencur.
Sembari menyeruput jamu, Anda akan melihat Dawimah memeras-meras dedaunan. Tangannya sampai kuning kehijauan karena sepanjang hari berkutat dengan macam-macam jenis tumbuhan.
Dawimah mulai berjualan jamu pukul 06.00. Kemudian, ia akan menutup lapaknya pada pukul 13.00. "Datang pagi supaya kebagian banyak jamu," kata Dawimah. Segelas jamu itu dibanderolnya seharga Rp 5.000.
Tak perlu khawatir merasa pahit berkepanjangan selepas minum jamu karena Dawimah menyediakan wedang madu sebagai tombo alias obat penetralnya. Minuman itu diberikannya secara gratis.