Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ngorok, Berisik dan Berbahaya

Dengkuran disertai henti napas bisa mengakibatkan penyakit jantung, stroke, hingga meninggal mendadak. Tak bisa disembuhkan, hanya dikurangi.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Steve—bukan nama sebenar­nya—bertubuh atletis. Warga Ame­rika Serikat yang bekerja di Jakarta itu memiliki tinggi badan 183 sentimeter dan berat 85 kilogram. Secara keseluruhan, penampilan pria 47 tahun ini menarik. Tapi Steve mengaku kurang percaya diri, terutama pada malam hari. Lho, kok bisa? Karena Steve punya kebiasaan mendengkur.

Tidak tanggung-tanggung, suara ngo­rok­nya keras bak geraman ­mesin penye­dot debu—demikian komentar teman-temannya yang pernah tidur sekamar de­ngannya. Bukan cuma bikin jengkel, deng­kuran Steve juga membuat waswas. Soal­nya, di sela-sela dengkuran, Steve se­ring tiba-tiba gelagapan seperti orang ter­ce­kik.

Yang makin membuat Steve tidak ­percaya diri bila dia tertidur di pesawat terbang. Bukan satu dua kali, lelaki yang se­ring bepergian ini dibangunkan pra­mugari gara-gara suara ngoroknya ­meng­ganggu penumpang lain. ”Katanya, para penumpang panik, soalnya dia beberapa kali tersedak dalam tidur, seperti orang sekarat,” jelas Damayanti Soetjipto, yang menanganinya. Kepada dokter spesialis telinga, hi­dung, dan tenggorokan (THT) dari Klinik Mendengkur Rumah Sakit Metropilitan Medical Center (MMC) Jakarta Selatan ini, Steve juga mengeluhkan kondisi badannya yang tidak sebugar dulu.

Lewat serangkaian pemeriksaan, Steve ternyata menderita obstructive sleep ap­­-nea atau henti napas ketika tidur. Saluran pernapasannya tidak cuma me­nyem­pit tapi juga sering tersumbat. Dengan alat khusus yang dimasukkan lewat lubang hidung, baru diketahui penyebabnya. ”Ukuran lidahnya agak besar dan langit-langit mulut (bagian atas rongga mulut) lunak dan panjang,” tutur Damayanti, yang bertugas di klinik mendengkur itu sejak pertama kali dibuka pada akhir 2005.

Berdasarkan hasil penelitian Damayanti baru-baru ini, anatomi lidah dan langit-langit mulut seperti yang dimi­liki Steve itulah yang menjadi penyebab henti napas sewaktu tidur. Nah, berbagai kelainan pada mulut, hidung, dan tenggo­rok­an yang menjadi penyebab terjadinya obstructive sleep apnea (OSA) dijelaskan dalam penelitian Damayanti, yang merupakan penelitian pertama di Indonesia tentang berbagai penyebab henti napas dalam tidur (lihat infografik).

Bila seseorang sudah mempunyai sa­tu dari faktor penyebab OSA, risiko­nya akan bertambah bila memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, atau menderita obesitas. Berbeda dengan ngo­rok biasa, penderita bukan cuma mengeluarkan suara dengkur, melainkan juga sering terjaga gara-gara tidak bisa bernapas. ”Dalam satu jam bisa sampai 15 kali bangun, malah kalau sudah parah bisa sampai 50 kali,” tutur Damayanti kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Parahnya, sering kali orang yang bersangkutan tidak menyadarinya. Keluhan biasanya muncul dari orang yang tidur di sampingnya. Bahkan tak jarang pasangan pisah ranjang gara-gara ngorok. ”Pasien yang datang ke sini rata-rata memang mengaku dikomplain pasangannya,” kata Damayanti, yang sudah menangani lebih dari seratus pasien.

Dalam seminar bertema Another Silent Killer, Mendengkur dan OSA, yang digelar Departemen THT Fakultas Kedokteran UI-RSCM Jakarta, Kamis dua pekan lalu, disebutkan juga bahaya yang mungkin muncul akibat ngorok. ”Bisa memicu penyakit lain seperti hipertensi, serangan jantung, stroke, hingga disfungsi seksual,” ujar Bambang Hermani, ahli THT yang juga Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis THT-Bedah Kepala Leher Indonesia.

Penyakit ini juga bisa menurunkan kualitas hidup penderitanya. Pasalnya, bila terlalu sering berhenti bernapas—bisa sampai 10 detik atau lebih—pasokan oksigen ke pembuluh darah terganggu. ”Akibatnya, ketika bangun, bukannya segar malah lemas, sakit kepala, dan susah berkonsentrasi,” katanya. Produktivitas penderita OSA ini juga menurun gara-gara sering mengantuk dan tertidur pada waktu bekerja.

Damayanti menyebut penyakit ini sebagai silent disease. Bukan cuma memicu penyakit-penyakit bahaya tadi, sumbatan tak terkendali bisa bikin penderitanya meninggal mendadak. Tak sedikit kasus kecelakaan lalu lintas terjadi gara-gara penderita OSA tiba-tiba tertidur ketika menyetir.

Kabar gembiranya, OSA sudah bisa ditangani dengan baik. Syahrial M. Hutauruk, ahli THT dari RSCM, menyarankan para pendengkur tak ragu berkonsultasi dengan dokter. Saat ini, katanya, sudah tersedia berbagai pilih­an terapi di RSCM dan RS MMC, baik dengan bedah maupun bukan.

Cara tanpa bedah adalah dengan penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP). Alat seperti masker dengan aliran oksigen yang diarahkan ke hidung ini digunakan selama si penderita tidur.

Untuk kasus yang lebih berat, seju­mlah teknik pembedahan juga tersedia. Yang paling populer di Indonesia adalah implant pillar, yaitu dengan menanam alat di langit-langit bagian dalam rongga mulut, sehingga bagian tersebut kaku. Bila bernapas ketika tidur, langit-langit bagian dalam si penderita tidak lagi menghalangi aliran udara.

Terapi memasang implant ini yang diterapkan pada Steve, pertengahan tahun lalu. Tiga buah implant dari bahan polietilen—semacam plastik transpa­ran—ditanam di otot langit-langit se­­hingga bagian itu kaku. Prosesnya cukup singkat, sekitar lima menit saja. Cuma, biayanya cukup mahal, yaitu Rp 15 juta. Pilihan lain adalah terapi radiofrekuensi konka inferior, yang bisa membantu mengecilkan ukuran lidah, dengan biaya Rp 2 juta.

Meski bisa ditangani, tidak ada satu pun terapi yang mampu menghilangkan dengkuran secara total. ”Maksimal 85 persen,” kata Damayanti. Tapi, katanya, hasil itu sudah cukup membuat si penderita tidur nyenyak. Pasangannya pun tidak lagi mengeluh karena suara ngorok jauh lebih halus dan mungkin terdengar seperti musik yang merdu. Asyik dong.

Nunuy Nurhayati

Penyebab Obstructive Sleep Apnea

Hasil penelitian Damayanti Soetjipto, spesialis THT Rumah Sakit MMC, menunjukkan rata-rata orang Indonesia yang mengalami OSA memiliki langit-langit mulut lunak (64,81 persen); lidah besar (65,91 persen), atau kelainan pada hidung (76,14 persen).

  1. Langit-langit lunak

    Langit-langit yang lunak ini mudah bergetar. Getaran langit-langit dan pilar—pembatas rongga bagian tengah tenggorokan dengan langit-langit—menghasilkan suara dengkur. Langit-langit yang lunak bisa jatuh menutupi saluran napas, sehingga pernapasan tersumbat.

    Penanganan: pemasangan implant pillar.

  2. Lidah

    Sebagian besar orang Indonesia punya dagu yang lebih kecil dari ukuran lidah. Jika ukurannya besar, lidah tidak tertampung sehingga bergeser ke belakang dan menutup saluran pernapasan ketika tidur.

    Penanganan: memperkecil ukuran lidah dengan terapi radiofrekuensi atau lewat operasi.

  3. Tenggorokan Tersumbatnya aliran pernapasan bisa juga disebabkan amandel yang membesar. Amandel, di kanan-kiri pangkal tenggorokan, bila terus membesar bisa menyumbat jalan napas.

    Sumbatan juga bisa terjadi karena adanya tumor dan kista di tenggorokan.

    Kegemukan membuat deposit lemak di sekitar leher menyempitkan saluran napas.

    Penanganan: menurunkan berat badan, operasi pengangkatan amandel, kista, ataupun tumor.

  4. Hidung Ada beberapa penyebab sumbatan di hidung, yaitu polip atau konka hidung yang membengkak. Konka adalah benjolan-benjolan di dalam hidung yang berfungsi menyaring dan menyelaraskan suhu udara yang masuk sehingga sesuai dengan suhu tubuh, 36,5 derajat Celsius. Semakin sering terkena udara dingin, konka makin bekerja keras.

    Penanganan: jika masih ringan, cukup dengan CPAP.

Bahaya OSA

  1. Sumbatan pada langit-langit lunak, lidah, hidung atau tenggorokan bisa membuat napas berhenti 10 detik atau lebih. Kadar oksigen dalam darah pun turun, sedangkan CO2 naik, sehingga merangsang pusat saraf di otak, yang membuat si penderita secara refleks terbangun. Karena hal ini terjadi berulang kali (15-50 kali dalam satu jam) tubuh jadi lemas ketika bangun. Proses regenerasi sel tidak terjadi.
  2. Lalu, jantung bekerja ekstrakeras memompa darah agar pasokan oksigen tercukupi. Pembuluh darah terus-menerus tegang sehingga memicu hipertensi.
  3. Kadar oksigen yang rendah pada pembuluh darah juga bisa memicu terjadinya emboli (bekuan darah). Emboli yang menyumbat pembuluh darah di otak bisa menyebabkan stroke. Kalau menyumbat pembuluh jantung, yang muncul adalah serangan jantung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus