Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR Seni di bilangan Taman Impian Jaya Ancol tak terasa telah
berusia 6 tahun. Kompleks yang didirikan Februari 1975 itu, kini
menjadi sebuah model yang sering ditontonkan kepada wisata
asing, sebagai sebuah kekayaan ibukota yang orisinal,
sebagaimana juga TIM. Unik, didukung oleh biaya besar dan
memiliki idealisme untuk mengawinkan seniman dengan masyarakat
banyak. Dan tampaknya cukup berhasil.
Bermula para seniman maupun pengrajin di sana tercampak dekat
pantai, di seberang tempat pertunjukan Lumba-Lumba, di bawah
lindungan gubuk-gubuk tidak permanen. Sejak 1978 menetap di
sebelah Drive In, dengan bangunan-bangunan menarik, pepohonan
yang rancak dan kebersihan yang terpuji. Penghuninya adalah para
pelukis, pengrajin, pematung, kios-kios barang souvenir dan
tukang jual makanan, mulai pecel sampai hotdog. Malam hari
ditambah dengan acara kesenian berupa lawak, musik jazz sampai
keroncong dan kelenengan hingga subuh.
Menyeret, menampung, membuat para seniman yang suka hura-hura
menjadi "tertib", merupakan kerja tersendiri. Sebaliknya bagi
para seniman itu, proses menjinakkan diri dengan beberapa
pegangan pokok, seperti tak boleh berambut gondrong, merupakan
peperangan batin yang unik. Banyak di antaranya yang tak tahan,
kemudian angkat pantat tapi tak sedikit yang bertahan selama 6
tahun dengan segala suka maupun duka.
"Fasilitas di sini cukup, lebih dari cukup," kata RW Mulyadi,
pelukis usia 33 tahun jebolan LPKJ. Di samping melukis, ia juga
main drama. Belum lama ini ia menjadi pemenang kedua kontes
merias muka lucu yang diselenggarakan dalam rentetan ulang tahun
Pasar Seni. Kios yang ditempatinya pindah-pindah. Bukan karena
orangnya mudah bosan tapi karena ini memang salah satu taktik
Pasar Seni untuk menyegarkan wajah. "Sampai soal promosi kami
diperhatikan, sehingga kami merasa tertolong," kata Mulyadi
memuji kandangnya.
Potret Silhuet
Pasar Seni punya banyak ketentuan ketat. Misalnya para penghuni
dilarang malas-malasan, membawa pacar, keluarga, atau istri
menginap di kios. Bahkan diharapkan semua berpakaian sopan.
Tidak boleh main catur dan sebagainya, karena yang terpenting
adalah menunjukan aktivitas kesenian menurut profesinya. "Tapi
saya tidak merasa terganggu oleh segala ketentuan itu, lagi pula
tak mengganggu kreativitas saya," tambah Mulyadi yang biasa
disebut Yadi oleh teman-teman dekatnya.
Ketika mulai menjadi warga "pasar" itu, Yadi membuat
barang-barang sovenir kecil. Kemudian dari seorang kawannya, ia
mendengar banyak orang Afrika menjual potret-potret silhuet di
sepanjang kaki lima Kota Paris, Prancis. Artinya setiap pemesan
bisa dibuatkan gambar silhuetnya dengan memakai gunting dan
kertas hitam. Cerita itu ditiru Yadi. Waktu itu ia menjadi orang
pertama di Pasar Seni yang menjual potret silhuet dengan tarif
Rp 750. Belakangan melonjak jadi Rp 3.500. "Tapi kerja itu
sekarang sudah saya hentikan, sejak 1979 yang lalu," ucapnya.
Di samping terus melukis, Yadi menekuni kerajinan kulit. Dengan
beberapa orang tukangnya, ia membuat tas, dompet, gantungan
kunci dan sebagainya dari kulit. Empat kali ia pindah kios dan
mendapat lokasi yang kadang kurang menguntungkan. Karena itu
persoalan yang dihadapinya adalah sepi pengunjung yang sering
datang beruntun. Suatu saat ia terlempar ke daerah baru (Blok C)
yang sepi pembeli. Akibatnya Yadi menunggak sewa kios sampai
beberapa ratusan ribu.
Untuk 2 buah kios ia harus membayar sewa Rp 80.000 sebulan.
Status Mulyadi adalah seniman dan pengusaha. Status lain yang
ada dalam urusan kepenghunian Pasar Seni adalah pengrajin. "Saya
tak memilih status pengrajin, karena nantinya akan terbatas.
Sebagai pengrajin kulit misalnya, saya akan dibatasi hanya
membikin kerajinan dari kulit tok," kata Yadi.
Sekarang Yadi yang hanya menempati satu kios di Blok B 24, juga
mengembangkan kerajinan etsa di atas kuningan, berwujud
gantungan kunci dan plaket. Di blok ini pengunjung ramai,
sehingga segala tunggakan sewa kios bisa ia lunasi. Ia tak mau
membocorkan berapa pendapatan totalnya sebulan. "Saya pernah
dapat ratusan ribu rupiah," katanya.
Yang jelas banyak order datang. Apalagi kini ia tidak hanya
menunggu, tapi juga memasarkan barangnya ke luar Pasar Seni.
Walhasil, ia memang sudah dilahirkan oleh Pasar Seni jadi
pengusaha. "Begitulah, kalau jadi pelukis nggak mungkin seperti
ini. Yang datang berbelanja ke mari juga bukan orang yang
punya apresiasi seni tinggi," katanya.
Sejak 2 bulan yang lalu, ada usaha untuk melindungi seniman
pengrajin Pasar Seni. "Ada tawaran untuk memperoleh kredit dari
satu bank, lewar pengelola yang diumumkan kepada kami," kata
Yadi. KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) itu plafonnya Rp 10
juta. Beberapa orang telah memanfaatkannya. "Saya cuma
mengajukan kredit Rp 500 ribu, tapi sangat berarti bagi saya,"
katanya lebih lanjut.
Amrus Natalsya
Amrus Natalsya, pematung terkenal, juga menghuni Pasar Seni.
Kini ia sedang kebanjiran order sepasang patung marmer ukuran
besar, 3 patung kayu lebih dari satu meter tingginya, serta 2
patung semen ukuran 2,5 meter. "Berdasarkan pengalaman, kalau
ada order memang beruntun," ujarnya di kios Blok C.
Bekas pimpinan Sanggar Bumi Tarung, Yogya, ini bergabung di
Pasar Seni sejak 1978. Sebelumnya ia berkarya di rumah. Waktu
itu katanya, cara kerjanya sangat melelahkan, karena selesai
satu lukisan, harus memburu-buru pembeli. Tenaga dan waktu
banyak terbuang karena itu. Di Pasar Seni lain. Setiap hari
rasanya seperti pameran, jadi bukan hanya relasi dan tetangga
saja yang melihat karyanya. "Ini penting bagi seniman seperti
saya, meskipun tidak membeli, saya bisa mendengar langsung
pendapat dan apresiasi orang banyak," lanjutnya.
Berbagai peraturan yang ada di Pasar Seni bagi Amrus adalah
semacam usaha untuk, "menempatkan seniman sebagai anggota
masyarakat biasa." Peraturan itu juga dibuat berdasarkan
persetujuan bersama. "Biar jangan ada image bahwa seniman tidak
bisa menjaga norma-norma umum yang berlaku di masyarakat,"
katanya dengan serius.
Semula diharapkan perbandingan antara seniman (termasuk
pengrajin) dengan pengusaha (pedagang) di Pasar Seni adalah 3:1.
Tapi menurut pihak pengelola bila perbandingan itu diterapkan,
sewa kios seniman harus dinaikkan Rp 25 ribu per kios tiap
bulan. Sebab biaya pengelolaan Pasar Seni antara 6-7 juta per
bulan. Dari para seniman hanya terkumpul Rp 1,6 juta, selebihnya
digaet dari kantung pedagang. Akibatnya kini memang banyak kios
untuk seniman dimanfaatkan oleh pedagang. "Karena itu kita harus
menerima kenyataan tersebut," kata Amrus.
Ada perasaan dari beberapa seniman, menghuni Pasar Seni tak
ubahnya seperti satwa di Kebun Binatang Ragunan jadi tontonan
orang. Amrus beranggapan lain. Justru karena merupakan tontonan
tetap, akan ada proses pameran terus menerus. "Bahkan lebih
human dibandingkan dengan sebuah galeri. Di sini karya yang
konyol juga bisa dilihat. Di galeri yang muncul yang terpilih
baik saja," katanya.
Sebagaimana juga Yadi, Amrus mengaku tidak lepas kontak dengan
dunia luar. Tahun lalu misalnya ia sempat menyelenggarakan
pameran 'lukisan kayu" -- salah satu penemuannya di Balai
Budaya. "Dalam pameran itu hampir 40 buah lukisan saya laku,
antara Rp 60 ribu sampai Rp 800 ribu per buah," katanya.
Dua tahun pertama di Pasar Seni, memang dimulainya dengan
suasana sepi pembeli. Tapi ia menganggapnya sebagai masa tanam.
Waktu itu payah-payah membangun, kini sudah mulai memetik hasil.
Istri dan 7 orang anaknya yang tinggal di Grogol (Jakarta
Barat), ikut menikmati jerih payah itu. Seminggu sekali ia
pulang. Satu kali sebulan, kadang-kadang mengadakan acara
rekreasi dengan keluarga. Kalau ia repot, istri dan anak-anaknya
datang ke Pasar Seni.
"Kalau saya sudah kuat seperti Affandi atau populer seperti
Amri Yahya, mungkin saya tidak di sini lagi," kata Amrus. Namun
ia sudah dapat membayangkan, betapa berat perasaannya
meninggalkan kandang yang sekarang dihuninya. Kenapa? "Kalau
saya pergi dari sini, mungkin saya tak akan bisa kontak lagi
dengan banyak orang, seperti sekarang," gumamnya.
Indros BS, jebolan ASRI, pelukis anggota Sanggar Bambu 59, juga
warga Pasar Seni. Ia mengusahakan Bengkel Keramik dan patung.
Bengkel keramiknya di Blok 55 disewanya Rp 95 ribu per bulan.
Tiap bulan baru berhasil meraih sekitar Rp 300 ribu. "Jadi
untuk sekios saja megap-megap," katanya. Ia baru bisa
mengatakan untung kalau omset yang dicapainya setiap bulan
sampai Rp 1 juta.
Unruk membiayai bengkelnya, Indros memanfaatkan kios
kerajinannya di Blok C 71 yang mengerjakan barang-barang
souvenir dan sudah mencapai omzet Rp 600 ribu per bulan.
"Bengkel akan saya pertahankan sampai pertengahan tahun ini.
Kalau tetap begini keadaannya, saya akan kontak dengan sponsor
lain," katanya.
Sebagaimana juga Amrus, Indros menganggap Pasar Seni banyak
membantu penjualan karya-karyanya. Dibandingkan dengan Pasar
Seni gaya gubuk dulu, kini ia merasa banyak kemajuan. Selain
segi fisiknya. Segi pengelolaannya juga lebih mantap."
ujarnya. Tetapi ia tidak hanya memuji. "Kepuasan-kepuasaan
batin seharusnya bisa digarap lebih baik," katanya lebih
lanjut. Ia menunjuk ketidakjelasan perbedaan antara
acara-acara yang bersifat semata-mata hiburan dan yang
mengandung nilai apresiasi kesenian.
Mengenai segala peraturan yang ada, ia melihat tidak semuanya
dipatuhi. Misalnya ketentuan yang mengharuskan para pelukis
potret mengadakan pameran bersama tiap tahun, sampai sekarang
tak terlaksana. Ia juga mengeluh banyak seniman yang masuk ke
Pasar Seni langsung hanya meniru apa yang sudah ada di situ.
Jadi tidak memberikan kesegaran.
"Selama ini kalau yang hendak masuk ke mari pengrajin, yang
dilihat adalah mutu karyanya. Yang baik, masuk," kata Indros. Ia
sendiri mengaku, selama di sar Seni ia menjadi kelihatan lebih
lamban, karena tenaganya dikerahkan untuk mencari yang baru
terus-menerus. Akibatnya belum sempat menonjol dalam satu hal.
Mbah Broto
Subroto TH alias Mbah Broto juga sudah menghuni Pasar Seni
selama 6 tahun. Orang tua ini (60 tahun) sempat menggegerkan
karena pernah mengaku bertemu dengan Mariam -- wanita gaib
penghuni Ancol. Ia sempat melukisnya pada 1978. Lukisan tersebut
dipamerkan di Pasar Seni dan dapat kunjungan melimpah. Kejadian
yang sama berulang pada 1979. Lukisan yang dibuatnya kemudian
disimpan di rumah seorang rekan, karena yang boleh dilihat
orang banyak hanya reporduksinya. "Mariam bilang akan
reinkarnasi lagi tahun 1984," kata Mbah Broto.
Lelaki tua yang semula adalah seorang pembuat relief ini,
sekarang menyebut dirinya pelukis potret. Setiap bulan ia
mendapat pesanan. Lukisannya bergerak antara Rp 50 ribu sampai
Rp 300 ribu. Yang unik, dia mengaku mampu melukis potret orang
yang sudah meninggal, walaupun tak ada potretnya. Asal
diberitahu nama, tanggal kelahiran, segenggam tanah kubur dan
jenis kelamin yang bersangkutan. "Tapi tidak bisa ditentukan
kapan selesainya. Rata-rata sebulan," kata Mbah Broto.
Orang tua ini menghidupi 2 istri dan 12 orang anak. Secara
bergilir dan teratur ia mengunjungi kedua istrinya yang tinggal
di Kuningan (Ja-Bar) dan di Karet Belakang (Jakarta Selatan).
Penghasilannya rata-rata sebulan Rp 100 ribu. "Ini sebenarnya
nggak cukup untuk hidup keluarga saya, tapi ya kok bisa saja
hidup sampai sekarang -- ini yang tidak saya tahu" katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo