Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsep inklusivitas kini semakin menguat dan dianggap lebih mewakili generasi muda dan milenial. Secara umum, inklusi merujuk kepada keadilan dalam mengakses atau memperolehkesempatan sama dalam memperoleh pendidikan dan bekerja bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Inklusivitas mengajarkan sikap positif, empati, atau inklusif terhadap orang lain tanpa memandang latar belakang, gender, dan perbedaan lain. Praktisi pendidikan inklusif, dan pendiri sekolah menengah Garuda Cendekia, Esti Amanda Bowo, S.Psi, membagikan tips bagaimana mendidik anak yang sadar inklusivitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Selama ini sistem pendidikan di Indonesia diukur dari nilai dan banyak sekali anak yang tidak menyesuaikan. Kebetulan anak saya yang pertama menyandang disabilitas dan saya sempat merasakan kesulitan mencari sekolah,” kata Amanda.
Menurut sarjana piskologi tersebut, semua anak dilahirkan dalam kondisi murni. Bagaimana ia menjadi anak yang eksklusif atau inklusif, sangat tergantung pada pendidikan orang tua dan lingkungan.
“Banyak alat untuk pembelajaran inklusivitas. Nilai-nilai inklusivitas hendaknya ditanamkan sejak kecil. Orang tua perlu mengajarkan pada anak tentang kesetaraan gender, menumbuhkan empati pada teman yang berbeda tingkat ekonomi, tingkat kecerdasan, dan mengenalkannya dengan berbagai suku, ras, dan agama,” kata Amanda.
Bahasan inklusivitas diangkat dalam Indonesian Women’s Forum (IWF) 2019 hari kedua. Dalam diskusi panel bertema “Creating Inclusive Generation”, IFW 2019 menghadirkan para wanita pembicara dari berbagai latar industri termasuk Presiden Direktur Sun Life Indonesia, Elin Waty, dan ahli teknik lingkungan dan energi Dr. Aretha Aprilia, ST, MSc, PhD. Mereka berhasil menduduki posisi puncak yang selama ini masih didominasi laki-laki.
“Di dunia kerja saya menerapkan prinsip diversity. Sun Life tidak mengenal diskriminasi. Semua orang memiliki hak yang sama. Saya ingin menekankan bahwa dengan bekerja keras maka perempuan pun bisa mencapai posisi yang setara, bahkan lebih tinggi dari laki-laki,” kata Elin.
Elin mengawali karier di bidang asuransi dari tingkat terbawah. Untuk sampai di posisinya saat ini membutuhkan waktu 20 tahun. “Kuncinya adalah bekerja keras,” kata Elin.
Sementara Aretha mengatakan bahwa keluarga memegang peran penting untuk membentuknya berpikiran terbuka.
“Wanita mempunyai unique selling points yang tidak dimiliki laki-laki. Kita diberi kesempatan melahirkan dan mengasuh anak sekaligus merintis karier. Artinya, semua wanita umumnya bisa multitasking,” kata Aretha.
Sempat hidup di luar negeri, Aretha mengaku awalnya menghadapi stigma. Terlebih karena ia seorang wanita, dari Indonesia, dan berhijab. Tetapi semua hilang saat ia membuktikan diri bahwa cara berpikir jauh lebih penting dari penampilan.