Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Psikolog: Banyak Pasangan Menganggap Anak sebagai Beban  

Sebagian besar wilayah di Indoensia masih berkembang stigma bahwa semakin banyak anak semakin banyak rezeki.

31 Maret 2016 | 17.07 WIB

Ilustrasi wanita bekerja sambil mengasuh anak. tomsk.ru
Perbesar
Ilustrasi wanita bekerja sambil mengasuh anak. tomsk.ru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Mira D. Amir, mengatakan semakin banyak orang tua menganggap anak sebagai beban. Pemikiran itu dipicu keengganan mereka berkomitmen menjadi orang tua.

Padahal, “Memiliki anak adalah komitmen seumur hidup," ujarnya, Kamis, 31 Maret 2016. Hal ini, dia melanjutkan, berbeda dengan pernikahan, yang bisa diakhiri dengan proses perceraian. "Nah, kebanyakan perempuan karier pada zaman sekarang merasa komitmen itu adalah beban bagi mereka.”

Itu sebabnya, fenomena tersebut lebih banyak dirasakan perempuan pada usia produktif. Sebab, kata Mira, mereka merasa kewalahan jika harus membagi waktu antara mengurus anak dan keinginan mengejar karier.

Selain itu, banyak orang tua modern menganggap bahwa anak adalah cost alias biaya. Memiliki anak berarti menyita waktu, perhatian, dan uang. Belum lagi, secara psikologis, memiliki anak juga membutuhkan pola pengasuhan yang baik.

“Kalau orang tuanya sibuk dan tidak punya pengetahuan memadai soal good parenting, biaya anak akan menjadi berlipat ganda. Saat anak beranjak remaja, mereka mulai bermasalah karena kurangnya kualitas pengasuhan dan interaksi psikologis yang positif dari orang tua,” ucapnya.

Menurut dia, untuk mencegah munculnya perspektif anak adalah beban, seseorang harus bertanya kepada diri sendiri soal kesiapannya menjadi orang tua dan memasuki fase tersebut. Mira meminta para pasangan tidak terburu-buru memutuskan memiliki anak, terlebih jika keinginan itu muncul semata desakan lingkungan. Sebab, jika nantinya orang tua tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan psikologis anak, hal itu akan menjadi bentuk kekerasan terhadap anak.

“Untungnya, di sebagian besar wilayah Indonesia masih berkembang stigma bahwa semakin banyak anak semakin banyak rezeki,” ujarnya.

BISNIS.COM


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aliya Fathiyah

Aliya Fathiyah

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus