Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Mira D. Amir, mengatakan semakin banyak orang tua menganggap anak sebagai beban. Pemikiran itu dipicu keengganan mereka berkomitmen menjadi orang tua.
Padahal, “Memiliki anak adalah komitmen seumur hidup," ujarnya, Kamis, 31 Maret 2016. Hal ini, dia melanjutkan, berbeda dengan pernikahan, yang bisa diakhiri dengan proses perceraian. "Nah, kebanyakan perempuan karier pada zaman sekarang merasa komitmen itu adalah beban bagi mereka.”
Itu sebabnya, fenomena tersebut lebih banyak dirasakan perempuan pada usia produktif. Sebab, kata Mira, mereka merasa kewalahan jika harus membagi waktu antara mengurus anak dan keinginan mengejar karier.
Selain itu, banyak orang tua modern menganggap bahwa anak adalah cost alias biaya. Memiliki anak berarti menyita waktu, perhatian, dan uang. Belum lagi, secara psikologis, memiliki anak juga membutuhkan pola pengasuhan yang baik.
“Kalau orang tuanya sibuk dan tidak punya pengetahuan memadai soal good parenting, biaya anak akan menjadi berlipat ganda. Saat anak beranjak remaja, mereka mulai bermasalah karena kurangnya kualitas pengasuhan dan interaksi psikologis yang positif dari orang tua,” ucapnya.
Menurut dia, untuk mencegah munculnya perspektif anak adalah beban, seseorang harus bertanya kepada diri sendiri soal kesiapannya menjadi orang tua dan memasuki fase tersebut. Mira meminta para pasangan tidak terburu-buru memutuskan memiliki anak, terlebih jika keinginan itu muncul semata desakan lingkungan. Sebab, jika nantinya orang tua tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan psikologis anak, hal itu akan menjadi bentuk kekerasan terhadap anak.
“Untungnya, di sebagian besar wilayah Indonesia masih berkembang stigma bahwa semakin banyak anak semakin banyak rezeki,” ujarnya.
BISNIS.COM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini