Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Cinta mengubah seseorang sampai ke tingkat psikologis, membuatnya lebih peka terhadap rasa senang dan sakit. Namun, ketika putus cinta, ia akan merasa sangat sakit. Ternyata, ketika hubungan cinta berakhir, otak masih mendeteksi perasaan cinta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Salah satu pengalaman paling menyakitkan yang bisa dialami manusia adalah kehilangan pasangan hidup,” kata penulis Anatomy of Love: A Natural History of Mating, Marriage, and Why We Stray, Helen Fisher, dikutip dari Theatlantic.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antropolog biologi yang mempelajari neurokimia cinta itu mengatakan topik studi tersebut sangat diremehkan oleh banyak ilmuwan. Ia percaya banyak ilmuwan meremehkan kekuatan patah hati tapi di sisi lain menemukan keadaan jatuh cinta yang menggairahkan lebih memikat. Fisher menjelaskan ada dua tahap neurologis dasar ketika seseorang dicampakkan, yaitu protes dan pengunduran diri.
Selama tahap protes, banyak orang mencoba untuk mendapatkan kembali kekasih mereka. Perilaku ini tampaknya didasarkan pada campuran dopamin dan norepinefrin ekstra yang membanjiri otak. Seseorang mencari apa yang terlewatkan dan ditakuti.
Fisher mengatakan ini adalah perilaku waspada yang berlebihan saat menanggapi keadaan baru yang dipenuhi ancaman. Hal tersebut menjelaskan mengapa orang sulit tidur, turun berat badan, dan agitasi umum saat baru saja dicampakkan.
Selama tahap pengunduran diri, Fisher mengatakan sebagian besar orang menyerah pada protes dan tawar-menawar. Ini adalah saat dopamin turun dan begitu juga serotonin, neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perasaan sejahtera.
“Begitu berada di sana (tahap pengunduran diri), itu (terasa) lesu dan tentu saja banyak air mata. Sekarang, beberapa orang akan minum alkohol terlalu banyak, mengemudi terlalu cepat, atau bersembunyi dan menonton TV. Orang lain akan membicarakan hal itu. (Tidak satu pun dari itu) yang bagus,” ungkap Fisher.
Dalam makalah yang diterbitkan dalam Journal of Neurophysiology pada 2010, Fisher dan rekan-rekannya menempatkan 15 orang yang masih patah hati dalam pemindai otak. Ketika orang tersebut melihat foto orang yang menolaknya, otaknya menunjukkan aktivasi di beberapa wilayah yang sama dengan saat ia masih bahagia dalam cinta.
Dalam studi tersebut, daerah otak yang berhubungan dengan nafsu makan dan regulasi emosi menyala, termasuk area tegmental ventral (VTA) secara bilateral, striatum ventral, dan cingulate gyrus. Fisher menjelaskan banyak dari wilayah yang aktif tersebut diperlukan untuk merasakan cinta romantis dan mendorong kecanduan kokain.
Selain menemukan aktivitas di bagian otak yang terkait dengan keinginan dan kecanduan, tim Fisher juga melihat aktivasi di bagian korteks insular dan anterior singulat yang terkait dengan rasa sakit fisik. Daerah ini juga menyala saat orang sakit gigi. Berbeda dengan patah hati, rasa sakitnya bisa bertahan lama. Melihat hasil pemindaian otak tersebut, Fisher teringat akan sesuatu.
“Kesedihan bukanlah cinta tetapi terlihat seperti cinta. Ini adalah saudara dari asmara yang terasing, karakter yang kejam, semua kesulitan tidur dan adrenalin tanpa pemanis oleh harapan,” kata Rachel Cusk dalam memoar perceraiannya.
Dalam penelitian Fisher, semua subjek mengatakan mereka memikirkan tentang penolakan yang dialami terhadap orang tercinta selama lebih dari 85 persen dari jam bangun mereka. Ketika patah hati, banyak orang menjadi tak menggelora seperti biasanya.
"Tanda-tanda kurangnya kontrol emosi secara teratur sejak awal putus cinta dalam semua kasus yang terjadi secara teratur selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan," tulis para peneliti.
Rasa sakit hati itu pun kadang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Satu makalah menemukan di antara remaja dengan ide bunuh diri di Amerika Serikat, putus cinta adalah salah satu faktor risiko terbesar untuk upaya pertama bunuh diri. Menurut sebuah penelitian, di antara orang dewasa yang tewas karena bunuh diri, masalah pasangan intim memiliki faktor 27 persen.
“Saya pikir alam telah berlebihan,” ujar Fisher.
BERNADETTE JEANE WIDJAJA