Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Busana dari bahan tenun ikat telah menjadi high fashion di Indonesia. Satu gaun berharga 500 Dolar AS dan di luar negeri berlipat empat. Inilah pergelaran busana tenun ikat terbesar. Busana dan tenun ikat mungkin akan segera jadi primadona, sejajar atau bisa jadi mengalahkan batik. Setidak-tidaknya, gengsi tenun ikat naik. Tak lagi- hanya sebagai sarung, selendang, atau sekadar pajangan penghias di rumah-rumah. Di Flores Room Hotel Borobudur Jakarta, Selasa malam pekan lalu, busana tenun ikat pergelarkan dengan meriah dan cita rasa tinggi. Ini adalah gebrakan kreasi busana tenun ikat yang terbesar selama ini. Berbagai model dan gaya mewarnai rancangan para desainer Indonesia. Malam itu ada 20 desainer, tergabung dalam Ikatan Perancang Busana Madya Indonesia (IPBMI) yang menggelar masing-masing 10 rancangannya. Ghea Sukasah mengawali acara dengan gaya Latin American Cowboy. Ia memadu tenun ikat kreasi desainer tekstil Yadin dari Yogyakarta dengan bahan jin dalam model-model ceria. Ada rok mini, celana ketat, rok strepless, celana panjang, dan knickers, yang ramai dengan hiasan rumbai-rumbai ikat menjuntai di pinggiran rok dan celana itu. Selendang ikat memberi aksen pada bagian- pinggang. Juga bolero ikat, ikut pula menghias leher. Sepuluh rancangan Ghea dipamerkan peragawan dan peragawati bersepatu boot dan bertopi yang melenggok lincah dan meriah sepanjang catwalk. "Inilah cara Ghea mengajak anak-anak muda menyukai bahan tradisional. Ia merancangnya lewat model yang bakal disukai mereka," kata desainer Prayudi Atmodirdjo di paggir pentas. Kreasi kedua muncul dan perancang berusia 37 tahun. Thomas Sigar. Ia menggunakan tenun ikat buatan Desa Teroso, Jepara. Bahan mengkilat bermotif tapis Lampung dengan paduan warna abu-abu, merah, dan hitam itu dicipta dengan gaya elegan. Selain kombinasi blazer ikat dengan celana sutera hitam model draperi, juga ditampilkan setelan span yang seluruhnya terbuat dari tenun ikat. Menurut perancang yang pernah menjadi stylis di rumah busana Pierre Cardin Paris ini, "Dibanding dengan ikat, motif batik terlalu berat. Ikat lebih sederhana. Banyak garis yang bisa dikembangkan." Dalam perjalanannya tenun ikat melewati pasang surut. Berbagai upaya dilakukan untuk mengangkat harkat tenunan -- yang seperti umumnya karya tradisional yang selalu seret, pemasarannya itu -- sejajar dengan batik. Batik sudah ditetapkan sebagai pakaian resmi tahun 1960. Tetapi tenun ikat baru bisa diterima ketika Presiden Soeharto mempeloporinya pada acara Dewan Kerajinan Nasional tahun 1985. Waktu itu ia mengenakan kemeja tenun ikat sutera. Kini, -- tenun ikat semakin digandrungi masyarakat kelas menengah ke atas. N-amun, harus diakui kepopulerannya tetap tertinggal oleh batik. Dalam acara-acara resmi, misalnya, batik sudah dipakai untuk busana apa saja, sementara tenun ikat "baru" dipakai sebagai kemeja. Sebagai gaun, tenun ikat masih jarang digunakan. Seperti namanya, tenunan ini dibuat dengan benang bermotif tertentu yang teknik pewarnaannya menggunakan ikatan-ikatan, kemudian baru dicelupkan. Ada tiga cara: warp ikat (ikat lungsi, yakni mengikat bagian benang-benang yang disusun vertikal), welf ikat (ikat pakan, yakni mengikat benang-benang yang disusun horisontal), dan double ikat (memadu ikat pakan dan ikat lungsi). Tenun ikat merupakan kerajinan tradisional -- karena menenunnya memakai alat tenun bukan mesin (ATBM). Sudah dikenal di Indonesia sejak zaman prasejarah. Perajinnya tersebar mulai dari Aceh, Lampung, Yogya, Bali, Palangkaraya, Ujungpandang, sampai Kupang. Masing-masing dengan corak motif yang khas. Fungsinya bermacam-macam, bisa jadi kain sarung, baju, jaket, ikat kepala, selendang, selimut, sampai hiasan dinding., Ditjen Industri Kecil kemudian membina dan mengangkat usaha rakyat ini. "Kami mengajak para perancang busana agar menampung hasil kerajinan mereka," kata Kasubdit Pengembangan Program Industri Kecil Edith Ratna. Hasilnya kelihatan. Perancang tertarik dan bersedia membeli tenun ikat dari berbagai daerah sampai ribuan meter sebulan. Tentu dengan syarat perajin mau diajak kerja sama dalam desain motif dan warna-warna mutakhir. Dan pergelaran di Hotel Borobudur itu adalah puncaknya tahun ini. "Idenya timbul setelah saya diajak Ditjen Industri Kecil keliling Solo dan Yogya. Khusus menengok para perajin ikat," kata Prayudi. Ia mengaku tergugah melihat nasib para perajin tradisional. "Mereka, tak cuma di Solo, mungkin juga di daerah-daerah lain, sulit memasarkan tenunan itu. Padahal, jika dibuat baju, bisa bagus sekali," tambahnya. Sepulang dan sana, Prayudi mengajak Biyan, Ghea, dan Edward Hutabarat mempromosikan tenun ikat. Gagasan yang kemudian disambut baik anggota IPBMI lainnya. "IPBMI ikut bertanggung jawab mengangkat harkat karya tradisional itu," ujar Prayudi, penerima Upakarti dari Presiden Soeharto tahun 1987 karena berhasil memasyarakatkan tenun ikat. Banyak alternatif yang ditawarkan para desainer pada pergelaran ini. Biyan, misalnya, memadu lurik dengan tenun ikat berwarna lime green (jeruk nipis) pada pinggang dan pinggir rok dan celana panjang berlipit ciptaannya. Samuel Wattimena memberi ornamen uang kepeng (uang logam yang biasa digunakan pada upacara keagamaan di Bali) pada gaun-gaun elegan bermotif khas Timor Timur itu. Sedang Prayudi menawarkan gaun ikat sutera dari Solo dengan warna dasar pelangi: merah-kuning-hijau-biru-ungu. Beberapa desainer menilai keindahan tenun ikat justru pada kombinasinya dengan hahan lain. "Di situ letak value fashion garmentnya. Dengan kombinasi itu, kesan folklorik hilang. Ia akan merasa memakai baju model baru. Tidak seperti sarung. Di tempat asalnya, kan tenun ikat banyak dipakai sebagai saring," kata Arthur Harland. Perancang usia 34 tahun lulusan Chelsea School of Art, London, dan Chambre Ecole de la Couture, Paris, itu menampilkan rancangan untuk pria dan wanita. la memadu tenun ikat dari Sumba dengan velvet (beludru) berhiaskan payet-payet. Perancang muda Alex A.B. juga menampilkan kombinasi polos dengan tenun ikat dari Jepara. Tenun ikat bermotif geometris dengan warna dominan hitam-merah-abu-abu digunting dalam berbagai model. Alex memadu rok terusan, kulot, celana jengki, dan span dari bahan chiffon dan gabardin itu dengan rompi atau blazer dari tenun ikat. Di bagian pinggang ia mengguyurnya dengan hiasan payet-payet dan tassel (pita yang dipesan khusus dari India). Kreasi dengan tema City Look itu memang tampak eksklusif. Untuk sebuah gaun, menurut Prayudi, dibutuhkan 4 meter tenun ikat. Harga per meternya bergerak dari Rp 12.000 sampai Rp 120.000. Tergantung jenis benangnya. Benang sutera tentu lebih mahal daripada katun. Tenun ikat dengan teknik celup dua warna tentu lebih murah daripada lima warna. Dan seterusnya. "Karena mahal, maka mengguntingnya juga mesti hati-hati. Harus pintar-pintar memadu motif, supaya klop," ini kata Thomas. Menggunting pola di atas tenun ikat, menurut Arthur, tak saja membutuhkan kreativitas, tetapi juga ketelitian. Karena tenun ikat digarap dengan ATBM, "Waktu menjahit finishingnya mesti canggih, supaya kelihatan bagusnya," ujar Thomas menambahkan. Para perancang memang lebih -- suka menjahit tenun ikat dengan dua metode, jahit tangan dan jahit mesin. Jadi, pada gaun-gaun berbahan tenun ikat, kreasi mereka ada unsur haute-couture juga, "Kalau tidak, bagaimana bisa menghias payet? Ini kan membutuhkan keterampilan tangan," kata Arthur. Tapi, menjahit tenun ikat bukannya tanpa kendala. Prayudi memberi contoh. Tak semua sutera, katanya, mempunyai jalinan serat yang kuat. Di daerah-daerah tertentu, tenun ikat cuma boleh dikerjakan wanita, yang tarikannya pada ATBM tak sekuat laki-laki. "Akibatnya, serat sutera gampang renggang ketika dijahit," katanya. Prayudi mengakalinya dengan memberi furing, agar komposisi tenunan tetap apik. Tapi tak semua daerah begitu. Di Lombok, misalnya, lelakinya juga menenun. Produk tenun ikat dari situ sangat bagus kualitasnya, sampai bisa mengekspornya ke Inggris. Beberapa desainer memang sudah menemukan pasar untuk kreasi busana tenun ikat. Arthur yang sejak tahun 1987 merancang gaun dengan tenun ikat dari Aceh, Majalaya, Majalengka, Ujungpandang, dan Sumba, Oktober mendatang akan mengekspor 200 potong gaun ikat ke China Imperium Department Store, Hong Kong. Sebelumnya ia sudah mengirim ke Belanda dan Singapura. Alex A.B. juga tak ketinggalan, ia secara rutin diminta menyetor 200-300 potong busana tenun ikat ke Batik Keris. Yosephine W. Kowara, 35 tahun, adalah contoh pengusaha tenun ikat yang sukses. Di butiknya, Bin House Indonesian Creation, ia menggelar aneka tenun ikat eksklusif. Obin, begitu ia kerap dipanggil, adalah juara desain tekstil pada International Textile Competition di Tokyo tahun 1987. Berbagai corak kreasinya juga muncul di majalah-majalah Jepang. Pemilik pabrik dengan 40 penenun yang bisa menghasilkan 60 jenis tenun ikat sebulan ini berkali-kali berpameran di Jepang. "Saya tak pernah berhenti belajar teknik tenun ikat. Tenunan ini perlu dilestarikan," katanya. Tak bisa dimungkiri, tenun ikat akan menjadi high fashion Indonesia. Maka, Arthur berani memasang harga mulai dan 90 dolar sampai 500 dolar AS per potong. "Kalau sudah sampai di luar negeri, harganya bisa berlipat empat," tambahnya. Nah, itu pula sebabnya, busana jenis ini di dalam negeri, peminatnya cuma kalangan tertentu. Meski begitu, kata Prayudi, "Lewat promosi ini kami berharap peminat bertambah. Ini akan membantu perajin di daerah juga." Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo