Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kata latte mengingatkan hampir semua orang pada salah satu olahan kopi. Latte terdiri dari campuran kopi, susu, dan krimer yang bercita rasa sedikit manis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, latte bukan hanya ada pada menu kopi melainkan juga dalam kamus keuangan.
Latte Factor adalah salah satu kondisi di mana pengeluaran yang nominal dan peruntukkannya untuk hal-hal kecil tapi karena sering malah menjadi besar. Perencana keuangan Finansialku.com, Yuki Diwinoto, menjelaskan konsep Latte Factor ini pertama kali dipopulerkan oleh David Bach, seorang penulis keuangan asal Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dasarnya, konsep yang diangkat oleh Bach dalam teorinya cukup sederhana. Kalimat latte diartikan dari kebiasaan ngopi di kafe atau warung kopi setiap hari yang tanpa sadar lama-lama menguras isi kantong. Ditambah lagi, kini demam kopi sedang melanda Indonesia, ditandai dengan menjamurnya penjual minuman kopi, mulai dari kios kecil hingga kafe bergengsi.
Budaya minum kopi memang sudah mendarah daging di negeri ini sehingga tidak heran jika orang bisa membeli kopi hampir setiap hari. Lalu apa kaitannya dengan Latte Factor?
Coba bayangkan jika pengeluaran untuk minum kopi dalam sehari sebesar Rp 30.000 maka dalam sebulan Anda mengeluarkan Rp 900.000 hanya untuk kopi. Ternyata, setelah diakumulasi, jumlah yang dikeluarkan untuk segelas kopi sangat besar. Itulah yang dimaksud dengan Latte Factor.
Bukan hanya kopi, ada banyak hal lain yang termasuk dalam konsep ini, misalnya biaya transfer antarbank, belanja barang hanya karena tren, merokok, biaya pesan antar makanan, biaya parkir, dan banyak lainnya. Meskipun terlihat sepele, kalau dibiarkan pengeluaran ini dapat mengganggu stabilitas keuangan. Ditambah lagi jika tidak rajin mencatat pengeluaran, kita bisa saja kehilangan uang tanpa tahu penyebabnya.
Karena itu, perencanaan keuangan sangat diperlukan guna menghindari kejadian tidak diinginkan seperti ini, dimulai dengan membuat anggaran selama sebulan. Perhitungkan juga biaya–biaya receh dan pengeluaran yang tidak terduga. Jangan lupa mencatat setiap pengeluaran barang sepeser pun. Dengan begitu, kita dapat memantau ke mana perginya uang dan dapat lebih mengontrol diri.
Kedisiplinan pun harus ditegakkan demi keberhasilan rencana anggaran. Apabila mengikuti cara–cara diatas, diharapkan kita dapat menghindar dari jebakan Latte Factor.