Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Yang sukses dan yang kapok

Karena tak kena larangan berdagang, banyak bintara yang mencari tambahan penghasilan dengan berdagang. ada yang berhasil, tapi ada pula yang kapok karena merasa tak berbakat dagang.

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LARANGAN berdagang bagi anggota ABRI hanya terbatas pada para perwira. Para bawahan masih beruntung bisa menambah penghasilannya yang memang rata-rata kecil. Tetapi meskipun larangan baru saja disampaikan, ada yang sudah dapat peringatan sejak lama karena kegiatan itu rupanya mengganggu tugas. Tersebutlah Bintara Soelardi BSc (39 tahun) yang hingga sekarang masih bekerja di Top Dam (Tofografi Kodam) Yogyakarta. Pada 1972 ia masih bekerja di Komando Konstruksi Rayon 072 sebagai bendaharawan. Sambil melaksanakan tugas ia iseng-iseng berusaha membuat tas. Mula-mula pembantunya hanya 2 orang. Kemudian meningkat jadi 7. "Meskipun membuka usaha saya tidak pernah mencuri jam dinas," ujarnya. Darah Dagang Di hari-hari libur Soelardi ke luar kota. Membawa tasnya ke Magelang, Temanggung, Wonosobo, Sragen bahkan sampai ke Madiun Jawa Timur. Pada suatu hari Minggu di 1973 ia sedang berada di Madiun. Tiba-tiba kesatuan nya butuh uang. Seorang utusan datang menjemput uang dari bendaharawan itu. Tentu saja tidak berhasil karena Soelardi sedang ke luar kota. Esok harinya Soelardi dipanggil menghadap komandan. Ia didesak untuk memilih, terus jadi militer atau melanjutkan usaha dagang Dengan tegas bulat bendaharawan itu kemudian memilih tugas. Meskipun berat melepas ke 7 orang pekerjanya. Tetapi dasar memiliki darah dagang, pada 1974 Soelardi mencoba lagi. Ia membeli mesin obras dan krol sum. Usaha ini maju. Sehari ia bisa mengantongi keuntungan Rp 2.000 tanpa harus ke luar kota. Usaha itu dibereskan oleh isteri dan anaknya. Sebenarnya gaji yang diterima Soelardi sekarang (Rp 53 ribu) terhitung cukup. "Namun saya kan ingin sekolah anak saya maju serta ingin memiliki rumah, mebel dan lain-lainnya," ujarnya. Saat ini ia sudah mampu membeli tanah seluas 180 meter di Kota Gede. Ke 4 anaknya ia latih untuk berwiraswasta, agar mereka bisa menjalankan usaha itu seandainya orang tuanya sedang repot atau mengikuti kegiatan lain. Selain obras kini Soelardi juga punya usaha sebagai penyalur minyak tanah, menyewakan pengeras suara, sekaligus menjadi operatornya. Tatkala ditanya apakah ia tidak gentar oleh larangan dari Menhankam M. Jusuf, langsung dikatakannya bahwa ia hanya bintara. Lebih lagi, ia mengaku usahanya hanya kecil. Syarifuddin (43 tahun) adalah juga bintara kelahiran Aceh yang sukses berdagang tanpa meninggalkan tugas. Pembantu Letnan Satu Polisi ini bertugas di bagian personil Kodak X Jawa Timur. Sejak 1968 ia sudah pindah dari asrama polisi, karena mampu membangun rumah sendiri. "Umpama saya tidak sambilan berdagang, hingga sekarang pasti saya masih tinggal di asrama," ujar lelaki itu mengenang masa lalunya. Ia memiliki dua orang anak. Gajinya Rp 60 ribu. Lewat Telepon Saja Menurut pengakuannya, dunia dagang dimasukinya karena didorong keinginan menolong orang. "Hati saya sedih melihat orang-orang miskin yang tidak dapat pekerjaan," ujarnya. Di tahun 1961 ia berhasil memiliki sebuah CV yang bergerak dalam bidang bangunan dan leveransir. "Tapi CV itu macet ke tika saya tinggalkan ke Kalimantan waktu Dwikora," katanya. Pada 1965, setelah kembali ke Surabaya, ia pinjam modal dari orang-orang Aceh yang ada di kota buaya itu. Didiri kannya sebuah toko grosir rokok. Tak lama kemudian berkembang biak menjadi 3 toko. Inilah yang kemudian menelorkan sebuah rumah tinggal. Usaha tersebut makin berkembang lagi, setelah Syarifuddin mencoba mendirikan rumah makan. Tahun 1973 ia mendirikan rumah makan "Minang Ria" di dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Menyusul rumah makan "Andalas". Disusul lagi rumah makan "Kuala Delly". Omset rumah makan itu setiap hari. adalah Rp 500 ribu. Keuntungannya sekitar 20%. Sementara omset toko rokoknya Rp 70 ribu per-hari. Syarifuddin menghidupi sekitar 100 orang karyawan. Di depan rumahnya menunggu sebuah VW dan Fiat. Kalau ditanya, apakah tugasnya sebagai polisi tidak terganggu. Lelaki yang tegap dengan 6 buah tanda jasa ini menggeleng. "Urusan dagang saya selesaikan di luar dinas dan cukup lewat telepon saja," ujarnya. Isterinya sendiri tidak ikut campur. "Isteri cukup jadi ibu rumah tangga saja," kata bintara itu lebih lanjut. Sejauh ini ia mengaku tidak pernah ditegur oleh atasannya dalam soal bisnis. "Hanya dinasehatkan supaya tidak ada keributan di rumah makan. Itu saja," kata lelaki yang sukses itu. Seorang sersan satu dari kesatuan Korps Marinir AL di Jakarta -- tak mau disebut namanya -- juga berhasil membeli sebuah rumah di atas tanah seluas 120 mÿFD. Sebuah rumah yang layak untuk ditempati bersama 4 orang anak dan isteri. Berbeda sekali dengan keadaannya pada 1965, ketika ia pertama kali menginjak Jakarta dan mengontrak rumah petak berukuran 3 x 9 meter di daerah Kalibata. Waktu itu karena gaji mencekik isterinya membuat sebuah warung kecil-kecilan. Dengan modal sekitar Rp 5 ribu, isterinya mulai berjualan sayur mayur serta kebutuhan dapur lainnya. Rumah petak yang sudah sempit itu dimanfaatkan bagian depannya, dari pagi sampai pukul 6 sore. Pagi hari pukul 3 sersan ini sudah harus bangun untuk pergi ke pasar membeli sayuran di Manggarai. Kalau lagi malas, isterinya yang pergi. Usaha ini tidak seberapa maju."Paling hanya untuk bisa tambah beli lauk," ujar sersan itu. Sayur & Penjaga Kampus Pada tahun 1967 Jakarta diserang demam judi buntut. Sersan kita inipun tergoda. Ia selalu pasang antara Rp 200 sampai Rp 300. Pada suatu hari ia dapat firasat bagus, ketemu nomor yang mantap. Akhirnya tak tanggung-tanggung ia pasang Rp 1.500. Alhamdulillah, tepat. Ia dapat kemenangan 70 kali. Dengan uang kemenangan itu ia membeli rumah petak tersebut. Perdagangan sayurpun makin menanjak. Uang masuk setiap hari bisa mencapai Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Keuntungan ditabungnya untuk membeli material rumah. Bahkan ke 3 anaknya sudah diasuransikan untuk jangka waktu 15 tahun. Untuk dapat menunjang sekolah mereka di masa depan. Sayang sekali karirnya sebagai pedagang kemudian mulai mendatar. Ini gara-gara saingan banyak muncul. Dalam radius 50 meter kirii sudah ada 4 warung lain. Omset yang tadinya Rp 15 ribu melorot jadi Rp 5 ribu. Keuntungan hanya bisa masuk sekitar Rp 1.000 sampai Rp 1.500. Karena itu sersan ini kemudian melirik sumber lain. Sebagai penunjang hidupnya, selain berdagang sayur, sekarang ia jadi penjaga kampus UKI di jalan Diponegoro. Apakah perdagangan sayur ada kemungkinan untuk ditinggalkan, Sersan itu menjawab "Tidak. Biarlah untuk kesibukan isteri saya. Lagi kan ada sejarahnya," katanya sambil tertawa. Nyonya Sugito (34 tahun) isteri Sersan Sugito yang jadi bintara pembina desa (Babinsa) di Desa Karangpawitan, Karawang juga menjual sayur-sayuran. Sejak suaminya berpangkat kopral, 8 tahun yang lalu, ia sudah berdagang. Tapi hidup keluarganya tetap saja sulit sampai sekarang. Mereka sekeluarga juga masih tetap tinggal menumpang di rumah orang tua Nyonya Sugito. Gaji sang suami sekarang Rp 40 ribu. "Jadi kalau hanya mengharap gaji suami, anak-anak tak bisa sekolah," kata Nyonya Sugito yang memiliki 4 orang anak. Belum lagi tanggungan 3 orang adik. Ia menyebutkan bahwa suaminya tak ikut campur dalam perdagangan sayur. Ia sendiri enggan melepaskan usaha yang sejak lama dirintisnya itu. "Kalau berhenti berdagang anak-anak berhenti sekolah," katanya. N. Junaedi (35 tahun) sudah 12 tahun jadi kopral marinir. Gajinya cuma Rp 47 ribu. Ketika ia mendapat tugas di Biak -- Irja --selama 3 tahun, tumbuh nafsu wiraswastanya. Ia melihat peluang untuk mendapat tambahan penghasilan. Di sana isterinya membuka kantin. Pada 1973 ketika ia kembali ke Jawa kesibukan dagang itu diteruskan. Tidak mampu menagih Isterinya kebetulan bukan jenis yang suka berpangku-tangan. Dengan modal Rp 100 ribu, si nyonya menawarkan sandal plastik dan kain ke rumah teman dan kenalan. Untungnya sekitar 5%. "Hasilnya tidak banyak tapi cukup untuk jajan dan beli pakaian anak-anak," kata Junaedi. Niatnya untuk mengganti pesawat tv sampai sekarang belum kesampaian. Jadi usaha bisnis tersebut memang benar-benar tidak terlalu besar, meskipun menolong. Malahan akhir-akhir ini seret. Tapi setelah putar otak isteri kopral ini kemudian mengalihkan usaha. Ia jadikan rumahnya sebagai basis menjual kacang bungkus plastik. Dikirim ke toko atau warung mana saja yang sudi menerima. Sayang inipun gagal, karena anaknya yang bungsu keburu opname di rumah sakit. Uang tabungan larut dimakan biaya pengobatan. Mungkin di waktuwaktu yang akan datang ia akan menyambung usaha di bidang lain. Yang kapok berdagang adalah Agus Sutarjo (36 tahun) Serma Polisi di Surabaya. Ia mengalami bangkrut beberapa kali. Pada 1972 ketika dinas di Lombok, bersama isterinya ia menjual ikan asin. Tak berhasil, meskipun dapat dukungan modal dari rekannya di BRI. "Tak bakatlah biangnya," kata Agus. Kemudian Agus mencoba berjualan telur. Tapi baru tiga setengah bulan macet juga. Mula-mula memang ada titik terang. Telur yang sudah dipak dalam keranjang, selamat sampai ke tempat tujuan. Persoalan yang pelik kemudian adalah soal penagihan. Isterinya belum pernah belajar teknik menagih. Nyatanya ada seninya sendiri dan tidak gampang. "Apalagi isteri saya bukan orang yang tega. Makanya lantas tak sampai hati menagih orang terus-terusan," ucap Agus. Agus yang bekerja sebagi intel ini harus menanggung 3 orang anak. Kebutuhan makin mendesak, tidak dapat diimbangi oleh pendapatan sampingan yang kelihatannya belum juga mencapai form itu. Sementara masa pensiunnya sudah membayang -- meskipun tinggal 10 tahun lagi. Akhirnya ia memutuskan pasrah pada gaji. Apalagi kebetulan ada uang warisan yang kemudian didepositokannya. Dagang ditinggalkan. "Sudah kapok," kata Agus. Sebagai gantinya, setiap pulang kerja, ia kursus Bahasa Inggeris. "Persiapan saya menjelang pensiun nanti, saya akan membuka kursus di kampung di Surabaya ini," tuturnya singkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus