Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YOGI Cerdito memilih meng-gunakan transportasi publik dan berjalan kaki untuk mencapai tempat kerjanya di salah satu gedung di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan. Dari rumahnya di Cinere, Kota Depok, Jawa Barat, pria 32 tahun itu menggunakan kombinasi ojek online, bus Transjakarta, dan kereta moda raya terpadu (MRT). “Saya turun di Stasiun MRT Istora, lalu tinggal berjalan kaki sekitar 15 menit sampai ke kantor,” kata Yogi pada Jumat, 9 Agustus lalu.
Yogi juga menikmati berjalan kaki ke kantor karena kondisi trotoar di sepanjang jalan yang dilaluinya sudah lebih baik. Dia pun tak perlu khawatir harus berebut jalan dengan para pengguna kendaraan bermotor yang dulu sering menyerobot masuk trotoar. “Sekarang rasanya lebih aman,” tuturnya.
Jalur pedestrian di kawasan sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin bisa jadi yang terbaik di antara banyak trotoar di Jakarta. Lebarnya bervariasi, 3-8 meter, cukup luas untuk menampung volume pejalan kaki di kawasan itu. Fasilitas pendukung seperti blok pemandu dan ramp (jalur landai) untuk penyandang disabilitas, bangku bersantai, pohon dan taman, serta tempat sampah melengkapi badan trotoar.
Lanskap trotoar di kawasan Sudirman-Thamrin mengalami perubahan seiring dengan selesainya pembangunan jalur MRT rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperbaiki trotoar dan ruang publik yang berada di sekitar stasiun transit MRT dan halte Transjakarta.
Kawasan stasiun terpadu Dukuh Atas-Sudirman, misalnya, kini hanya bisa dilalui pejalan kaki dan bus Transjakarta. Taman dan mural warna-warni di kolong Jalan Sudirman menambah semarak tempat yang dulu kerap menjadi biang kemacetan itu. Pemerintah juga memperbaiki lokasi kolong jalan layang Slipi yang tadinya kumuh menjadi lokasi olahraga papan seluncur.
Trotoar yang lebar dengan mudah mengakomodasi ribuan orang yang lalu-lalang di kawasan Stasiun Sudirman hingga pusat belanja Grand Indonesia dan Monumen Nasional. Para pelancong yang menggunakan MRT dan Transjakarta kerap berhenti sejenak di trotoar untuk berswafoto dengan latar belakang air mancur Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan gedung-gedung tinggi. Adapun jalur pejalan kaki di depan Grand Indonesia hingga Jumat, 9 Agustus lalu, masih ditutup sementara untuk diperbaiki.
Trotoar juga dapat dimanfaatkan para pengguna otopet, sepeda, dan skuter listrik. Kendaraan pribadi yang bisa dilipat itu bisa dibawa di moda transportasi publik. “Jalur sepeda dan pejalan kaki bisa didesain digabung di trotoar, tapi para pengendara perlu berhati-hati dan mengutamakan pejalan kaki,” ucap Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus pada Senin, 12 Juli lalu.
Joey Inkiriwang, pekerja di perusahaan teknologi informasi di kawasan SCBD, memilih menggunakan skuter listrik dari rumah menuju kantornya. Dia membawa serta skuternya kala menumpang MRT di bagian gerbong yang memiliki fasilitas untuk penumpang dengan kendaraan personal yang bisa dilipat. “Naik MRT membantu melewati kemacetan, dan skuter ini bisa dibawa ke kantor,” ujar Joey, yang menggunakan skuter listrik sejak Februari lalu.
Mengendarai skuter listrik kini men-jadi bagian dari gaya hidup Joey. Dia me-ngurangi penggunaan mobil dan ber-alih ke transportasi publik. Joey kerap memakai skuter untuk menghadiri rapat di luar kantor yang bisa berlangsung hingga enam kali dalam sehari. “Naik mobil menghabiskan waktu. Pakai skuter lumayan mengirit pengeluaran untuk bensin dan parkir mobil,” kata pria 38 tahun itu.
TEMPO/Muhammad Hidayat
Febian Muljadi juga memanfaatkan skuter listrik untuk mobilitas menembus kemacetan dari rumahnya di Sunter, Jakarta Utara, ke tempat kerjanya. Jika lokasi yang dituju jauh, misalnya di Lebak Bulus, Febian memilih naik MRT bersama skuternya. Jika ia mengendarai mobil, waktu tempuh dari Sunter hingga Lebak Bulus bisa mencapai dua jam. “Naik MRT paling setengah jam,” tutur pemilik sembilan tempat pencucian mobil yang antara lain berada di Sunter, Kelapa Gading, dan Pluit, Jakarta Utara, itu.
Menurut Febian, skuter listrik menjadi moda transportasi pribadi yang mumpuni. Apalagi dia enggan menyetir mobil menembus lalu lintas Ibu Kota yang kerap macet. Sesekali saja ia menyetir untuk mengangkut skuter ke halte atau stasiun terdekat dari rumahnya sebelum menyambung perjalanan dengan moda transportasi publik. “Skuter itu nyaman dan waktu perjalanan lebih hemat,” ujarnya.
Penataan trotoar dan fasilitas moda publik yang terintegrasi, menurut Alfred, bisa mendorong warga Jakarta beralih dari menggunakan kendaraan bermotor pribadi ke angkutan umum. Tingkat kemacetan dan pencemaran udara pun bisa ditekan. “Publik merasa nyaman berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum,” ucapnya.
Namun masih banyak ruas jalan di Ibu Kota tidak memiliki trotoar yang layak. Para pedagang kaki lima dan operator parkir liar sering mengokupasi trotoar dan badan jalan. Penertiban yang dilakukan pemerintah tak membuat mereka kapok. “Jakarta agak terlambat untuk urusan membangun trotoar, padahal Ibu Kota kerap menjadi patokan bagaimana seharusnya membangun trotoar yang baik,” kata Alfred.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pemerintah telah menata trotoar di sejumlah jalan di Ibu Kota. Program penataan, dia menambahkan, akan terus berjalan dan membuat trotoar menjadi lokasi interaksi warga. “Di situ ada ruang untuk berkegiatan sosial, budaya, ekonomi tanpa mengganggu pergerakan pejalan kaki,” tutur Anies, Sabtu, 10 Agustus lalu.
Pada tahun ini, program revitalisasi tro-toar di sejumlah ruas jalan di Jakarta akan rampung. Pemerintah mengalokasikan Rp 473,7 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Trotoar yang ditata antara lain di sepanjang Jalan Cikini-Salemba, Jalan Profesor Doktor Satrio di Kuningan, Jalan Kemang Raya, Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Latumenten, dan kawasan sisi barat Danau Sunter.
Menurut Alfred, upaya pemerintah membangun trotoar Jakarta patut di-apre-siasi. Namun upaya itu bakal terganjal urusan dana. Anggaran yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saat ini hanya cukup untuk merevitalisasi trotoar sepanjang sekitar 100 kilometer per tahun. “Kebutuhan trotoar di Jakarta setidaknya mencapai 2.600 kilometer,” ujarnya. “Anggarannya memang harus ditambah.”
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, NUR ALFIYAH
DKI Jakarta
Populasi 10,37 juta orang
Kendaraan Pribadi
- Mobil penumpang
2012 10,8 juta
2016 13,3 juta
- Sepeda motor
2012 2,7 juta
2016 3,5 juta
Transportasi Publik
- Transjakarta
Penumpang 189,7 juta (2018)
- Commuter Line
Penumpang 315,8 juta (2017)
- MRT Jakarta
Penumpang 82 ribu per hari*
*MRT Jakarta resmi beroperasi sejak 24 Maret 2019. Rata-rata jumlah penumpang ditargetkan mencapai 100 ribu orang per hari pada akhir 2019.
Jalan dan Trotoar
- Jalan tol 160,35 Km
- Jalan negara 59,86 Km
- Jalan provinsi 1.483,08 Km
- Jalan kota administrasi 4.949,68 Km
- Trotoar 540,33 Km (luas 976,5 kilometer persegi)
SUMBER: BPS DKI JAKARTA, KCI, MRT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo