Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Dengan Mural dan Grafiti, Amman Tak Lagi Kota Kardus yang Murung

Ribuan tahun lalu, bangsa Nabatea membangun kota Petra dengan memahat tebing. Kini anak-anak muda Yordania membuat mural di Kota Amman.

28 Februari 2020 | 09.38 WIB

Karya Miramar Al Nayyar bersama kawan-kawannya. Foto: Mohammad Emad/Atlas Obscura
Perbesar
Karya Miramar Al Nayyar bersama kawan-kawannya. Foto: Mohammad Emad/Atlas Obscura

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Dinding Kota Petra berjarak 2-3 jam perjalanan dai ibu kota Yordania, Amman. Perjalanan menuju situs itu melintasi padang pasir dan dilanjutkan dengan menelusuri lorong tebing. Keindahan kota pada dinding tebing itu, membuat UNESCO harus turut melindunginya. Sejak 6 Desember 1985, UNESCO menjadikannya salah satu situs warisan dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bila mahakarya Kota Petra itu dibuat lebih dari 2.000 tahun lalu, kini Amman bersolek dengan karya-karya seni yang memanfaatkan dinding kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sela hiruk pikuk kota, milenial Amman kerap berkumpul di kafe-kafe yang bertebaran di wilayah Jabal Luweibdeh, Amman. Distrik ini populer dengan ekspatriat dan gaya hidup urban. Salah satu yang kerap nongkrong di wilayahitu adalah seniman Miramar Al Nayyar, 23 tahun. Ia kerap berlama-lama di meja pub di belakang barista, merokok, mendiskusikan seni, dan berbagai cerita tentang kota mereka.

Al Nayyar berasal dari Irak. Ia dan keluarganya pindah ke Yordania karena ayahnya diincar pemerintah, karena memalsukan dokumen-dokumen untuk membebaskan tahanan politik. Al Nayyar pun berhenti kuliah dan menekuni seni. Ia dan komunitas kecil seniman jalanan yang tidak terlatih berada di garis depan panggung seni, yang sedang berkembang di Amman. Menurut Atlas Obscura, merekalah kini yang menghiasi dinding kota dengan karya mural yang menawan.

Marimar Al Narayya dengan proyeknya di dinding rumah apartemen. Terkadang seniman seniman seperti Al Narayya sangat mudah mendapatkan dinding, terkadang juga sulit mendapatkannya. Mohammad Emad/Atlas Obscura

Mereka juga mengisi galeri-galeri seni di Jabal Luweibdeh, untuk dibeli kalangan atas Amman. Seni bagi mereka adalah jalan keluar, karena upah rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi di Yordania. Dengan bekerja di bidang seni, para pemuda itu bisa memberi makan keluarganya sehari-hari.

Al Nayyar menemukan peluang menyalurkan bakat seni mereka, salah satunya didukung factor tata kota Amman yang penuh dengan permukiman vertical. Apartemen-apartemen beton dibangun, untuk menampung ledakan jumlah penduduk.

Amman memang telah membengkak dalam ukuran luas dan jumlah populasi selama abad terakhir. Ketika kota itu dipilih sebagai ibu kota Yordania, pada tahun 1921, kota itu hanya dihuni sekitar 5.000 penduduk. Tetapi pada tahun 1948, setelah perag Arab-Sirael, pengungsi datang bergelombang ke Amman. Sekarang, lebih dari 4 juta manusia menyebut Amman sebagai kampung halaman mereka.

Bangunan-bangunan berbentuk kubus pun dibangun di mana-mana, meliuk-liuk mengikuti perbukitan Amman. Campuran semen dan pasir itu menghadirkan bangunan-bangunan beton berwarna seperti kardus. Fasad kota – bagi anak-anak muda itu – tampak menjemukan. Lalu mereka bergerak dengan membuat mural dan grafiti. Kegiatan mereka sebagian disetujui pemerintah kota, sebagian tidak.

Dua genre seni jalanan itu, kini membuat Amman sebagai kota musim semi yang meriah. Warna cerah — biru dan merah muda, kuning dan hijau, merah dan jeruk — menghiasi tangga lusuh kota, pintu dan jendela logam, dan sisi-sisi gedung apartemen dan lorong-lorong, membentuk potret mencolok robot dan kucing, kartun dan kaligrafi, puisi dan kutipan.

Karya seni para milenial itu juga mendatangkan berkah, terutama bagi industry pariwisata Yordania. Wisatawan yang dulunya mengikuti paket tur wisata ke pasar tradisional (souqs) dan reruntuhan Romawi, kini ditambah menyusuri gedug-gedung yang sarat grafiti dan seni mural. Warga yang rumahnya relah dilukis pun mendapat konpensasi atau komisi dari agen perjalanan, demikian pula para seniman.

Fasad kota Amman kini tak menjemukan dengan warna krem. Bahkan terdapat tur wisata melihat mural-mural di kota. Mohammad Emad/Atlas Obscura

“Tur seni benar-benar menarik,” kata Hind Joucka, seorang konsultan seni berusia 27 tahun, yang membuat paket tur wisata dan mendirikan platform online untuk seniman lokal bernama Artmejo. "Mereka sangat menyenangkan, dan ada tingkat komunikasi ekstra antara wisatawan dan warga, untuk mencari tahu berbagai hal tentang budaya [modern kota]."

Bagi Joucka, tren itu adalah anugerah bagi penduduk dan pengunjung. "Kamu mempercantik kota, kamu menambahkan sedikit warna," katanya. "Semua orang mengatakan Amman berwarna krem, dan sekarang bukan lagi."

Setiap hari, katanya, sepertinya mural baru atau karya grafiti muncul. Bila melihat karya-karya mereka dengan lebih teliti, muncullah nama-nama seperti Rain, Wize One, dan Siner. Dan mural muncul begitu cepat sehingga film-film dokumenter yang didedikasikan untuk mendokumentasikan karya seniman jalanan, cukup kesulitan memvisualkan karya-karya mereka.

Pemerintah kota tampaknya mulai memperhatikan potensi wisata dari karya seni jalanan itu. Pada 2013, setelah bertahun-tahun acuh tak acuh terhadap seni publik, pemerintah menyetujui festival tahunan seni jalanan, yang dinamai Baladk. Didirikan oleh Al Balad Theatre yang berfokus pada masyarakat, Baladk berfungsi sebagai lokakarya raksasa bagi warga kota. Mereka mendatangkan seniman-seniman jalanan kelas dunia ke Amman untuk bermitra dengan seniman lokal, menciptakan lukisan mural.

Seni menjadi salah satu sumber penghasilan warga Amman ketika lapangan pekerjaan sulit dan upah rendah. Foto: Mohammad Emad/Atlas Obscura

Uniknya, di luar festival, mendapatkan izin dari kota untuk melukis di dinding publik berhadapan dengan birokrasi yang rumit. Amman tetap menjadi tempat yang konservatif, dan para pejabat khawatir akan menyinggung komunitas religius yang konservatif. Baik para pelaku seni maupun karyanya, dilarang menampilkan homoseksualitas dan kekerasan berbasis gender.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus