Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Dibuai Ombak Mentawai  

Di deretan pulau kecil di bagian utara Siberut, ombak terbaik di dunia memanjakan para peselancar.

15 Juni 2015 | 09.25 WIB

Dermaga nelayan di Mailepet, Pulau Siberut, Mentawai. TEMPO/Febrianti
Perbesar
Dermaga nelayan di Mailepet, Pulau Siberut, Mentawai. TEMPO/Febrianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Mentawai - Perahu kayu dengan mesin tempel yang membawa kami melesat mengarungi samudra meninggalkan Tuapeijat, Pulau Sipora, ibu kota Kepulauan Mentawai. Tujuan kami adalah Pulau Rinoki, sebuah pulau kecil yang terletak di bagian barat daya Pulau Siberut.

Saya berangkat dengan teman-teman—semuanya berdelapan—yang akan meneliti potensi Pulau Roniki. Sudah lama saya berniat mengunjungi pulau-pulau kecil di kawasan Siberut itu. Katanya, di sanalah pusat surfing dengan titik ombak terbanyak di Mentawai. Seluruhnya ada 70 titik gelombang berkategori internasional.

Satu jam kemudian ujung daratan Pulau Siberut di bagian utara mulai terlihat. Tapi tempat yang kami tuju masih jauh. Hujan kini sudah berhenti, dari jendela terlihat pulau-pulau kecil yang berada di barat daya Siberut. Namanya: Pulau Karamajat, Pulau Mosokut, Pulau Botik, Pulau Nyang-nyang, dan Pulau Silaoinak.

Di sana terlihat resor yang dikelola orang asing. Beberapa peselancar tampak bersantai di depan resor. Belum seorang pun yang bermain ombak di laut pagi ini. Mungkin karena saat ini sudah memasuki akhir musim ombak. Gelombang menantang biasanya terjadi pada Maret hingga Oktober.

Di sekitar pulau-pulau kecil ini terdapat berbagai jenis ombak yang sudah ditandai dengan nama-nama asing, seperti Burgerworld, E-Bay, Pitstop Hill, Nipussi, Jon Kendi, dan Hideaway. Saya tak tahu kenapa bisa demikian. Sejak awal 1993, Kepulauan Mentawai memang dikenal sebagai salah satu lokasi surfing terbaik di dunia. Tak kurang dari 7.000 peselancar asing menggeruduk tempat ini saban tahun pada musim ombak.

Akhirnya Pulau Roniki terlihat di depan mata. Sebuah pulau mungil dengan rimbunan pohon kelapa. Pasirnya putih dan dikelilingi laut yang biru kehijauan. Ombak terasa tenang saat itu. Mesin perahu dimatikan. Dan kami turun ke daratan. Uf, pasirnya terasa lembut.

Ternyata Pulau Roniki ini berpenghuni. Di balik rimbunnya pohon-pohon kelapa terlihat pondok-pondok kecil dari kayu. Seorang perempuan paruh baya terlihat tengah mencungkil daging kelapa. Kami berkenalan, namanya Eti Sabag, warga Desa Taileleu di Siberut. Sejak pagi ia datang ke Rinoki untuk mengolah kopra. Sore nanti perempuan 50 tahun itu kembali ke Taileleu dengan bersampan.

Ribuan pohon kelapa di Roniki ini adalah warisan yang ia peroleh dari orang tuanya. Kekayaan alam ini dikelola beberapa keluarga secara bergiliran. Eti Sabag terlihat sangat cekatan mencungkil daging kelapa tua yang putih dan tebal. Hasil cungkilan ia masukkan ke keranjang rotan. Di dekatnya teronggok ratusan kelapa tua yang sudah dibelah.

Di tempat penyalaian terlihat tumpukan besar daging kelapa kering berwarna kecokelatan yang sudah jadi kopra. Komoditas ini akan dibeli pedagang yang datang dengan kapal setiap bulan. Dalam sebulan Eti rata-rata menjual 300 kilogram kopra.
Tapi Eti mengeluh. “Kami di sini banyak utang kepada orang kapal yang membeli kopra. Akibatnya, saat menjual kopra, uang yang kami terima tetap sedikit,” katanya.

Kami beristirahat di bawah naungan pohon kelapa dan memakan bekal makan siang. Mikael menyuguhkan kelapa muda yang rasa airnya bak minuman bersoda.

Siangnya kami mengelilingi Pulau Roniki, dimulai dari pantai timur ke arah utara. Pantai dengan pasir putih ini bersih dari sampah plastik. Yang ada hanya ada potongan terumbu karang mati diempas ombak. Lalu di sana-sini teronggok tunggul-tunggul kayu mati. Sungguh segalanya terasa alamiah belaka.

Di bagian utara, baru kami temukan karang dan ombaknya yang kuat. Menjelang sore, ombak kian besar. Di puncak-puncak gelombang itu terkadang timbul buih air seperti mahkota. Pulau Roniki seluas 64 hektare tak terkelilingi hari itu. Mungkin petualangan kami lanjutkan esok saja.

Hari kedua, saya mengikuti kegiatan tim selam. Perahu mesin membuang jangkar sekitar 500 meter dari Pulau Roniki. Satu per satu para penyelam terjun melakukan penelitian. Saya menunggu di perahu, dan sesekali membantu melemparkan alat pengukur kecerahan air. Dua kali saya melihat penyu hijau berenang dan muncul ke permukaan.

Laut kemudian bergejolak, membuat perahu terombang-ambing. Saya duduk di buritan kapal. Di kejauhan terlihat ombak tinggi pecah di pantai bagian tenggara Roniki. “Sayang sekali tidak ada yang surfing. Kalau mereka tahu, pasti sudah bersenang-senang di sini,” kata Agus. Selain menyewakan perahu, ia memang pemandu peselancar.

Saya diberi tahu Agus bahwa itulah ombak yang bernama Burgerworld. Gelombangnya ada yang memecah ke kiri dan ke kanan. Ini jenis ombak khusus di Pulau Roniki. Kenapa diberi nama Burgerworld? Agus juga tidak tahu.

Namun, menurut dia, ombak ini cukup berbahaya karena di bawahnya terdapat karang-karang tajam. “Saat belajar surfing dulu celana saya pernah tersangkut di batu karang di sana. Kaki juga sudah beberapa kali tertusuk karang,” kata Agus.

Agus berasal dari Sagulubbek, di Siberut bagian barat. Dia mengaku belajar surfing dari turis Australia pada 2005. Turis itu jugalah yang memberikan papan surfing kepada dirinya. Sejak itu dia menjadi pemandu yang mengantar peselancar asing dengan perahu yang kini kami naiki. “Pemain surfing itu gila-gila, bahkan pada malam hari, saat bulan purnama mereka juga main,” kata Agus.

Dari mereka, Agus tahu bahwa ombak Mentawai adalah ombak yang paling bagus di dunia. “Ada juga yang mengatakan nomor dua setelah Hawaii,” kata Agus. Kepada kami, dia mengaku punya ombak rahasia yang tidak diketahui peselancar lainnya. Hm...

Akhirnya kami memutuskan mengelilingi Pulau Roniki dengan perahu. Agus yakin bisa menaklukkan ombak yang tinggi. Mesin perahu pun dihidupkan segera menyongsong Burgerworld yang menggelombang setinggi rumah itu. Petualangan dimulai!

Agus bekerja keras mengendalikan perahunya meniti ayunan Burgerworld. Gulungan ombak dengan puncak-puncaknya yang putih seperti mahkota mengejar kami terus-terusan. Saya sungguh menikmati momen saat perahu melayang di atas ombak yang menyerupai burger raksasa itu.

Kini saya paham kenapa banyak pecandu surfing jauh-jauh datang ke Mentawai untuk menikmati ombaknya. Ternyata memang mengasyikkan. Seperti yang kami alami saat ini. Ahoooi...!

FEBRIANTI


Bagaimana Mencapai Siberut:
Satu-satunya cara ke Pulau Siberut, Mentawai, dengan naik kapal dari Padang, Sumatera Barat. Ada beberapa pilihan kapal, kapal ASDP yang memakan waktu 12 jam ke Siberut dan ada kapal cepat yang memakan waktu 3 jam.
- Jadwal kapal cepat Mentawai Fast ke Siberut setiap Selasa dan Sabtu, berangkat pukul 7 pagi dari Pelabuhan Muara, Padang.
- Jadwal kapal Gambolo (ASDP) ke Siberut, Rabu dan Jumat pukul 19.00WIB, dari Pelabuhan Bungus, Padang.
 - Perjalanan ke lokasi surfing dan pulau-pulau kecil di Siberut barat daya disambung dengan perahu mesin tempel, perkiraan biaya Rp1,9 juta per hari.
- Penginapan banyak terdapat di lokasi surfing, dari resor yang dikelola orang asing hingga penginapan homestay masyarakat lokal dengan tarif Rp 200 ribu per malam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nurdin Kalim

Nurdin Kalim

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Kini Redaktur Utama untuk Rubrik Seni, Film, Musik, dan Selingan-Intermezo majalah Tempo. Anggota tim kurator sastra di Koran Tempo. Lulusan Universitas Brawijaya, Malang.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus