Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Sumba - Tetua adat kepercayaan Marapu di Desa Tarung, desa tertua di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Rato Amatuwa merapal doa untuk menebus dosa. Satu persatu ayam hidup dibawa masuk ke rumah adat berbentuk panggung kayu yang diberi nama Umma Kaka. Rato komat-kamit di depan piring berisi pinang dan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hari itu, setiap anggota keluarga berbondong-bondong membawa ayam untuk mengetahui nasib dan melihat tindakan baik dan buruk yang dilakukan. Ada 300 ekor ayam yang terkumpul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setelah menjalani doa, sanak saudara Marapu menyembelih ayam. Mereka membakar ayam-ayam itu menggunakan jerami di depan rumah. Anak-anak, dewasa, perempuan, dan laki-laki bersuka cita membakar ayam dan mencabuti bulu-bulunya.
Ritual itu bagian dari upacara adat paling sakral Marapu, Wulla Poddu. Setiap setahun sekali, penghayat kepercayaan Marapu menggelar upacara bulan suci. Selama sebulan mereka merayakan hari besar itu. Biasanya Oktober-November. "Doa-doa untuk mendapatkan berkah," kata Rato Amatuwa, Senin, 29 November 2021.Tetua adat Marapu Rato Amaleda membaca tanda pada tali usus ayam dalam perayaan Wulla Poddu di Desa Tarung, Waikabubak, Sumba, Nusa Tenggara Timur. TEMPO | Shinta Maharani
Di kalangan umat Muslim, hari raya itu seperti Idul Fitri dan Natal untuk umat Kristiani. Selain upacara, penduduk satu kampung makan-makan dan menari.
Saya mengikuti keseluruhan prosesi ritual selama tiga hari puncak perayaan pada 28 hingga 30 November. Hari pertama seluruh anggota keluarga berkumpul dan makan-makan. Siapapun yang datang tak boleh menolak makanan dan minuman yang disuguhkan oleh pemilik rumah. Tengah malam, pemuda pemudi menari mengelilingi bebatuan suci Marapu.
Bagian yang paling menarik adalah meramal nasib dan pengakuan dosa dengan cara membelah dada ayam. Maria Stefani deg-degan menyerahkan ayamnya kepada Rato Amaleda. "Seperti teka teki nasib baik dan buruk," kata Stefani.Tetua adat Marapu Rato Amatuwa merapal doa pada perayaan Wulla Poddu di Desa Tarung, Waikabubak, Sumba, Nusa Tenggara Timur. TEMPO | Shinta Maharani
Rato Amaleda membelah dada ayam dengan pisau sehingga terlihat jantung, hati, dan usus. Pada usus itulah ramalan nasib maupun tindakan baik dan buruk seseorang tergambar. Bila di usus itu terdapat urat-urat warna merah, maka pemilik ayam diramalkan dalam kondisi yang tidak baik. Dia bisa sakit maupun mengalami musibah lain. Tapi jika ususnya terlihat bersih, maka pemilik ayam dalam kondisi baik.
Stefani bernapas lega. Ayam yang dibelah dadanya itu memberi petunjuk baik. Rato Amaleda membaca keberkahan menghampiri Stefani.
Marapu memuja ruh leluhur Inapapa Nuku Amapapasara. Dalam menjalankan ritual adat, Marapu menggunakan ayam, babi, dan kuda sebagai bagian penting dari ritual mereka. Tanda-tanda di tubuh ayam itu, kata Rato Amatuwa, menjadi petunjuk atau pedoman hidup, seperti pada Al Kitab.Penghayat kepercayaan Marapu yang tinggal di Desa Tarung, Waikabubak, Sumba, Nusa Tenggara Timur. TEMPO | Shinta Maharani
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.