Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Singapura - Di China Town atau kawasan pecinan Singapura, imajinasi bisa melayang ke masa silam mengenai kota kecil di ujung Malaysia. Bangunan-bangunan di China Town nyaris semahzab: beratap tinggi, menjulur panjang seperti garis horisontal, dan membentuk lorong-lorong. Dinding bangunan berusia ratusan tahun itu juga serupa, bercat cerah dan berjendela dua sayap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di jantung Trengganu Street, tepat di tengah China Town, sebuah bangunan bercat putih tampak paling beda. Dari semua gedung yang berderet, ia paling megah -- lagi kuno. Dulunya, bangunan ini adalah opera house bernama Lai Chun Yuen, yang sekarang telah disulap menjadi hotel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Di saat petang pemandangan Hotel 1887 menjanjikan riuh pasar malam. Namun di pagi hari di China Town Singapura, disibukkan orang lalu lalang. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Dinamai Hotel 1887, keberadaannya saat ini menjadi ruang komersial bagi turis yang ingin lebih dekat mengenal pecinan Negeri Singa masa lampau. TEMPO menjajal menginap di hotel itu pada Jumat, 19 Juli 2019, berdasarkan rekomendasi aplikasi Agoda.
Tak seperti hotel-hotel lainnya, 1887 memiliki pintu masuk mungil. Lebar pintunya tak sampai 3 meter dengan lobi yang minimalis. Barangkali inilah ciri khasnya, yakni mempertahankan gaya arsitektur rumah orang-orang peranakan lawas.
Di sisi kiri lobi, tamu langsung disambut lantai dansa dan bar berkapasitas 75 orang. Itulah bar, tempat orang-orang berpesta kalau malam dan titik turis bertemu untuk sarapan kala pagi. Konon, bar ini dulunya panggung opera. Pada masa opera house Lai Chun Yuen berjaya di abad 19-an, tempat ini menjadi senter bagi para aktor dan aktris manggung.
Di samping panggung itu, pada masa lampau kursi-kursi kecil dan meja bundar merupakan tempat tetamu Cina dan Hong Kong ngebir, mengudap camilan, sambil menyaksikan pentas malam. Tetamu lain, dengan strata yang lebih tinggi, menonton pertunjukan opera dari lantai dua dan tiga dengan ruang kubikel.
Kamar di Hotel 1887 dilengkapi balkon untuk menikmati suasana China Town, Singapura. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Ruang-ruang kubikel di lantai dua dan tiga itu, saat ini diubah menjadi kamar-kamar hotel dengan beragam tipe. Di antaranya single, double, balcony, dan family. TEMPO memilih kamar single dengan fasilitas balkon.
Desain kamar single balcony itu cocok untuk solo traveler yang ingin bersendiri menikmati kawasan pecinan. Kamar ini memiliki ranjang yang muat satu orang dan teras yang langsung menghadap ke arah kawasan China Town.
Dari dalam kamar, turis dapat menikmati pula riuh suara pasar malam pecinan kala petang datang. Sedangkan saat pagi, mereka bakal dibangunkan bunyi orang lalu-lalang karena letaknya tak jauh dari pasar.
Managing Director Hotel 1887, Bryan Ong mengatakan hampir saban hari hotelnya penuh. “Okupansi kami mencapai 90 persen dengan jumlah kamar 80 unit,” katanya saat ditemui TEMPO pada Jumat, 19 Juli 2019.
Hotel ini banyak diburu turis asing dari Amerika, Eropa, dan beberapa negara di Asia. Umumnya, turis yang menginap adalah turis kelas menengah ke atas. Pada masa ramai kunjungan atau high season, Hotel 1887 mesti di-booking lebih awal melalui aplikasi pemesanan online, seperti Agoda. “Biasanya kami penuh kalau bulan Juli, Agustus, September, Oktober, Desember, dan saat Imlek,” katanya.
Hotel ini bisa dijangkau dengan jalan kaki 5 menit dari Stasiun MRT China Town, 3 menit dari kawasan Food Street, dan langsung menghadap ke pasar malam. Sementara itu, untuk menginap di hotel ini, pengunjung mesti merogoh kocek mininal S$150 atau Rp1,5 juta per malam.
Ada dua larangan paten yang ditetapkan pihak hotel saat turis memesan hotel, yakni tidak boleh merokok dan makan durian.
Suasana Hotel 1887 di China Town, Singapura. TEMPO/Francisca Christy Rosana