Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Reformasi, Emha Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun yang sebelumnya aktif di media massa memilih untuk menggeluti “jalan damai”. Sebagian besar kegiatannya ia lakukan bersama masyarakat di berbagai pelosok Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama kegiatan berlangsung, ia bersama Kiai Kanjeng melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, dan pengupayaan solusi masalah masyarakat. Kegiatan tersebut pun akhirnya berkembang sebagai sebuah konsep kebersamaan yang juga diikuti beragam lapisan masyarakat. Pada 2001, konsep ini disebut Maiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Cerita Cak Nun Kerap Dipermusuhkan dengan Megawati
Cak Nun Inisiasi Maiyah
Secara etimologis, Maiyah berasal dari bahasa Arab, yaitu ma’a yang berarti bersama. Sementara itu arti Maiyah sendiri adalah kebersamaan. Nantinya, kebersamaan yang dibangun harus selalu berpijak pada kebersamaan Segitiga Cinta antara Allah, Rasulullah, dan setiap makhluk, seperti dilansir dalam laman resmi caknun.com.
Maiyah yang diinisiasi oleh Cak Nun menjadi sebuah fenomena gerakan sosial budaya baru yang memberikan harapan kebangkitan Indonesia. Maiyah dianggap sebagai oase di tengah berbagai dahaga sosial, kebudayaan, agama, dan krisi keadilan Indonesia. Sebab, semua permasalahan itu diolah dan dicarikan titik terang bersama menjadi energi kreatif yang menyiratkan prospek masa depan Indonesia lebih baik lagi.
Selain itu, Maiyah juga dapat dikatakan sebagai sekolah gratis terbuka atau universitas jalanan untuk berbagai lapisan masyarakat atau mirip dengan pesantren virtual. Maiyah seperti menjadi laboratorium sosial yang melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan. Semuanya boleh datang ke Majelis Masyarakat Maiyah, tanpa memandang status, keyakinan, dan sisi politiknya.
Cak Nun menyatakan bahwa Maiyah merupakan dinamika tafsir terus-menerus. Meskipun Maiyah dipandang sebagai gerakan sosial budaya, agama, bahkan gerakan sufi, tetapi menurut Cak Nun, Maiyah mengambil posisi penting sebagai majelis ilmu sehingga dapat menyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi di masyarakat. Maiyah juga selalu berupaya di titik seimbang, sebagai penengah, tidak memihak kepada siapapun, baik kekuasaan, ormas, mazhab agama, dan kelompok atau aliran apa pun.
Mengutip p2k.stekom.ac.id, jika ditarik mundur, pembentukan Maiyah berangkat dari pengajian pada 1994 yang digagas Adil Amrullah atau Cak Dil, adik Cak Nun. Pengajian ini diselenggarakan di rumah orang tua Cak Nun di Jombang sebagai jalan silaturahmi Cak Nun dengan keluarga. Pengajian itu dinamakan Padhangmbulan yang diadakan di Desa Menturo setiap pertengahan bulan Hijriah dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 Ramadan ketika bulan purnama. Awalnya, Padhangmbulan hanya diikuti 50-60 orang saja, tetapi lambat-laun semakin banyak orang yang mengikuti pengajian ini, bahkan sampai ribuan.
Sejak awal, upaya tafsir dilakukan di Padhangmbulan melalui kolaborasi Cak Nun dan kakak pertamanya, Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Kala itu, Cak Nun menyampaikan tafsir kontekstual yang berupaya memahami kejadian di masyarakat. Al-Quran pun tidak diposisikan sebagai objek kajian, melainkan sebagai metodologi membaca realitas. Kendati demikian, Cak Nun tidak mengklaim bahwa mereka adalah mufasir. Atas dasar inilah, setelah reformasi ia lebih memilih menyebarkan lebih luas “jalan damai” sampai akhirnya terbentuk Maiyah.
Meskipun keberangkatannya dari pengajian, tetapi dalam perjalanannya, Emha Ainun Nadjib bersama Masyarakat Maiyah melakukan dekonstruksi model pengajian baku yang sudah ada. Lalu, untuk melangkah menuju terwujudnya kecerdasan kolektif, Cak Nun dan Masyarakat Maiyah melakukan Sinau Bareng (belajar bersama). Terdapat dua bentuk umum dari Sinau Bareng, yaitu majelis ilmu oleh Masyarakat Maiyah secara rutin bulanan, dan majelis yang diselenggarakan masyarakat umum pada waktu tertentu dengan mengundang Cak Nun dan Kiai Kanjeng.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca juga: Kata Emha Ainun Nadjib Soal Perannya di Politik Saat ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.