Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo.co, Yogyakarta - Putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu menceritakan usaha Keraton Ngayogyakarta mengejar manuskrip kuno milik keraton yang dijarah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Keraton, kata GKR Hayu, fokus mendapatkan kembali manuskrip kuno karena menyangkut sejarah penting kebudayaan Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mudah merebut kembali manuskrip jarahan Raffles. GKR Hayu mengatakan perlu upaya keras karena tak gampang meyakinkan negara-negara yang pernah menjajah Pulau Jawa, yakni Inggris dan Belanda yang menyimpan manuskrip tersebut. Jumlah manuskrip yang berada di Belanda diperkirakan lebih banyak ketimbang yang ada di Inggris. Salah satu tempat yang menyimpan hasil jarahan Raflles adalah British Librarary.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GKR Hayu mengatakan saat ini Keraton Yogyakarta telah mendapatkan salinan 70-an manuskrip kuno. "Bapak saya cerita enggak gampang. Perlu usaha lima tahun mendapatkan soft copy manuskrip kuno dari British Librarary," kata dia ketika menerima tamu dari rombongan staf Jenius, aplikasi layanan perbankan milim Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), di Bale Raos Yogyakarta, Jumat, 8 November 2019.
Raffles hanya menyisakan dua manuskrip kuno, yakni Al Quran dan serat Suryojoyo. Gara-gara itu, Keraton Yogyakarta kehilangan sejarah penting. Upaya untuk mendapatkan manuskrip kuno sudah dilakukan dalam bentuk kerja sama budaya antar-negara. Presiden Megawati Soekarnoputri pernah melakukan penandatangan kerja sama budaya. Dari kerja sama itu, keraton bernegosiasi untuk mendapatkan kembali manuskrip.
Puteri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu saat menerima rombongan staf Jenius, aplikasi milik BTPN dan jurnalis di Bale Raos Yogyakarta. TEMPO | Shinta Maharani
GKR Hayu menjelaskan Keraton Yogyakarta telah mendata setidaknya ada ribuan manuskrip kuno yang dirampas Raffles dan dibawa ke Inggris. Manuskrip kuno itu peninggalan Raja Hamengku Buwowo I dan dijarah selama Hamengku Buwono II berkuasa. Sebagian berada di Raffles Foundation dan dikoleksi orang per orang.
Untuk mendapatkan manuskrip itu, Keraton Yogyakarta harus membayar foto kopi karena mereka mengklaim koleksi itu dari hasil membeli. "Milik keraton sudah dijarah, eh malah kami harus bayar. Ini saya curhat" kata putri keempat Sultan Hamengku Buwono X ini. Menurut GKR Hayu, ketika Keraton Yogyakarta meminta agar pemerintah Inggris dan Belanda mengembalikan manuskrip kuno asli, mereka malah meragukan kemampuan keraton merawatnya.
Sebanyak 70 salinan manuskrip kuno itu sudah didata dan masuk dalam digitalisasi website Keraton Yogyakarta. Untuk mendapatkannya pun tidak mudah karena harus mencari sponsor untuk digitalisasi dan memastikan keamanannya. Sebanyak 70-an salinan manuskrip kuno itu diperoleh pada Maret 2019.
Untuk merayakan keberhasilan mendapatkan salinan itu, Keraton Yogyakarta menggelar simposium internasional budaya Jawa di Yogyakarta. "Untuk minta manuskrip asli perlu perjuangan lebih lama," kata GKR Hayu. Lewat digitalisasi manuskrip kuno itu, Keraton Yogyakarta ingin menunjukkan bahwa mereka berupaya mengenalkan ke masyarakat tentang sejarah dan kebudayaan Jawa.
Manuskrip itu di antaranya berisi tentang tari, babad, cerita wayang Mahabarata, Ramayana, dan nasihat raja-raja. Saat 30 tahun acara Jumenengan Sultan Hamengku Buwono X, Keraton Yogyakarta menampilkan tari-tari yang ada di manuskrip tersebut.