Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Melihat Pembuatan Kain Tenun Siak Sambil Belajar Sejarahnya

Kain tenun kebesaran orang-orang Melayu ini memiliki ciri warna-warna berani.

25 Februari 2018 | 17.27 WIB

Seorang penenun sedang memintal benang di Rumah Tenun Kampung Bandar, Pekanbaru, Riau, Juni 2017. Tempo/Francisca Christy Rosana
Perbesar
Seorang penenun sedang memintal benang di Rumah Tenun Kampung Bandar, Pekanbaru, Riau, Juni 2017. Tempo/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Di tangan Wawa Endi, penenun di Rumah Tenun Kampung Bandar, Pekanbaru, Riau, alat tenun bukan mesin sepanjang 160 sentimeter itu bergemeretak dari pagi sampai sore. Dari rutinitas itulah lahir kain tenun Siak yang kondang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Rot penggulung benang dan kain, yang letaknya berseberangan, berputar ganti-gantian. Rot itu berfungsi merentangkan benang-benang sepanjang 2 meter. Bunyinya seperti beras yang diayak. Suaranya itu memenuhi rumah panggung, yang berdiri menyempil di belakang Pelabuhan Bunga Tanjung, pelabuhan rakyat yang menghubungkan Kota Pekanbaru dengan Selat Panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jari Wawa menyusupkan benang di atas lembaran kain tenun. Ia sedang membentuk beragam motif bunga cengkeh. Motif cengkeh adalah simbol kekayaan masyarakat Melayu. Motif itu terbikin dari benang emas yang diimpor dari Cina. Warna emas berperan memperkuat kesan cerah pada selembar kain tenun Siak. Maklum, tenun kebesaran orang-orang Melayu ini memiliki ciri warna-warna berani.

Dulunya, tenun Siak hanya terdiri atas warna hijau, kuning, dan merah. Namun dalam perkembangannya beragam inovasi muncul. Penenun mendobrak aturan. Warna tenun Siak tak lagi seragam, tapi beragam, semisal ungu, biru, dan rona-rona cerah lain.

Selembar kain tenun terdiri atas 3.486 helai benang. Waktu pengerjaannya sampai seminggu. “Ini sudah hari ketiga,” kata Wawa saat ditemui beberapa waktu lalu di Rumah Tenun Kampung Bandar, Pekanbaru, Riau.

Kain yang sedang digarap Wawa adalah pesanan seorang taipan sekaligus pejabat kelas teras di Pekanbaru. Coraknya kaya akan bunga cengkeh dan kalong. Kalong memiliki filosofi sifat berwibawa dan bertanggung jawab. Artinya, representasi seorang pemimpin atau raja.

Seturut dengan budayanya, kain tenun Siak merupakan simbol prestisius bagi si pemakai. Kain ini mulanya hanya dipakai di lingkungan kerajaan Siak Sri Indrapura. Kerajaan itu berlokasi di tepi Sungai Siak, 102 kilometer dari Kota Pekanbaru.

Penggunanya pun orang-orang kalangan bangsawan atau keturunan darah biru. Tak ayal, dari segi motif, tenun Siak mengangkat corak-corak yang mengandung nilai-nilai sakral, loyalitas, dan pengabdian, yang merupakan representasi seorang pemimpin.

Tenun pesanan taipan ini tak cuma digarap satu tangan. Di rumah pembuatan tenun tradisional khas Melayu yang diperkirakan dibangun pada 1887 itu, Wawa dibantu 18 perempuan lain. Mereka terorganisasi dalam komunitas perempuan penenun Kampung Bandar.

Mereka, yang umumnya merupakan keturunan orang-orang Siak, menganggap kegiatan menenun adalah aktivitas warisan para perempuan kerajaan.

Tenun berkembang di Kerajaan Siak Sri Indrapura saat Tengku Said Ali, yang bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Baalawi, bertakhta. Kain tenun ini dikenalkan seorang perajin dari Kerajaan Trengganu, Malaysia.

Pada masa itu, hubungan kenegaraan kesultanan antara Siak dan negeri-negeri Melayu di semenanjung sangat erat. Karena itu, terjadi akulturasi seni dan budaya yang melahirkan beragam produk kultural. Salah satunya tenun. Kain itu dibuat perempuan-perempuan keturunan kerajaan untuk dipakai kalangan bangsawan.

Dari waktu ke waktu, aturan menenun buat perempuan berdarah bangsawan berhasil menembus tembok-tembok kerajaan. Ilmu menenun akhirnya merambah ke masyarakat awam. Perempuan dari keluarga biasa diajari menyungkit kain warisan kerajaan.

Pelan-pelan, budaya menenun untuk penduduk Siak bukan cuma milik istana. Produk tenun Siak juga tak cuma dipakai kaum bangsawan untuk rangkaian upacara atau seremoni tertentu. Seperti batik, tenun Siak meluas fungsinya menjadi kain yang digunakan untuk beragam acara. Penduduk biasa pun mulai membuka bisnis tenun di sepanjang Sungai Siak.

Budaya menenun kain merembet sampai Pekanbaru. “Bahkan sekarang membuka usaha tenun Siak di Pekanbaru lebih menguntungkan karena sasarannya pasti,” tutur Wawa.

Meski berinovasi, tak ada yang berubah dari nilai selembar tenun. Apalagi perihal motif. Penenun tetap mempertahankan corak sesuai dengan awal kemunculannya. Sterilisasi flora, fauna, dan alam sekitar terjaga utuh di lembaran kain berharga mulai Rp 300-an ribu hingga Rp 1,6 juta itu.

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus