Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Pegiat Hukum Waswas RUU Polri Bakal Bungkam Suara Kritis

Pakar Hukum Tata Negara PSHK, Bivitri Susanti menilai RUU Polri menjadi alat politik yang membahayakan demokrasi.

22 Juli 2024 | 22.29 WIB

Polisi menghadang massa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang tengah menggelar aksi damai, di kawasan CFD, Jakarta, Ahad, 30 Juni 2024. Ketika para massa aksi menyampaikan aspirasinya terhadap bahaya revisi UU Polri, aparat kepolisian mendatangi massa aksi. Tempo/Novali Panji
Perbesar
Polisi menghadang massa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang tengah menggelar aksi damai, di kawasan CFD, Jakarta, Ahad, 30 Juni 2024. Ketika para massa aksi menyampaikan aspirasinya terhadap bahaya revisi UU Polri, aparat kepolisian mendatangi massa aksi. Tempo/Novali Panji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai Rancangan Undang-Undang atau RUU Polri berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, jika disahkan. "Bisa membungkam suara kritis," kata Bivitri dalam diskusi publik di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Dengan sejarah yang panjang, menurut Bivitri, seringkali TNI dan Polri dimanfaatkan sebagai alat politik. Aspek sejarah lah, kata dia, yang membuat kepolisian dan TNI memiliki kekuatan politik, sehingga keduanya kerap dimanfaatkan untuk melawan demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sering kali, kepentingan politik praktis dengan dua alat negara tersebut bertemu dan berkolaborasi untuk tujuan yang nondemokratis," ucap Bivitri.

Adapun sebelum memasuki masa reses pada tanggal 12 Juli, DPR RI telah menerima Surat Presiden (Surpres) Rancangan Undang-Undang Polri. Sejak diresmikan sebagai usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna Mei 2024 lalu, RUU ini mendapatkan banyak kritikan, seperti pada pasal 14 ayat 1 huruf o dan g serta pasal 16 ayat 1 huruf q.

Sejumlah pasal dalam RUU ini memperluas wewenang kepolisian, tapi tak membahas mekanisme pengawasan kinerja yang memadai. Jika RUU Polri disahkan, kata dia, akan menciptakan tatanan demokrasi yang buruk.

Menurut dia, kunci demokrasi yang baik adalah akuntabilitas kinerja pemerintah, sementara, akuntabilitas bisa tumbuh berkat adanya pengawasan dan kritik terhadap pemerintah.

Menurut Bivitri bila kolaborasi ini terjadi, maka, bersiaplah akan dibungkam semua, "Bakal ada koalisi besar, maka para aktor politik formalnya akan jinak, maka siapa lagi yang bisa mengkritik pemerintah?" kata dia, hanya tersisa masyarakat sipil.

Namun, bila masyarakat juga dibungkam, menurut dia, pemerintahan akan kembali menjadi otoritarianisme, bukan lagi demokrasi. "Karena bila demokrasi tidak bisa dikritik kekuasaannya, maka dia bukan demokrasi lagi, tetapi menjadi negara otoriter," Tegas Bivitri.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus