Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Para delegasi Asian Professional Security Association (APSA) menggelar konferensi ke-23 di Yogyakarta yang diikuti 125 delegasi dari 13 negara. Konferensi ini membahas kejahatan terorisme di maya (cyber terrorism).
Menurut Lifetime President APSA Indonesia Toto Trihamtoro, pengikut paham radikalisme dan terorisme seperti ISIS mayoritas berpendidikan tinggi. Hanya 17 persen saja yang lulusan sekolah menengah atas.
"Gambaran peperangan sekarang terjadi di kalangan orang yang berpendidikan," kata Toto, Rabu, 12 Oktober 2016.
Baca:
Diplomat Membelot, Korea Utara Hukum Wakil Menteri Luar Negeri
DPR Sahkan Perpu Kebiri Menjadi Undang-Undang
OTT di Kemenhub, Presiden: Pecat Pelaku Praktek Pungli
Maka, ucap Toto, perkembangan dunia cyber perlu mendapat perhatian khusus. Masyarakat Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan terhadap cyber terrorism. Sebab, sudah terjadi serta ada konten di media sosial dan laman Internet yang menyajikan materi radikalisme-terorisme.
"Ini kenyataan, bukan hanya sekadar cerita. Jika tidak siap, suatu saat kita yang akan menjadi korban," ujarnya.
23rd EXCO and International Conference of APSA “Cyber Attack and Terrorism” ini penting karena sebagian kalangan praktisi sekuriti di Indonesia merasa belum terlalu penting membahas persoalan ini. Apalagi upaya antisipasi sering hanya berkutat pada kejahatan terorisme secara tradisional.
Toto menuturkan propaganda pelaku teror melalui media sosial sudah berjalan secara masif. Strategi ini terbukti efektif merekrut anggota, khususnya dari kalangan terpelajar, karena pengguna media sosial mayoritas adalah kaum intelektual. "Meskipun website-nya sudah ditutup, tapi muncul lagi," katanya.
Pembahasan soal kejahatan cyber untuk penyebaran radikalisme-terorisme ini berangkat dari perkembangan sistem teknologi informasi yang turut memudahkan aktivitas pelaku teror, termasuk rekrutmen dan penggalangan dana dari dunia maya.
Adapun President APSA Indonesia Humphrey Abraham Soedira menyatakan konferensi ini rutin diadakan setiap tahun. APSA dibentuk pada 1994 dengan tujuan meningkatkan kerja sama regional di tingkat Asia.
Para anggota berasal dari 13 negara, yaitu Vietnam, Indonesia, Cina, Hong Kong, India, Jepang, Nepal, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, Makau, dan Filipina. Konferensi tahun ini diikuti sekitar 125 peserta dari berbagai negara.
"Kami melakukan tindakan preventif. Soal penangkapan dan penindakan adalah kewenangan kepolisian," ujarnya.
MUH SYAIFULLAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini