Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perang Hamas Vs Israel di Gaza menimbulkan banyak korban jiwa warga sipil. Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas mengatakan lebih dari 8.000 orang telah meninggal dengan jumlah anak-anak mencapai lebih dari 3.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan citra satelit, The Economist memperkirakan lebih dari sepersepuluh persediaan perumahan di Gaza, Palestina telah hancur, menyebabkan lebih dari 280.000 orang kehilangan rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbaru, militer Israel mengatakan bahwa pasukannya telah berhasil masuk lebih jauh ke wilayah utara Gaza untuk "menuntaskan pengepungan Kota Gaza.” Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Daniel Hagari menambahkan bahwa tantara Israel telah menghancurkan instalasi dan infrastruktur militer Hamas, saat berhasil masuk ke Kota Gaza dari berbagai arah.
Langkah Israel ini dapat memengaruhi eskalasi urban warfare di Palestina.
Apa itu urban warfare?
Mengutip laman Global Security, urban warfare adalah peperangan yang terjadi di wilayah perkotaan disebut juga perang kota. Urban warfare berbeda dengan pertempuran di tempat terbuka baik pada tingkat operasional maupun taktis. Terdapat faktor-faktor yang menjadi tantangan dalam urban warfare yang mencakup kehadiran warga sipil dan kompleksitas medan perkotaan.
Operasi tempur di perkotaan dapat dilakukan untuk memanfaatkan keuntungan strategis atau taktis yang terkait dengan kepemilikan atau kendali wilayah perkotaan tertentu atau untuk menghalangi keuntungan musuh.
Pertempuran di daerah perkotaan mengurangi efektivitas keunggulan yang dimiliki satu pihak dibandingkan pihak lain dalam hal persenjataan, artileri berat, atau dukungan udara. Penyergapan yang dilakukan oleh sekelompok kecil tentara dengan senjata anti-tank genggam dapat menghancurkan seluruh jubah besi modern.
Serangan artileri dan udara dapat dikurangi jika pihak "superior" ingin menekan jumlah korban warga sipil sebanyak-banyaknya tetapi pihak yang bertahan tidak melakukan hal tersebut, atau bahkan menggunakan warga sipil sebagai “tameng”.
Taktik menjadi rumit karena lingkungan tiga dimensi, terbatasnya bidang pandang dan tembakan karena adanya bangunan, peningkatan penyembunyian dan perlindungan bagi pembela HAM, infrastruktur bawah tanah, dan kemudahan penempatan jebakan dan penembak jitu.