Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak semua penjahat perang bisa diseret ke pengadilan. Hitler memilih bunuh diri. Stalin dan Mao Zedong mati ”baik-baik” di tempat tidur. Pol Pot, dalang pembantaian dua juta warga Kamboja pada 1970-an, hidup tenang hingga ajal. Idi Amin, diktator brutal Uganda, menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan damai di Arab Saudi. Sedangkan Mengistu Haile Mariam dari Ethiopia hidup tenteram di Zimbabwe.
Namun, kini jangan harap para penjahat kemanusiaan bisa lolos dari jerat hukum. Warga dunia kian tegas: tiada lagi impunitas bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Tidak juga bagi pimpinan negara. Bekas Presiden Irak, Saddam Hussein, dijerat hukuman mati oleh Pengadilan Khusus Irak. Saddam dijerat dua dakwaan: genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sebelumnya, Presiden Serbia Slobodan Milosevic didakwa atas kejahatan perang pada 1999. Ia keburu bunuh diri sebelum dijatuhi hukuman.
Di Cile, setelah Augusto Pinochet lengser selama 17 tahun, persidangan yang riil terhadapnya mulai dibuka. Hissène Habré, bekas Presiden Chad yang kejam, telah diasingkan ke Senegal selama 16 tahun. Ia akan diekstradisi ke Brussels untuk menghadapi persidangan atas kejahatan kemanusiaan di bawah hukum Jurisdiksi Universal Belgia. Wojciech Jaruzelski, pemimpin komunis Polandia yang terakhir, juga tengah bersiap-siap menanti vonis pengadilan negaranya.
Memang, dari seluruh pengadilan kejahatan perang, yang paling awal dan fenomenal adalah Pengadilan Nuremberg di Jerman. Di sinilah bekas petinggi Nazi yang terlibat dalam Perang Dunia II dan holocaust diadili. Mahkamah ini dibentuk berdasarkan London Charter pada Agustus 1945 melalui serangkaian negosiasi antara Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan Prancis. Hakimnya pun berasal dari empat negara itu.
Ada sekitar 200 orang yang diseret ke Justice Palace of Nuremberg, selama 1945 hingga 1949, sementara sekitar 1.600 lainnya dijerat melalui pengadilan militer biasa. Dakwaannya beragam. Dari ”sekadar” memberi ide, merencanakan, berkonspirasi, hingga terlibat langsung dalam kejahatan kemanusiaan di masa kecamuk perang. Vonisnya tak seragam. Ada yang dihukum mati, dipenjara 10 tahun, hingga seumur hidup. Ada pula yang dinyatakan bebas. Termasuk Hanz Fritzsche, bekas Kepala Divisi Berita di Kementerian Propaganda Nazi.
Selanjutnya, pada 1993, International Criminal Tribunal for ex-Yugoslavia di The Hague, Belanda, menjadi persidangan penjahat perang ”modern” pertama setelah pengadilan penjahat Perang Dunia II di Nuremberg dan Tokyo. Para pemimpin Tentara Republik Serbia—bekas negara Yugoslavia—didakwa membantai ribuan warga muslim di Srebrenica, Bosnia dan Herzegovina, pada 1991.
Mereka yang diganjar hukuman, antara lain, Milan Babiæ. Bekas Perdana Menteri Republik Serbia Krajina ini diganjar 13 tahun penjara dengan tuduhan pembersihan etnis. Ia keburu tewas bunuh diri di selnya di Den Haag sebelum kelar masa hukumannya.
Pesakitan lain, Vidoje Blagojevic dan Dragan Jokic, dihukum 18 dan 9 tahun. Sedangkan Radislav Krstic, pemimpin Tentara Serbia Bosnia, dihukum paling berat: 35 tahun penjara karena terlibat genosida Srebrenica, kejahatan kemanusiaan, dan pelanggaran undang-undang perang.
The Hague adalah pengadilan kejahatan perang permanen yang pertama. Ia juga yang pertama tanpa keterlibatan PBB dan tanpa perlawanan dari Amerika. Setelah mengadili pejabat bekas Yugoslavia, pada Oktober tahun ini, The Hague kembali mengeluarkan tuntutan pertama terhadap Joseph Kony dan empat anggota Tentara Tuhan untuk Pembebasan (Lord’s Resistance Army) di sebelah utara Uganda. Dakwaan berikutnya berhubungan dengan pembantaian massal di Kongo, yang konon menelan korban hingga empat juta orang sejak 1998.
Mahkamah yang berlokasi di Negeri Belanda ini juga diberi mandat oleh PBB untuk menginvestigasi kejahatan kemanusiaan di Darfur, Sudan. Lima negara yang dilanda kekerasan juga sudah masuk daftar pengawasan The Hague, termasuk Pantai Gading dan Republik Afrika Tengah.
Setahun sesudah The Hague, PBB membentuk The International Criminal Tribunal for Rwanda di Arusha, Tanzania. Pada 1994, milisi Hutu membantai sedikitnya 800 ribu warga suku Tutsi. Konflik memantik setelah bekas presiden Juvenal Habyarimana—orang Hutu—terbunuh. Presiden Rwanda sekarang, Paul Kagame—warga Tutsi dituding sebagai dalang pembunuhan. Kelompok etnis Hutu yang populasinya di Rwanda mencapai 85 persen pun ”balas dendam” lewat pembantaian massal.
Begitu luasnya genosida ini terjadi, terlalu banyak orang yang terlibat. Sejauh ini, sekitar 6.500 orang telah disidang, beberapa melalui pengadilan massal. Hasilnya, 105 dihukum dan 37 bebas. Namun, masih ada sekitar 120 ribu orang yang menyesaki penjara-penjara Rwanda hingga pemerintah menyatakan butuh waktu 100 tahun untuk menyidangkan mereka satu per satu. Bahkan ada yang telah sembilan tahun menanti sidang, meski hukuman sebenarnya—jika sudah divonis kelak—bisa jadi kurang dari itu.
Pada 2002, Pengadilan Khusus Sierra Leone dibentuk oleh PBB dan pemerintah setempat. Inilah pengadilan ”campuran” pertama di dunia untuk kejahatan perang. Mahkamah yang berlangsung di bawah hukum internasional ini beranggotakan hakim dalam dan luar negeri. Diadakan di ibu kota Sierra Leone, Freetown, inilah pengadilan kriminal perang pertama yang digelar di negara tempat berlangsungnya kejahatan.
Pengadilan Sierra Leone kemudian ditahbiskan sebagai model lantaran komposisi hakimnya yang campuran lokal dan internasional, menyediakan program perlindungan saksi, hemat biaya, dan jadwal yang ketat. Prosesnya diharapkan selesai maksimal lima tahun.
Pengadilan eks Yugoslavia dan Rwanda, meskipun dinilai cukup baik, berlangsung lambat. Bayangkan, proses hukumnya bisa berlangsung hingga 17 tahun! Selain itu, dinilai boros dan dilakukan di negara lain. Sebaliknya, tribunal khusus di Kamboja yang didominasi hakim lokal, serta pengadilan Saddam di Irak, dianggap tidak netral dan tak kompeten.
Hukum tak selamanya berjalan mulus. The Hague, misalnya, punya satu kelemahan. Pengadilan ini hanya bisa menuntut penjahat perang jika negara asal terdakwa ”betul-betul tak mampu dan tak punya niat” mengadilinya. Ini menjadi celah potensial bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan untuk berkelit. Sudan, misalnya, menolak campur tangan The Hague karena merasa sangat mampu menggelar persidangan kasus Darfur.
Selain dari Sudan, penolakan juga dilontarkan oleh sederet negara tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Negara-negara seperti Zimbabwe, Kuba, Uzbekistan, Korea Utara, Suriah, dan Belarus tak mau menjadi anggota Pengadilan Khusus Internasional itu.
Jika begini kondisinya, kekhawatiran kembali terbersit: masih ada penjahat kemanusiaan yang bisa tidur tenang.
Andari Karina Anom (BBC, The Economist, Genocide Documentation Centre)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo