Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang anak perempuan mengeksekusi mati ibunya sendiri dengan menendang kursi saat menjalani hukuman gantung di Iran. Hukuman ini disebut sebagai salah satu hukum paling barbar di rezim Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maryam Karimi dijatuhi hukuman mati karena membunuh suaminya. Ia dilaporkan telah dilecehkan selama bertahun-tahun oleh suami yang menolak menceraikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ebrahim, ayah sekaligus kerabat satu-satunya Maryam Karimi, berusaha menyelesaikan masalah ini secara damai tetapi dengan sang menantu. Namun Ebrahim tidak dapat meyakinkan menantunya yang keras kepala. Ia pun membantu anaknya yang dianiaya dalam pembunuhan itu.
Setelah penangkapan tersebut, gadis kecil Maryam Karimi yang berusia 6 tahun pun tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayahnya. Keluarga itu mengatakan kepadanya bahwa dia yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggal 13 tahun sebelumnya.
Hanya beberapa minggu sebelum tanggal eksekusi Maryam dan Ebrahim, putri yang sekarang berusia 19 tahun itu diberitahu bagaimana ayahnya dibunuh oleh ibunya. Pada 22 Februari tahun lalu, Maryam dan Ebrahim dipindahkan ke hukuman mati, namun hukuman gantung ditunda karena alasan yang tidak diketahui.
Di bawah hukum Islam Iran, yang memutuskan hukuman si pembunuh adalah keluarga korban dan bukan negara. Sebelumnya keluarga korban ditanya apakah mereka ingin membalas dendam dalam bentuk qisas atau mata ganti mata. Jika mereka ingin menyelamatkan dan menerima sejumlah uang darah sebagai gantinya, maka akan dilakukan pengampunan yang ternyata sangat populer.
Anaknya Menjadi Satu-satunya Penentu Nasib Sang Ibu
Hukum qisas menjadi lebih biadab ketika korbannya bersaudara atau menikah. Dalam kasus Maryam, satu-satunya orang yang bisa membuat keputusan adalah putrinya.
Beberapa minggu kemudian, remaja itu dibawa ke Penjara Pusat Rasht untuk menendang kursi dari bawah kaki ibunya sendiri. Hal itu menyebabkan sang ibu jatuh dan menemui ajalnya.
Sedangkan sang kakek, Ebrahim, penangguhan hukuman sementara. Namun penjaga memastikan untuk mengawalnya di depan panggung di mana tubuh putrinya masih berayun dari tiang gantungan. Pada bulan Juni tahun ini, Ebrahim digantung di penjara yang sama dengan putrinya.
Sistem Peradilan Iran Mengubah Korban Jadi Algojo
Direktur Hak Asasi Manusia Iran Mahmood Amiry-Moghaddam berbagi cerita mengerikan soal hukuman mati di Iran ini. Ia menambahkan bahwa sistem peradilan mengubah korban menjadi algojo.
"Sangat penting untuk menggambarkan apa yang menyebabkan qisas di luar eksekusi yang sebenarnya. KUHP Iran, tidak hanya memiliki hukuman yang tidak manusiawi, tetapi juga mempromosikan kekerasan di masyarakat," ujarnya.
Mahmood menjelaskan bagaimana rezim menunggu sampai anak itu berusia 18 tahun sebelum meminta mereka untuk melakukan tugas yang mustahil. "Mereka menempatkan anak itu dalam situasi yang mustahil, di mana mereka mengatakan ibumu telah membunuh ayahmu, dan Andalah yang akan menentukan nasib mereka," ujarnya.
Para pemimpin ulama Iran memuji hak keluarga untuk pembalasan sebagai hal yang suci, menurut Mahmood. Ia menambahkan bahwa kebebasan sipil lainnya seperti kebebasan berekspresi secara rutin diabaikan atau ditekan.
Baca: Iran Minta Jaminan ke Amerika Kalau Kesepakatan Nuklir Mau Diberlakukan Lagi
MIRROR