Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Indonesia Melawan Rencana Aneksasi Tepi Barat oleh Israel

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dengan tegas menentang rencana aneksasi Tepi Barat dan Lembah Yordan oleh Israel dalam pertemuan virtual DK PBB.

25 Juni 2020 | 13.30 WIB

Menteri Luar Negeri RI, Retno L. P. Marsudi, selama pertemuan virtual DK PBB terkait rencana aneksasi Israel atas Tepi Barat dan Lembah Yordan pada 24 Juni 2020.[Kemenlu RI]
Perbesar
Menteri Luar Negeri RI, Retno L. P. Marsudi, selama pertemuan virtual DK PBB terkait rencana aneksasi Israel atas Tepi Barat dan Lembah Yordan pada 24 Juni 2020.[Kemenlu RI]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak rencana aneksasi Tepi Barat dan Lembah Yordan oleh Israel dan menyebutnya sebagai ancaman bagi masa depan Palestina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Retno L. P. Marsudi, selama Pertemuan Terbuka Dewan Keamanan PBB (DK PBB) pada 24 Juni 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pertemuan virtual yang dipimpin Prancis selaku Presiden DK PBB untuk Juni 2020, Menlu Retno dengan tegas bertanya sampai kapan dunia menutup mata terhadap pelanggaran hukum internasional.

"Sudah terlalu lama, rakyat Palestina mengalami ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan situasi kemanusiaan yang buruk. Aneksasi Israel merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Palestina," ujar Menlu Retno, dikutip dari rilis Kemenlu RI pada 25 Juni 2020.

"Pilihan ada ditangan kita, apakah akan berpihak kepada hukum internasional, atau menutup mata dan berpihak di sisi lain yang memperbolehkan tindakan yang bertentangan dengan hukum internasional?" tanya Retno.

Menteri Luar Negeri RI, Retno L. P. Marsudi, selama pertemuan virtual DK PBB terkait rencana aneksasi Israel atas Tepi Barat dan Lembah Yordan pada 24 Juni 2020.[Kemenlu RI]

Menlu Retno memaparkan tiga alasan mengapa masyarakat internasional harus menolak aneksasi Israel.

Pertama, rencana aneksasi formal Israel terhadap wilayah Palestina merupakan pelanggaran hukum internasional. Memperbolehkan aneksasi artinya membuat preseden di mana penguasaan wilayah dengan cara aneksasi adalah perbuatan legal dalam hukum internasional.

"Seluruh pihak harus menolak secara tegas di seluruh forum internasional baik melalui pernyataan maupun tindakan nyata bahwa aneksasi adalah illegal" ujar Retno.

Kedua, rencana aneksasi formal Israel ini merupakan ujian bagi kredibilitas dan legitimasi Dewan Keamanan PBB di mata dunia internasional. DK PBB harus cepat mengambil langkah cepat yang sejalan dengan Piagam PBB.

"Siapapun yang mengancam terhadap perdamaian dan keamanan internasional harus diminta pertanggungjawabannya di hadapan Dewan Keamanan PBB. Tidak boleh ada standar ganda," papar Retno.

Ketiga, aneksasi akan merusak seluruh prospek perdamaian. Aneksasi juga akan menciptakan instabilitas di Kawasan dan dunia. Untuk itu, terdapat urgensi adanya proses perdamaian yang kredibel di mana seluruh pihak berdiri sejajar.

"Ini waktu yang tepat untuk memulai proses perdamaian dalam kerangka multilateral berdasarkan parameter internasional yang disepakati," lanjut Menlu RI tersebut.

Menlu Retno juga menyinggung kondisi pengungsi Palestina di tengah pandemi virus corona yang semakin menambah penderitaan mereka.

Bersama Tunisia dan Afrika Selatan, Indonesia memprakarsai penyelenggaraan pertemuan DK PBB ini di tingkat menteri, guna membahas rencana aneksasi Israel. Pertemuan dihadiri Sekretaris Jenderal PBB, Sekretaris Jenderal Liga Arab, UN Special Coordinator for the Middle East Peace Process, Menteri Luar Negeri Palestina, dan Menteri Luar Negeri dari beberapa negara anggota DK PBB.

Warga mengikuti demo untuk memprotes rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mencaplok bagian-bagian Tepi Barat, di Tel Aviv, Israel, Sabtu, 6 Juni 2020. Netanyahu telah menetapkan 1 Juli sebagai tanggal untuk mulai memajukan rencananya untuk mencaplok permukiman Israel dan Lembah Jordan di Tepi Barat. REUTERS/Amir Cohen

Negara-negara Arab, terutama sekutu AS Yordania, telah menyuarakan kekhawatiran bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan tetap mencaplok permukiman Tepi Barat dan Lembah Yordan pekan depan, atau sekitar 30 persen wilayah itu.

Netanyahu telah berjanji untuk memulai proses aneksasi pada 1 Juli. Namun, dukungan AS untuk langkah semacam itu tampaknya mendingin di tengah pertentangan sengit dari sekutu Amerika di Timur Tengah, meski Menlu AS Mike Pompeo menyebut menyerahkan semuanya kepada Israel.

Prihatin dengan konsekuensi setelah mengizinkan Israel untuk melanjutkan rencananya, Washington dilaporkan mempertimbangkan untuk mendukung pencaplokan hanya beberapa permukiman yang dekat dengan Yerusalem, menurut laporan Times of Israel.

Pemerintah AS dilaporkan khawatir dengan meningkatnya perlawanan terhadap aneksasi yang datang dari Yordania dan negara-negara Teluk sekutu AS yang secara diam-diam membangun hubungan dengan Israel.

Raja Yordania, Abdullah II, pekan lalu menyebut pencaplokan sepihak tidak dapat diterima selama briefing dengan anggota parlemen Amerika Serikat, dan diperkirakan akan menarik duta besarnya di AS, yang berisiko menurunkan hubungan dengan Israel dan bisa merusak perjanjian damai Israel-Yordania 1994 jika Netanyahu melanjutkan aneksasi Tepi Barat dan Lembah Yordan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus