Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM usia 57 tahun, Pangeran Norodom Sihanouk bekas Kepala
Negara Kambodia yang digulingkan Jenderal Lon Nol pada tahun
1970, tampak masih kelihatan sehat dan segar. Walaupun rambutnya
yang dipotong pendek itu sudah hampir memutih semua, dia belum
kelihatan terlalu tua. Padahal selama 4 tahun terakhir ini
Sihanouk hidup dalam pengasingan yang sebagian dialaminya dalam
tahanan rumah semasa rezim Pol Pot berkuasa di Phnom Penh.
Dia masih seperti dulu -- gaya bicaranya masih tetap dengan
hentakan. Bahkan terhadap pihak yang dianggapnya tak membantu
usaha penyelesaian konflik Kambodia, dia tak segan-segan untuk
menyerang dengan kata-kata keras. Tapi kemarahan Sihanouk --
seperti terasa dalam berbagai wawancaranya dengan wartawan --
mungkin karena kecintaannya terhadap bangsa Kambodia yang
sekarang mengalami proses kepunahan.
Mao Tse Tung pernah menyebut Sihanouk sebagai patriot Kambodia.
Karena sikapnya yang menghendaki Kambodia tetap sebagai negara
netral dalam menghadapi sisa-sisa perang dingin antara kubu
negara kapitalis dan negara komunis.
Dalam bukunya White House Years, Henry Kissinger, bekas Menlu
AS, mencatat bahwa ketika terjadi pemboman besar-besaran pada
bulan November 1969 oleh tentara AS terhadap wilayah Dak Dam,
Sihanouk menuduh Vietnam Utara sebagai biang penyebab kejadian
itu. Toh dia juga mengirimkan pernyataan protes kepada
pemerintah AS. Dalam suatu pidato beberapa hari setelah kejadian
itu Sihanouk, mengatakan "Siapa yang menjadi penyebab insiden
Dak Dam? Itu adalah Vietkong yang menembaki orang Amerika dari
wilayah kita, dan yang kemudian lari ketika Amerika membomi
wilayah kita, dan tinggallah penduduk Kambodia yang menjadi
korban."
Memang dalam lika-liku perjalanan perjuangan politiknya,
Sihanouk kadang-kadang terasa tanpa arah. Ketika AS menolak
untuk menghadiri Konperensi Jenewa mengenai netralitas Kambodia
pada tahun 1963, misalnya, Sihanouk mengancam akan memutuskan
hubungan diplomatik dengan Washington, serta akan menandatangani
pakta militer dengan Beijing dan Hanoi. Tapi ketika timbul
sengketa perbatasan dengan Vietnam Utara pada tahun 1964, dia
mencela Hanoi dan mengancam akan berunding dengan rezim Vietnam
Selatan.
Tahun 1965, Sihanouk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS
dan sejak itu dia makin dekat dengan Cina. Namun pada tahun 1967
dia berjanji akan memutuskan hubungan dengan Cina bila negara
itu tidak berusaha menghentikan 'ekspor revolusi' ke Kambodia.
Tahun 1969, Sihanouk menuduh Muangthai membantu gerakan Khmer
Serei (Khmer Merdeka) untuk mendirikan pemerintahan tandingan.
Tapi pada tahun itu juga --Sihanouk kemudian membuka kembali
hubungan diplomatik dengan AS. Dan dia memperingatkan Hanoi dan
Front Pembebasan Vietnam Selatan bahwa dia akan memutuskan
hubungan bila kaum komunis tidak menghentikan pelanggaran
terhadap perbatasan Kambodia.
Tindakannya ini terasa aneh. Tapi dalam sebuah tulisannya pada
tahun 1965 dia menyebut keanehan itu sebagai suatu 'tuntutan
logis': "Bahwa kemerdekaan dan netralitas kita harus selalu
dijaga dengan mempermainkan pengaruh luar yang saling bersaing."
Sikap serupa ini rupanya terus berlanjut Ketika Sihanouk
mengasingkan diri di Beijing -- setelah digulingkan Lon Nol --
dengan tenang dia bersekutu dengan gerilya komunis Khmer Merah
Pada masa pemerintahannya kelompok ini justru merupakan musuh
yang terus diubernya. Bahkan pernah ada seorang menteri dalam
kabinetnya bernama Khieu Samphan, tokoh Khmer Merah, yang baru
saja menggantikan Pol Pot sebagai perdana menteri. Memang
tragedi bangsa Kambodia ini tak bisa dilepaskan dari kacaunya
kepemimpinan bangsa itu.
Pangeran Norodom Sihanouk din batkan sebagai Raja Kambodia atas
perintah Prancis pada tahun 1941, ketika dia masih berusia 19
tahun. Namun demi kepentingan ayahnya, dia turun tahta pada
tahun 1955, dua tahun setelah kemerdekaan Kambodia dari Prancis.
Sejak itu dia secara langsung terjun ke gelanggang politik dan
menjabat perdana menteri. Tahun 1960, Sihanouk merangkap menjadi
Kepala Negara Kambodia.
Sihanouk pernah menggubah lagu dan menyutradarai film Le Petit
Prince. Dia memang pemimpin yang unik.
Adalah kebiasaannya setiap dua tahun sekali memeriksakan
kesehatan bersama istrinya, Monique, di Klinik Grasse, Riviera,
Prancis. Dia tetap pergi, walaupun ada ketegangan politik di
Kambodia yang mengancam kedudukannya. Beberapa hari sebelum dia
digulingkan suatu demonstrasi anti-Vietnam dan Vietkong mulai
berkecamuk di Phnom Penh. Kenyataan ini rupanya tak membuat
Sihanouk tergoda untuk pulang.
Jean Sainteny pernah makan siang dengan Sihanouk di Paris pada
hari-hari berkecamuknya demonstrasi di Phnom Penh. Orang itu
bercerita kepada Kissinger bahwa Sihanouk sebenarnya akan pulang
ke Phnom Penh. Tapi dia merubah pikirannya karena permintaan
istrinya yang bermaksud mengunjungi anak mereka di Praha dan
Beijing. Bahkan ketika dia di Moskow -- setelah dari Paris --
Presiden Podgorny sempat menasihatinya agar segera kembali ke
Phnom Penh.
Akhirnya, 18 Maret 1970, Sihanouk digulingkan Lon Nol. Pada hari
itu dia meninggalkan Moskow menuju Beijing. "Lon Nol adalah
satu-satunya orang yang saya percaya karena pengabdiannya kepada
kerajaan dan bangsa," kata Sihanouk. Tapi dalam bukunya My War
With the CIA Sihanouk menulis bahwa dia digulingkan Lon Nol
dengan bantuan ClA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo