Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Berita Tempo Plus

Jalan Buntu di Jantung Serbia

Setelah hampir dua bulan dilanda serangan udara NATO, nasib Kosovo kian terjepit di antara keinginan Yugoslavia dan tuntutan pihak Barat.

17 Mei 1999 | 00.00 WIB

Jalan Buntu di Jantung Serbia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Barang siapa berdarah Serbia atau bertumpahdarahkan tanah Serbia,
namun tak berangkat ke Kosovo Polje
bertarung melawan bangsa Turki,
hendaklah ia tak diberkati keturunan, lelaki maupun perempuan.
Hendaklah ladang-ladangnya tak pernah dihiasi bulir-bulir musim panen…."
Inilah balada yang diserukan Knez Lazar pada malam menjelang pertempuran melawan Turki, di Kosovo, nun jauh di masa silam. Lazar adalah pangeran sekaligus pahlawan bagi bangsa Serbia. Ia dipuja sebagai martir gagah berani yang gugur dalam peperangan itu. Namun, mitos kepahlawanannya tak pernah berhenti merasuki kenangan orang Serbia. Namanya adalah bagian dari tradisi dongeng dan mitos yang dituturkan bangsa Serbia, dan tetap dituturkan di sela-sela gelegar bom serangan udara NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang membumihanguskan Yugoslavia sepanjang pekan-pekan ini. Dentuman bom dan meriam di Kosovo seolah membangkitkan kembali kebesaran Knez Lazar—setelah berabad-abad tenggelam dalam kekuasaan Ottoman Turki, pengaruh Islam Albania dan Yugoslavia—sebuah kekuatan patriotik yang amat disadari Presiden Republik Federasi Yugoslavia, Slobodan Milosevic. Pada 28 Juni 1987—600 tahun sejak hari matinya Lazar—di depan lautan massa yang mengelu-elukannya di ibu kota Kosovo, Pristina, Slobodan mengacungkan jarinya ke udara, lalu memekik, "Tak seorang pun akan pernah mengalahkan kita di tanah ini lagi. Tidak sekali-kali!" Massa menjerit histeris sembari bertempik-sorak. Maka, lahirlah Milosevic sebagai "martir" modern dan pahlawan baru Serbia. Dua tahun kemudian, ia membubarkan hak-hak otonomi Kosovo, yang sudah diberikan Presiden Tito sejak 1945. Ia juga berhasil menanamkan pikiran ini ke seluruh negeri: "Mengapa para pendatang muslim, yang menyambangi tanah kita 300 tahun lampau di Kosovo, Old Serbia, jantung hati tanah air kita, harus diberi otonomi?!" Begitulah yang dilaporkan Robert D. Kaplan, penulis sejarah, dalam bukunya Balkan Ghosts, A Journey through History. Sejak Tito berkuasa, Provinsi Kosovo memang mendapat berbagai hak otonomi, menenggang kehadiran mayoritas muslim Albania. Pertimbangannya, inilah jalan menyatukan aspirasi etnis Albania dan Serbia. Idealisme Tito terbukti rontok di tangan Slobodan, yang mengagungkan kebesaran Serbia lama. Ironisnya, tekad yang diserukan di Pristina pada 1987 ternyata juga sia-sia. Serbia kini dihancurleburkan di tanahnya sendiri oleh bom-bom NATO, sebagai reaksi atas "politik pembersihan etnis" Slobodan Milosevic. Ratusan ribu pengungsi mengalir ke negara-negara tetangga, melarikan diri dari aksi pembersihan etnis oleh tentara Serbia—sebuah tuduhan yang ditentang keras pemerintahan Slobodan Milosevic di Yugoslavia maupun perwakilannya di seluruh dunia. Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Federasi Yugoslavia untuk Indonesia, Dusan Stojkovic, misalnya, mengatakan: "Pembersihan etnis tak pernah ada dalam kebijakan pemerintah Yugoslavia, dulu maupun sekarang." Macetnya perundingan antara Yugoslavia, pihak Barat, dan Tentara Pembebasan Kosovo membuat negeri kecil ini kian terjepit dalam berbagai kepentingan dan arogansi para pemimpin. Namun, pekan ini, seperti ada cahaya samar-samar dalam kegelapan Kosovo. Pada 10 Mei 1999, pihak militer Yugoslavia mengeluarkan pernyataan pers mengenai penarikan mundur pasukan dari Kosovo. Tiga hari kemudian, 120 orang tentara beriringan dalam bus dan truk meninggalkan kawasan itu. Reaksi NATO? Tuntutan pakta militer ini tak berubah: "Penarikan seluruh pasukan, pengembalian 750 ribu pengungsi Albania ke Kosovo, serta penempatan pasukan penjaga perdamaian internasional," seperti dikutip Associated Press. Sementara itu, ribuan orang tewas terbunuh dan terluka sepanjang serangan udara NATO. Peperangan bukanlah medan baru bagi Kosovo. Namun, pertempuran kali ini berkobar lebih panas hingga mereka yang terlibat seolah terjebak di jalan buntu. Negeri ini seperti terkena tulah, lebih dahsyat dari sumpah yang diserukan Knez Lazar, pahlawannya, enam abad lampau. Kosovo bukan hanya kehilangan panen terbaik dari ladang-ladangnya, tapi juga kehilangan hampir seluruh generasi anak-anak dan remaja, tempat negeri itu bertumpu harapan di masa depan. Hermien Y. Kleden, Ahmad Fuadi

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus