Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMAM yang dibawa Menlu Amerika Serikat George Shultz dari
Beirut sembuh seketika begitu tiba di Yerusalem. Apa pasal? Ia
begitu girang mendengar Kabinet Perdana Menteri Menachem Begin
menyetujui rencana AS mengenai penarikan mundur pasukan asing
dari Libanon.
Usaha Shultz membujuk Israel menarik 25.000 tentaranya dari
Libanon bahkan sudah maju lagi selangkah. Pekan lalu, perutusan
Israel, Libanon, dan AS yang berunding di sebuah hotel di
Netanya, kota pantai yang terletak sekitar 35 km dari Tel Aviv,
sudah memberi isyarat akan berakhirnya pertemuan mereka. "Kami
bertekad untuk merampungkan draft perjanjian secepatnya sehingga
bisa ditandatangani segera," kata perutusan AS Morris Draper.
Dua rekannya yang lain di meja perundingan adalah David Kimche
(Israel) dan Antoine Fattal (Libanon).
Dari Yerusalem, Shultz terbang menemui para pemimpin Arab di
Suriah, Yordania, dan Arab Saudi. Tapi hasil serupa tak bisa
dipetiknya -- terutama dari Suriah yang menempatkan sekitar
40.000 prajurit di bagian utara dan selatan Libanon sejak 1975.
Ketika bertemu Presiden Hafez Assad, dua pekan lampau, dan ini
merupakan kunjungan pertama seorang menlu AS tempo enam tahun
terakhir, Shultz disambut dingin. "Untung mereka tidak sampai
menutup pintu," ujar seorang pejabat yang menyertai Shultz.
Dari Suriah, hari itu juga, Shultz terbang ke Arab Saudi,
Israel, dan kembali ke Libanon. Setelah singgah di Jeddah, dan
bertemu dengan Menteri Pertahanan Arab Saudi Pangeran Sultan,
baru Shultz tampak berbesar hati lagi. Pemimpin Arab itu
kelihatan memahami rencana menlu AS tersebut. Dan, konon,
Pangeran Sultan bersedia membujuk Suriah, yang mendapat bantuan
dari Arab Saudi sebesar US$ 750 juta setahun, untuk menarik
pasukannya dari Libanon. Tekanan terhadap Suriah juga diharapkan
AS dari Mesir dan Yordania.
Selang sehari setelah Shultz meninggalkan Jeddah, Hafez Assad
terbang ke Riyadh, ibu kota Arab Saudi, dan bertemu dengan Raja
Fahd. Kedua pemimpin itu mengadakan tiga kali pembicaraan dalam
tempo 24 jam. Tidak ada keterangan terperinci. Tapi menurut
kantor berita resmi Suriah, SANA, Assad berusaha merayu Fahd
mendukung oposisinya terhadap rencana Shultz.
Faktor Suriah dalam soal penarikan mundur pasukan asing dari
Libanon tampak menentukan. Menlu Yitzhak Shamir telah
mencanangkan di depan parlemen Israel Knesset: "Israel bebas
bertindak menurut keperluannya bila Suriah dan PLO menolak
mundur dari Libanon." Dalam pada itu AS, menurut seorang pejabat
senior departemen luar negeri, "secara resmi menerima kehadiran
pasukan Israel selama Suriah masih bercokol di Libanon."
Dalam usaha membujuk Assad, Menlu Libanon Elie Salem tidak ragu
membuang langkah ke Damaskus. Enam jam ia berbicara dengan
presiden serta pejabat tinggi Suriah lainnya. Tapi ketika
kembali ke Beirut, Salem, yang tampak murung ketika turun dari
tangga pesawat, tak berhasil dipancing para wartawan.
Di Damaskus, Menlu Suriah Abdel Halim Khaddam bicara tanpa
tedeng aling-aling. "Kami menolak persetujuan itu," katanya,
"baik dalam bentuk maupun isinya." Ia tidak lupa menyebut usaha
Shultz sebagai "mengurangi kebebasan dan keamanan Libanon,
menempatkan negeri itu di bawah dominasi Israel dan kaum
imperialis, serta merupakan bahaya terhadap keamanan Suriah."
Para diplomat Arab dan Barat di Damaskus sangsi, apakah AS masih
mungkin melancarkan upaya damai di kawasan ini, paling tidak
dalam waktu singkat mendatang.
Tapi Menlu George Shultz, yang sudah kembali ke Washington,
dilaporkan masih optimistis. "Saya yakin Suriah pada akhirnya
nanti menyetujui penarikan mundur pasukannya dari Libanon," kata
Shultz.
Sementara itu dari Damaskus dan Yerusalem mulai terdengar
sesumbar sumbang. Menlu Abdel Halim Khaddam sudah membayangkan
sebuah "perang baru" antara Suriah dan Israel.
Dari Yerusalem, Menteri Pertahanan Moshe Arens segera memberi
tanggapan. "Suatu perang dengan Suriah memang menjadi semakin
mungkin," katanya. Ia lalu menyebut "persiapan intensif" yang
sedang berlangsung di Suriah. Menurut sumber Barat, Uni Soviet
baru saja mengirimkan 4.500 penasihat militer ke Damaskus,
menyusul sejumlah roket dan pesawat terbang.
Sumber Barat juga menyebut masuknya sekitar 2.000 pejuang
Palestina ke Libanon, lewat Suriah, dalam minggu-minggu terakhir
ini. Di antaranya, konon, terdapat kesatuan yang meninggalkan
Beirut musim panas lalu. Sebelum pasukan ini datang, masih
sekitar 6.000 sampai 10.000 prajurit PLO bertahan di Libanon.
Juru bicara Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, Bassam Abu
Sharif, membantah berita itu. "Mereka sudah ada di Lembah Bekaa
sejak evakuasi dari Beirut September lalu," katanya. Melalui
kantor berita PLO, Wafa, pemimpin PLO Yasser Arafat minta para
pejuang Palestina untuk siaga di Lembah Bekaa menghadapi
kemungkinan serangan Israel terhadap Suriah.
Keadaan di Libanon bertambah rawan dengan tindakan Kedutaan
Besar Uni Soviet mengungsikan para anggota keluarganya dari
Beirut. Sampai Senin lalu sudah sekitar 163 orang, sebagian
besar wanita dan anak-anak, meninggalkan negeri itu dengan
pesawat Aeroflot. Banyak yang menafsirkan pemberangkatan ini
sebagai isyarat pecahnya perang baru di Timur Tengah. Tapi,
menurut Dubes Soviet di Beirut, Alexander Soldatov, para
keluarga itu pulang untuk "liburan musim panas".
Akankah perang meletus lagi di Libanon? Bukan mustahil. Apalagi
Ahad lalu pemimpin PLO Yasser Arafat sudah menyerukan perang
terhadap Israel dan Amerika. "Perang yang efektif merupakan
satu-satunya jalan menyusun kembali peta Timur Tengah," kata
Arafat, seperti disiarkan Wafa. Pada hari yang sama, Menlu Suri
Abdel Halim Khaddam menatakan, Arab Saudi akan membantu Suriah
secara militer bila negeri ini diserang Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo