Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH pengembara Darwish bisa tidur bersama di sebuah permadani., taoi dua raja tidak dapat memerintah sebuah kerajaan,"Ini pepatah Persia. Pada saat jenazah Imam Khomeini dimakamkan di perkuburan Golzar-e Shohad (Kebun Bunga para Syahid) di Qom, Selasa siang ini, pepatah itu diuji kembali. Apa setelah kepergiannya, Iran akan diperebutkan dua penguasa (atau lebih) sehingga kondisi negeri mullah itu jadi kacau? Iran sering sulit diramalkan. Sepeninggal Khomeini, orang menduga posisi kunci masih di tangan Ahmad Khomeini, Rafsanjani, dan presiden Ali Khamenei -- yang resmi dipilih sebagai pengganti Imam. Hojatuleslam Ali Khamenei, yang dua kali terpilih jadi presiden, belum seorang fakih (ahli hukum Islam) sekaliber Imam Khomeini. Tapi ia disukai banyak orang. Itu sebabnya ada dugaan: jabatan pimpinan agama tertinggi (Wali Faqih) dipegang Khamenei sampai Agustus mandatang, ketika Iran mengadakan referendum untuk perubahan konstitusi dan pemilihan presiden. Artinya, Wali Faqih yang diembankan Khamenei hanya mengisi kekosongan antara meninggalnya Wali Faqih Imam Khomenei dan datangnya masa referendum. Gelar Khamenei cuma Hojatoleslam menjadikannya tidak sekuat ayatullah. Padahal, di Iran masih ada beberapa ayatullah, bahkan juga ada ayatullah uzma, yang punya kedudukan amat tinggi dalam konsep negara Wilayat Faqih. Dan pemegang mandatnya harus berbudi luhur -- dengan segala kesempurnaannya -- bahkan bisa menjadi pemimpin militer. Khamenei sendiri tampaknya tak seberapa berambisi untuk tetap di atas. Suatu kali, bekas guru yang dikenal sebagai pengagum Iqbal dan penterjemah buku-buku Ikhwanul Muslimin ke bahasa Persia itu ditanya orang, apa keinginannya sesudah berakhir dua masa jabatan kepresidenannya nanti. Dengan sederhana, lelaki berserban hitam itu menjawab,"Kalau boleh, saya ingin kembali mengajar di sekolah." Rupanya, ia lebih merupakan seorang ilmuan ketimbang politisi. Agaknya, para anggota Dewan Ahli (Majelis Khubregan) memilih Khamenei pada pertemuan darurat segera sesudah wafatnya Imam Khomeini. Sebetulnya sejak 24 April lalu 25 orang, dari 83 anggota Dewan Ahli yang dipilih Khomeini pada 1982, telah menyiapkan draf amandemen perubahan Konstitusi -- termasuk penentuan kriteria [emimpin Wilayat Faqih pada referendum Agustus nanti. Adapun Dewan Ahli, yang pada 1985 pernah memilih Ayatullah Montazeri sebagai calon pengganti Khomeini, tidak lain sebuah lembaga konstitusional yang hanya bertugas memilih Wali Faqih sepeninggal Imam Khomeini. Diketuai Ayatullah Ali Mashkini (dengan wakil Rafsanjani dan Ayatullah Ibrahim Amini) Dewan Ahli diharapkan jadi katup pengaman perjalanan suksesi kepemimpinan Iran. Selain Dewan Ahli, konstitusi republik Islam Iran menetapkan adanya Dewan Perwalian (Syura-e Nigahban) yang beranggotakan 6 ahli hukum dan 6 pukaha, ahli hukum Islam. Tugas utama Dewan Perwalian yang sekarang diketuai Ayatullah Muhammad Mahdavi-Kani ini mencegah munculnya undang-undang yang bertentangan dengan akidah Islam, dan mengontrol jalannya pemilu. Dengan perantara seperti itu, sementera pihak beranggapan bahwa masalah penggtian Khomeini bukanlah suatu persoalan besar bagi Iran. Tapi ada yang tetap beranggapan bahwa Iran segera mengalami chaos berhubung tak ada seorang ayatullah yang memiliki wibawa dan karisma seperti Khomeini. Yang jelas, banyak yang menduga: dalam referendumnanti jabatan Wali Faqih kemungkinan tak akan diserahkan pada seorang saja, melainkan pada tiga ulama yang kini punya posisi kuat di Iran. Mereka adalah Ketua Dewan Ahli, Ali Meshkini, Ketua Dewan Perwalian, Muhammad Mahdavi Kani, dan Ketua Organisasi Propaganda Islam, Ayatullah Ahmad Jannati. Selain mereka, sebetulnya masih ada beberapa ayatullah lain yang tak lagi aktif di kancah politik, seperti Ardebili, Ahmad Azari Qomi, ayatullah Uzma Marashi, ayatullah Uzama Golpayeghani, ayatullah Uzma Tabatabi Qomi, Sadeq Rouhani, dan, jangan lupa, ayatullah Hossein Ali Montazeri. Para ulama itu kini libih banyak mengajar di pesantrennya ketimbang mengurusi politik. Semantara suasana politik Iran akan dihangatkan dengan datangnya masa pemilu. Dan Rafsanjani sebagai calon yang belum disingi kepopulerannya. Lebih lagi, sesudah dua kelompok ulama paling berpengaruh di Iran mendukungnya. Kelompok pertama, para ulama Moderat-progresif yang disebut Ruhaniyyat-i- Mubarriz. "Baik Ruhaniyyun maupun Ruhaniyyat mendukung Rafsanjani," ujar sumber TEMPO. Tapi Iran tetap sebuah fenomena yang sering berjalan menurut hukumnya sendiri. Siapa tahu nama-nama yang sudah tidak seberapa diperhitungkan lagi, seperti Montazeri, tiba-tiba muncul kembali.Syfiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo