Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Amsterdam -Ratusan warga Indonesia berduyun-duyun memenuhi ruang salat Ied di lantai 2, gedung sekolah pada Jumat pagi, 17 Juli 2015. Perhimpunan Pemuda Muslim Eropa Amsterdam (PPEM) menyewa gedung sekolah yang terletak di jalan Saaftingestraat 312-1069 BW Amsterdam. Sebagian besar warga yang datang mengenakan baju gamis khas lebaran.
Salat Ied dan ceramah berlangsung selama 1 jam yang dipimpin ustadz Azhari Mulyana. Saat ditanya, mengapa waktu salat terlambat hingga 20 menit, menurut Hansyah, ketua PPME Amsterdam, hal itu memang disengaja.
“Soalnya, memberi kesempatan warga untuk melakukan persiapan salat, dan mungkin juga ada yang datang dari jauh. Dan kami memang setiap tahunnya begitu. Pengumuman dibuat jam 9 pas dan ibadah baru dimulai 15- 20 menit kemudian. Jadi Itu memang disengaja, bukan telat”, ujar Hansyah tersenyum.
Jumlah warga yang datang salat Ied tahun ini,menurut Hansyah, diluar dugaan. Yakni mencapai sekitar 1.400 orang. Jumlah karpet yang disiapkan panitia,tidak mencukupi. Sehingga sebagian warga ada yang terpaksa duduk diatas ubin. Saking banyaknya warga yang datang, sebagian orang terpaksa harus duduk di teras balkon. Karena cuaca cukup hangat hari ini, sekitar 24 derajat celcius, panitia pun sudah menyiapkan puluhan kipas angin kecil yang dipasang di dinding ruangan. "Hal ini sudah diantisipasi panitia,' ujar Hansyah.
Selain warga yang salat, ada juga beberapa warga yang terlambat datang, tidak langsung naik ke atas. Tapi malah menikmati sajian makan dan minum seperti kopi, teh dan air mineral yang disediakan panitia di ruang tunggu. Ada yang sambil mendengarkan kotbah melalui layar yang memang dipasang di ruang makan, ada juga yang sambil bercengkrama.
Usai salat Ied, sebagian besar jemaah turun melalui satu-satunya tangga yang lumayan sempit menuju ke ruang makan. Begitu menuruni tangga, warga sudah disambut dengan aneka kue khas Indonesia, seperti pisang goreng, bolu kukus, apem, martabak dan lainnya.
Selanjutnya, warga diarahkan untuk mengambil makanan. Menu yang disediakan panitia adalah lontong sayur daging, telur dan kerupuk. Makanan itu sudah disiapkan dalam kotak plastik dengan ukuran sedang. Warga dengan tertib mengantri untuk mengambil makanan dan juga minuman.
Dalam kesempatan itu, banyak warga yang melampiaskan rasa rindu dengan ngobrol dan foto bersama teman dan kerabat sambil menikmati hidangan. Speaker yang tadi digunakan untuk ceramah di lantai bawah, digunakan untuk memutar lagu- lagu bernafaskan suasana Lebaran. Sebagian warga bercengkrama di luar gedung sambil merencanakan akan mengunjungi beberapa pemuka agama ( pengurus mesjid Al Ikhlash) yang pada hari itu open house.
Bersama seorang warga Indonesia, Tempo mengunjungi rumah Muzayin dan Mutia. Keduanya tinggal di apartemen di Pieter Calandlaan nomor 366 Amsterdam laylaand. Lokasinya tak jauh dari gedung yang dipakai untuk salad ied tadi. Sekitar 10 menit naik mobil.
Pemilik rumah menyediakan suguhan tape uli dan ketan hitam. Berbagai makanan khas kampung juga sudah disiapkan tuan rumah di atas meja. Tak sampai 10 menit, ruang tamu dan teras sudah dipenuhi kerabat dan kenalan yang mayoritas memang anggota PPME Amsterdam.
Kedua suami istri ini sudah puluhan tahun tinggal di Belanda dan menjadi pengurus aktif dalam kegiatan komunitas muslim di PPME. Misalnya aktif dalam kegiatan majelis taklim dan mengajar mengaji serta kegiatan ceramah. Seperti sudah tradisi, memang setiap tahunnya mereka mengadakan open house saat Lebaran.
Sekitar 40-45 orang memenuhi apartemen Muzayin dan Mutia. Ruang tamu berukuran tak lebih dari 35 meter, ditambah balkon di belakang rumah sudah dipenuhi tamu. Mungkin tak banyak yang tahu, Muzayin adalah keponakan Presiden Indonesia tahun 1999-200, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Seorang warga Indonesia, Mutty Mashudi mengatakan, ia merasakan suasana Indonesia di rumah Muzayin. Selain senda gurau di antara warga Indonesia, juga makanan kampung selalu ada di rumah ini. Misalnya rengginang, kerupuk gadung, rujak petis, bakso dan kue nagasari.
“Suasana yang dibangun disini, paling tidak bisa mengobati rasa rindu kampung halaman," jelas Ongla Ris sambil mencicipi tape uli dan ketan hitam kesukaannya. Ongla Ris yang menetap di Belanda 20 tahun lalu ini mengaku wajib menyambangi rumah Muzayin dan Mutia karena mereka layaknya orang tua pengganti di negeri orang.
YUKE MAYARATIH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini