Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Miskin tapi Diperlukan

Aliansi Utara menguasai kurang dari 10 persen wilayah Afganistan, memiliki persenjataan yang menyedihkan, dan tanpa fasilitas komunikasi modern. Apakah Amerika meliriknya hanya karena tak ada pilihan lain?

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN berwarna merah bata itu kusam tersaput debu. Dari beranda yang terbalut karpet panjang, terlihat halaman rumah yang gundul—dihiasi sedikit rumput kecokelatan yang merana oleh sengatan matahari. Angin dingin mulai bertiup bersama tibanya musim gugur. Toh, pada siang hari, udara Peshawar—sekitar 54 kilometer dari perbatasan selatan Afganistan—masih saja mendidih seperti periuk air di atas bara. Debu beterbangan, memerahkan mata, dan membuat tenggorokan berkarat. Apalagi dalam kawasan kumuh macam perkampungan pengungsi di Kota Lama, dekat Khyber Bazzar. Tapi, tanpa peduli pada panas dan debu, tampak orang ramai terus-menerus mendatangi rumah merah bata itu. Berbaur dengan tamu lain, wartawan TEMPO Ahmad Taufik ikut masuk dan menyalami tuan rumah, seorang pria berjanggut putih kecokelatan, yang tengah bersandar di sebuah kursi bambu, pada Jumat silam. Dia adalah Qasi Muhammad Amin, 58 tahun, mantan menteri telekomunikasi (pada pemerintahan Presiden Burhanuddin Rabbani)—yang disingkirkan oleh penguasa Taliban pada 1996. Dikenal sebagai tokoh mujahidin, Muhammad Amin mengaku hidup dengan satu cita-cita: melucuti kekuasaan Taliban. "Mereka harus ditendang keluar dari Afganistan," ujar Direktur Komite Militer Ittihad Islami Mujahid itu kepada TEMPO. Melucuti kekuasaan Taliban bukan cuma impian Muhammad Amin atau kaum mujahidin. Pihak oposisi yang tergabung dalam Aliansi Utara—yang populer juga dengan nama Front Persatuan—sudah mencanangkan tekad ini lima tahun silam, sejak penguasa itu naik takhta setelah melorotkan kekuasaan Presiden Rabbani. Tadinya berjuang sendirian, aliansi itu tiba-tiba mendapat teman-teman seiring yang bukan main-main. "Nasib baik" itu datang selepas tragedi akbar yang melanda New York dan Washington pada Selasa, 11 September lalu, yang melenyapkan 6.000 lebih nyawa. Usamah bin Ladin segera dituding sebagai dalang peristiwa itu. Dan pemerintah Amerika Serikat bersumpah akan memburunya hingga ke liang mana pun di Afganistan—negeri yang dicurigai menyembunyikan Usamah. Tak mengherankan jika para diplomat negara adikuasa itu memerlukan pertemuan dengan para pemimpin kelompok oposisi yang tadinya tak mereka pandang sebelah mata pun. Kelompok yang minor itu kini seakan menjadi kawan seiring dari utara bagi Amerika. Bahkan, mantan Raja Afganistan, Zahir Shah, 86 tahun, tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya dan merasa perlu meneguhkan pertaliannya dengan pemimpin oposisi "dari Utara". Kamis pekan lalu, sang Raja muncul di halaman kediaman pribadinya—sebuah vila berwarna broken white yang dijalari aneka tanaman rambat—di Roma. Dalam setelan double breast berwarna biru tua, berlapiskan jas luar cokelat gelap, Pak Tua menerima tamu-tamu dari jauh: serombongan diplomat yang dikirim Presiden George W. Bush dari Washington. Sebelumnya, Zahir Shah telah berjumpa dengan tokoh-tokoh oposisi yang datang dari Afganistan untuk suatu pembicaraan khusus. Dalam wawancara dengan mingguan Newsweek pekan lalu, ia berkata, "Aliansi kecil ini sulit untuk menang. Kami harus mengembangkan suatu aliansi yang lebih luas untuk membangun suatu gerakan bersama yang kuat." Zahir Shah memang tepat betul menggambarkan kekuatan Aliansi Utara yang lemah dari segi kekuatan pasukan—apalagi persenjataan. Prajurit-prajurit dari kawasan utara memang terkenal berani dan mahir berperang. Cuma, modal mereka sungguh minim—untuk tidak menyebutnya menyedihkan: berjalan kaki menyusuri gunung dan lembah, mereka hanya menyandang senjata-senjata ringan. Para laskar itu juga praktis tak mendapat latihan formal militer dan tanpa dukungan persenjataan udara. Abdul Nabi, 22 tahun, mengaku kepada The Economist betapa ia dan 56 anak buahnya harus selalu bersesakan dalam satu truk. Sementara itu, para tentara Taliban mondar-mandir dalam jip-jip Datsun. Sampai-sampai seorang tokoh militer senior Aliansi Utara berkata, "Kami mampu mengatasi Taliban dalam perang darat. Tapi mereka kemudian menghantam kami dengan bom-bom." Tentara Aliansi Utara juga tak bisa banyak mengharapkan dukungan penduduk—yang tak kalah miskinnya. Mari kita lihat pemandangan di Faizabad, ibu kota Provinsi Badakhshan. Terletak di timur laut Afganistan, kota dengan sekitar 100 ribu penduduk itu seolah memikul kutukan dari masa silam. Listrik sudah putus selama 10 tahun terakhir. Sekitar seribu televisi tua di kota itu harus disetel dengan bantuan generator atau aki mobil. Dan jangan coba-coba mencari kafe internet. Di seluruh Faizabad cuma ada 600 pesawat telepon kuno—dioperasikan seorang pegawai yang bergaji US$ 20 per bulan atau setara dengan Rp 200 ribu. Selebihnya adalah absurditas untuk ukuran kota modern: tidak ada kantor pos, kendaraan umum, bank, sumber air minum, koran, bank, dan jalan beraspal. Dan jangan pernah bertanya soal museum, perpustakaan kota, atau gedung teater. Di musim dingin, penduduk harus berterima kasih kepada rombongan keledai yang mengangkut potongan-potongan kayu dari hutan untuk disulap menjadi sumber pemanasan. Maka, berita kedatangan Amerika tiba-tiba terdengar merdu. Sebab, di atas kertas, Aliansi Utara seolah merengkuh dua pulau sekali dayung: digerojoki bantuan militer dan kemanusiaan sekaligus mendapat bantuan tenaga untuk mengusir Taliban. Kekuatan Taliban—yang tak bisa mereka lawan selama lima tahun terakhir—bukan hanya dari segi persenjataan, sarana, dan garis komando militer. Penguasa Afganistan itu juga didukung oleh sebagian besar etnis terbesar Afganistan: Pashtoon, yang meliputi 60 persen dari seluruh populasi. Bahkan, orang-orang Pashtoon di Pakistan, misalnya, tetap saja menunjukkan kesetiaan kepada pemimpin mereka. Sementara itu, pilar utama Aliansi Utara hanyalah tiga suku kecil di utara: Tajik, Hazara, dan Uzbek. Dalam hal kepemimpinan, garis komando tertinggi Taliban ada di tangan Mullah Mohammad Omar, menantu Usamah bin Ladin. Sedangkan Aliansi Utara baru saja kehilangan pemimpin utamanya. Analisis The Economist menyebutkan, sejak Ahmad Shah Masood dibunuh Taliban bulan silam, belum muncul pemimpin yang bisa menandingi karisma "Singa Lembah Panjshir" itu—begitulah julukan Masood—kendati ada nama seperti Ismail Khan, figur pemimpin koalisi (dikenal sebagai gerilyawan legendaris) yang moderat dari Afganistan Barat. Lahir pada 1992, Aliansi Utara di masa invasi Uni Soviet sebetulnya pernah bahu-membahu dengan Taliban untuk mengusir Soviet dan merontokkan rezim boneka Presiden Najibullah yang prokomunisme. Pendiri aliansi ini antara lain Ketua Angkatan Milisi Najibulah, Jenderal Abdul Rashid Dostum, serta Ketua Partai Jamaah al-Islamy, Ahmad Shah Masood. Setelah musuh pergi, Rabanni turun, dan Taliban berkuasa, dis-integrasi kembali merebak. Kawan-kawan seiring di masa invasi Uni Soviet itu pecah. Aliansi Utara terbentuk dalam sebuah ikatan yang ringkih. Mengapa? Tidak ada pemimpin tertinggi karena semua suku memiliki pemimpin masing-masing. Toh, menurut analis politik Asia Tengah dari Universitas Kairo, Makram Muhammad, aliansi kecil itu kini punya posisi di atas angin. "Taliban, yang menjadi musuh mereka, sedang ditekan oleh negara dari berbagai belahan bumi," ujarnya kepada TEMPO. Ia menambahkan, dalam situasi seperti ini, Amerika dan Aliansi akan sama-sama berusaha mengambil keuntungan dari hubungan mereka. Urusan "barter keuntungan" ini sudah jelas. Tuan-tuan pemimpin dari Amerika tentu berharap pihak oposisi bisa membuka pintu halaman mereka sebagai jalan masuk ke Afganistan. Wartawan Time Johanna McGeary menulis, Aliansi bisa menyediakan pangkalan-pangkalan yang aman bagi Amerika. Dan sembari Amerika melacak keberadaan Usamah bin Ladin, tentara Aliansi bisa menghambat laju tentara Taliban. Sebaliknya, Amerika harus membalas "kebaikan" Aliansi dengan logistik, pesawat tempur, dan persenjataan udara. Makram Muhammad bahkan menghitung, barter kepentingan itu akan terus berlanjut jika Taliban dapat dirontokkan kekuatan gabungan ini. "Tidak ada yang gratis. Kalaupun Amerika bisa mengembalikan kekuasaan oposisi, mereka harus tunduk pada kebijakan-kebijakan Washington," paparnya. Perjalanan menuju barter itu sedang terjadi. Seribu personel pasukan darat elite AS dari Divisi Gunung ke-10 sudah meluncur ke Uzbekistan, Jumat pekan lalu. Negeri itu berbatasan langsung dengan "pintu-pintu utara" yang dikuasai kaum oposisi. Dan betapa cepatnya sejarah berbalik: dua dasawarsa silam, Amerika dan para laskar utara bergandeng tangan di pintu yang sama untuk memukul lawan—yang kini menjadi kawan—Uni Soviet, yang kini sudah terpecah-pecah. Posisi geografis, penguasaan medan, dan permusuhan "primordial" dengan selatan adalah kekuatan aliansi kecil itu yang kini dilirik Amerika dengan penuh minat. Aliansi tampaknya bukan sekadar "pilihan terpaksa"—meski kelengkapan perangnya nyaris masuk museum. "Mereka tahu lekak-lekuk negeri itu," ujar Menteri Pertahanan Amerika, Donald Rumsfield, seperti yang dikutip Time. Derajat Aliansi Utara kian terdongkrak setelah mereka setuju duduk dalam Loya Jirgha yang dibentuk di Roma pada 1 Oktober lalu atas usul Raja Zahir Shah. Dewan ini adalah majelis agung yang mewakili semua kelompok etnis dan suku di Afganistan. Majelis ini akan memilih kepala negara dan pemerintahan sementara. Pemerintahan Taliban sampai hari ini belum mendapat pengakuan resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pakistan adalah satu-satunya negara di dunia yang punya hubungan diplomatik dengan pemerintah Taliban. Lagi pula, Loya Jirgha tampaknya juga bukan tanpa gigi sama sekali. Jika hasil jajak pendapat yang dibiayai Departemen Luar Negeri Amerika baru-baru ini bisa dijadikan rujukan, mantan raja itu didukung oleh 51 persen penduduk Afganistan. Angka ini menjulang jauh di atas pamor pemimpin Taliban Mohammad Omar. Sang Mullah cuma mendapat 11 persen suara. Apakah semua fakta ini membuat Taliban kian cermat berhitung? Sabtu silam, kantor berita Reuters menyiarkan berita menarik: Taliban akan membebaskan delapan pekerja sosial asing yang mereka sandera beberapa waktu silam (lihat TEMPO Edisi 20-26 Agustus 2001). Syaratnya? Amerika harus menghentikan ancaman serangan militer. Mullah Mohammad Omar juga memerintahkan pembebasan wartawan Sunday Express of London, Yvonne Ridley, yang ditahan sejak 28 September lalu. Apakah seruan di atas merupakan tanda-tanda awal menuju sebuah antiklimaks? Entahlah. Yang pasti, kapal-kapal induk Amerika masih berlabuh di perairan Arab Saudi. Anggota pasukan darat elite baru saja mendarat di Uzbekistan. Dan hari-hari ini, televisi sibuk menyiarkan pasukan Inggris yang berlatih bersama anggota militer setempat di Oman. Seluruh dunia memang seperti menudingkan jari dengan mata bernyala-nyala ke Kabul, jantung Afganistan. Sementara itu, Mullah Mohammad Omar serta orang-orangnya bisa jadi mengirim sinyal lembut cuma untuk mengulur waktu untuk merapatkan barisan. Tapi, siapa tahu, pemimpin Taliban itu tiba-tiba tersentuh oleh kidung keselamatan bagi Afganistan yang biasa di-lagukan para penggembala Taliban di malam-malam musim gugur. Atau nasihat para pemimpin intelijen Pakistan yang selama ini mendukung Taliban mulai didengar? Semua itu hanya spekulasi belaka. Yang jelas, dari Italia, Raja Zahir Shah telah mengirimkan doa untuk tanah airnya. Ia berkata, "Negeri kami telah terlampau lama menderita. Mudah-mudahan Allah mengembalikannya ke jalan yang damai." Hermien Y. Kleden (Jakarta), Ahmad Taufik (Peshawar), Zuhaid el-Qudsy (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus