Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Misteri kal 858 dan hachiya

Pesawat kal 858 rute baghdad-seoul menghilang di perbatasan burma-muangthai. korea selatan menuduh korea utara sebagai biang malapetaka. ada dua orang berpaspor jepang yang dicurigai.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT puluh menit menjelang pendaratannya di Bangkok -- untuk mengisi bahan bakar -- Korean Airline dengan nomor penerbangan KAL 858 lenyap ditelan misteri. Siang itu, Ahad pekan lalu, kontak terakhir menara kontrol lapangan terbang Don Muang dengan KAL 858 menunjukkan bahwa pesawat itu berada sekitar 300 mil arah barat Bangkok. Petugas menara lapangan terbang Rangoon mencatat bahwa KAL 858 terakhir tampak pada radar pukul 11.35 waktu setempat. Berarti tinggal 40 menit untuk tiba di Bangkok -- setelah menempuh perjalanan panjang dari Baghdad, dalam penerbangan rutin Baghdad-Seoul pp. Tapi jet milik Korea Selatan itu tak pernah sampai ke tujuan. Saat tulisan ini dibuat, belum ditemukan sepotong pun puing dari pesawat yang bernasib tragis itu. Hutan di perbatasan Burma-Muangthai terlalu lebat untuk ditembus. Kelompok pencari Muangthai terpaksa meminta bantuan suku bangsa Karen, yang sudah bergerilya di kawasan. Itu hampir 40 tahun -- menuntut otonomi dari pemerintah Burma. Pencarian kemudian diperluas ke Laut Andaman, siapa tahu kecebur di situ kendati tanda-tandanya sama sekali tak tampak. Tapi Komite Nasional SAR Muangthai memperkirakan, jet Boeing 707 itu tenggelam di sana, setelah lebih dulu meledak di udara. Namun, pihak Korean Airline yakin, nasib sial yang menimpa KAL 858 bukanlah karena kesalahan teknis, tapi lantaran sabotase. "Pesawat itu memiliki empat mesin jet, dilengkapi sistem komunikasi canggih. Jika ada problem, pasti akan mengirimkan aba-aba," kata juru bicara KAL di Seoul. "Hanya teroris, terutama kalau menggunakan bom, yang bisa mencelakakannya seketika." Pemerintah Korea Selatan, yang banyak terserap energinya untuk mempersiapkan pemilu pekan depan, tak dapat tidak merasa geram akan musibah KAL 858 itu. Kambing hitam tampaknya diperlukan. Dan itu berarti, Korea Utara. Rabu lalu, Presiden Chun Doo-Hwan telah secara blak-blakan mengatakan bahwa Korea Utara bertanggung jawab atas malapetaka itu. "Sudah menjadi fakta terbuka, mereka makin meningkatkan provokasi untuk menggagalkan Olimpiade 1988 dan pemilu nanti," kata sang presiden. Tragedi itu tampaknya, di satu pihak, akan menguntungkan kelompok partai yang berkuasa (DJP) dalam pemilu pekan depan. Terutama kalau keterlibatan Korea Utara bisa dibuktikan dalam hari-hari ini juga. Ini berkaitan dengan kampanye Roh Tae-Woo, orang pilihan Presiden Chun, yang menjanjikan pentingnya sebuah stabilitas dan kesinambungan kepemimpinan (kelompok militer), demi menghadapi ancaman komunisme dan Utara. Kebetulan sekali ada dua orang berpaspor Jepang, yang meninggalkan KAL 858 pada saat transit di Abu Dhabi. Mereka lantas dicurigai sebagai pelaku utama malapetaka. Dari Abu Dhabi keduanya -- masing-masing sebagai Shinichi Hachiya, 69 tahun, dan Mayumi Hachiya, 27 tahun, yang bertindak seolah-olah seperti ayah dan anak -- keesokannya terbang dengan Gulf Airline menuju Manama, Bahrain. Di sana mereka ditangkap . Tapi sebelum interogasi berlangsung, keduanya menelan kapsul sianida yang mereka simpan di filter rokok. Shinichi, yang tua, 30 menit kemudian meninggal. Mayumi sempat koma, sebelum akhirnya siuman kembali. Keisatsucho (Badan Kepolisian Nasional Jepang) dan Keishicho (Kepolisian Metropolitan Tokyo) pekan lalu itu langsung mengirimkan utusan ke Bahrain. Kepolisian Korea Selatan juga melakukan hal yang sama. Mereka bekerja sama dengan polisi setempat, lalu menghasilkan kesimpulan bahwa paspor kedua Hachiya itu palsu. Menurut cap yang tertera di paspor, keduanya meninggalkan Jepang pada 14 November lalu. Tetapi, menurut kantor imigrasi Jepang, pada tanggal itu tidak ada orang pergi ke luar negeri dengan nama seperti yang tertera di paspor mereka. Maka, polisi Jepang dan Korea mengambil kesimpulan sementara, bahwa kedua Hachiya punya kaitan dengan misteri KAL 858. Berhubung Mayumi, si wanita, mengunci mulut dan hanya memejamkan mata ketika menghadapi petugas, pelacakan selanjutnya dilakukan melalui pemeriksaan sidik jari dan penyidikan di Jepang. Polisi menemukan Shinichi Hachiya yang asli masih ada di Tokyo. Kakek berusia 69 tahun ini menuturkan kepada polisi, memang pernah meminjamkan paspor kepada seorang kenalannya bernama Akira Miyamoto. Tapi Miyamotosan memiliki nama asli Li Kyong U, karena ia memang orang Korea, tepatnya dari Pulau Cheju -- ujung selatan Korea. Li Kyong U, menurut catatan polisi, memasuki Jepang pada 1938 bersama ibu dan keenam saudaranya. Ibunya pada 1973 berangkat ke Korea Utara, konon sudah meninggal di sana. Yang juga sudah hijrah ke Korea Utara adalah istri dan anak Li Kyong U, serta kakak lelaki tertua dan adik bungsunya yang laki-laki. Maret dua tahun lalu, 1985, dalam suatu pembongkaran terhadap kegiatan mata-mata Korea Utara di Jepang, Li Kyong U oleh polisi dinyatakan terlibat. Tetapi, lelaki yang menggunakan nama Jepang Akira Miyamoto ini terlalu licin rupanya. Sejak pembongkaran itu sampai sekarang, polisi Jepang belum berhasil menyeretnya ke sel. Ia raib entah ke mana. Yang pasti, ia bukan pula Hachiya palsu yang bunuh diri di bandara Bahrain itu. Sebab, sidik jari "Hachiya" dan foto yang dibawa polisi dari Bahrain tidak mirip dengan arsip sidik jari dan foto Li Kyong U alias Miyamoto di Tokyo. Si wanita, yang tetap mengunci mulut dan memasang tampang bengong, sama-sama misteriusnya. Sebab, sidik jarinya juga tidak cocok dengan seluruh daftar sidik jari di arsip polisi Jepang, bahkan juga di antara 27 ribu warga negara dan 50 warga asing yang pernah menetap di Korea. Apa boleh buat. Markas besar polisi Seoul masih akan menyelidiki 35 juta sidik jari lagi, yang tersimpan di arsip. Dalam suasana serba tidak menentu itu pemerintahan Chun Doo-Hwan menginstruksikan 120 ribu polisi untuk bersiaga satu, sejak Kamis lalu. Padahal, konsinyir baru akan diberlakukan pekan ini, sehubungan dengan pemilu, 16 Desember. Soalnya, ancaman Utara tak bisa disepelekan, apalagi Chun Doo-Hwan tetap yakin Pyongyang adalah biang malapetaka KAL 858 yang menewaskan 115 penumpangnya. Dan sikap itu menyrempet pula ke perkara Olimpiade, karena Korea Utara memang sangat antusias menjadi tuan rumah untuk beberapa acara. "Jika nanti terbukti bahwa mereka terlibat terorisme yang melenyapkan pesaat itu, sangat mustahil bagi kami untuk berunding lagi," kata juru bicara komite Olimpiade Park Dong-Hee. Menanggapi semua prasangka itu, Sabtu lalu Pyongyang dengan tenang bersuara melalui kantor berita mereka. "Belum bisa dipastikan pesawat itu dibom atau jatuh, Korea Selatan sudah mengait-ngaitkan kejadiannya dengan kami. Ini jelas menggelikan," demikian Korea Utara. Mohamad Cholid, Seiichi Okawa (Tokyo), kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus