Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketegangan negara-negara Asia Tenggara dengan Cina meningkat sejak negeri tirai bambu itu menekankan klaimnya atas hampir seluruh Laut Cina Selatan, perairan yang paling diperebutkan di Asia. Pada awal September, Cina memublikasikan peta resmi dengan sepuluh garis putus-putus yang memperbarui klaim mereka atas sebagian besar wilayah laut tersebut.
Tindakan tersebut menyulut amarah negara-negara tetangga Cina seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang melihatnya sebagai upaya untuk melegitimasi klaim kedaulatan Beijing atas sebagian zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka. Jika sebelumnya peta sembilan garis putus-putus mencakup lebih dari 90 persen Laut Cina Selatan, peta dengan tambahan satu garis ini memperluas klaim Cina hingga sebelah timur Taiwan.
Profesor dari Universitas Renmin Cina sekaligus pakar relasi Amerika Serikat-Cina, Jin Canrong, menilai bahwa sengketa ini merupakan isu antara Cina dan negara-negara yang protes, sehingga negara-negara di luar itu tidak perlu ikut campur.
“Negara-negara luar seperti AS dan Jepang, mereka seharusnya diam. Ini masalah kita, bukan masalah mereka,” kata Jin saat konferensi pers China Public Diplomacy Association sebagai panel penasihat Kementerian Luar Negeri Cina pada Senin, 16 Oktober 2023 di Jakarta.
Pasalnya, negara-negara seperti AS, Jepang, dan Australia dinilai sering ikut campur, contohnya dengan turut mengirimkan pasukannya untuk membantu negara-negara lawan Cina, khususnya Filipina, dalam sengketa Laut Cina Selatan.
Hubungan antara Manila dan Beijing pun memburuk lantaran kapal kedua negara sering bentrok di perairan Laut Cina Selatan akhir-akhir ini, juga sejak Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menjalin hubungan lebih dekat dengan Washington.
AS dan Cina yang bermusuhan juga cekcok soal Taiwan, pulau yang kedaulatannya diklaim oleh Cina namun mendapat perlindungan dari AS dalam penolakannya untuk menjadi bagian dari Beijing.
Jin mengatakan saat ini, negara-negara Asia Tenggara dan Cina sedang berdiskusi tentang kode etik atau Code of Conduct (CoC) perihal Laut Cina Selatan yang menjadi kontestasi.
“Jadi, saya rasa ASEAN dan Cina kini berada pada tahap kritis untuk mencapai tujuan tersebut. Dan selama proses ini, sebelum kita mencapai kesepakatan tentang CoC, satu hal yang harus dilakukan oleh pihak luar adalah tutup mulut,” ujarnya.
“Kita harus menjaga masalah ini di kawasan kita dan tidak bergantung pada pihak luar. Kami (Cina) mencoba menyelesaikan masalah ini bukan dengan kekerasan atau arbitrase, melainkan melalui negosiasi,” sambungnya.
NABIILA AZZAHRA ABDULLAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini