Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa Putin Menang Telak dalam Pemilihan Presiden Rusia

Vladimir Putin menang besar lagi dalam pemilihan Presiden Rusia. Tingkat persetujuan publik sangat tinggi.

31 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMENANGAN Vladimir Putin dalam pemilihan Presiden Rusia pada pertengahan Maret tahun ini tak terbendung. Ketua Komisi Pemilihan Umum Pusat Rusia (CEC) Ella Pamfilova mengumumkan Putin memperoleh lebih dari 76 juta atau 87,28 persen suara, jumlah tertinggi yang pernah diperoleh calon presiden negeri itu. “Hasil akhir pemungutan suara adalah 76.277.708 orang memilih Vladimir Putin. Artinya, hasilnya tetap sama—87,28 persen dari jumlah pemilih,” katanya, Kamis, 21 Maret 2024, seperti dikutip kantor berita Rusia, TASS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kandidat presiden lain tak ada yang mampu mengumpulkan 5 persen suara. Nikolay Kharitonov, kandidat dari Partai Komunis, hanya mengumpulkan sekitar 3,7 juta atau 4,31 persen suara. Vladislav Davankov, calon dari Partai Rakyat Baru, mengumpulkan sekitar 3,3 juta atau 3,85 persen suara. Adapun Leonid Slutsky yang diusung Partai Demokrat Liberal Rusia mendapatkan sekitar 2,7 juta atau 3,2 persen suara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak banyak yang dikatakan Putin atas kemenangannya. “Banyak tugas yang harus kita hadapi. Tapi saya ingin menjelaskan kepada semua orang: ketika kita berkonsolidasi, tidak ada yang akan pernah berhasil menakut-nakuti kita, menekan kemauan dan hati nurani kita,” ujar politikus yang lahir di Leningrad pada 1952 itu pada Senin pagi, 18 Maret 2024, beberapa jam setelah tempat pemungutan suara ditutup.

Vladimir Putin unggul jauh dari hasil penghitungan sementara Pemilihan Presiden Rusia, yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum Pusat di Moskow, Rusia, 18 Maret 2024. Reuters/Evgenia Novozhenina

Mohamad Wahid Supriyadi, Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus periode 2016-2020, menilai kemenangan telak ini membuat Putin makin kukuh sebagai orang kuat Rusia. “Kemenangan ini menyebabkan posisi Putin lebih kuat dan dia akan lebih yakin dalam mengambil suatu keputusan,” ucapnya kepada Tempo, Jumat, 22 Maret 2024.

Wahid mengakui banyak kritik, terutama dari negara Barat, bahwa Putin menang karena adanya kecurangan dalam pemilihan umum. “Namun kecurangan itu sulit dibuktikan,” tuturnya.

Bagaimanapun juga, Putin telah menang besar. Hal ini pun sejalan dengan tingkat persetujuan (approval rating) publik terhadapnya yang terus naik dan kini mencapai 86 menurut Levada Analytical Center, satu-satunya lembaga jajak pendapat independen Rusia.

Menurut Wahid, kemenangan Putin sekarang mirip raihan Presiden RI Soeharto di masa Orde Baru. Putin praktis terpilih tanpa pesaing. Kalaupun ada pesaing kuat, ia sudah disingkirkan dulu sehingga Putin menjadi satu-satunya kandidat yang tersedia. “Ini suasananya mirip pada era Orde Baru. Di zaman Orde Baru kan tak ada yang dapat membayangkan ada orang yang bisa menggantikan Soeharto,” kata penulis buku Diplomasi Ringan dan Lucu (2020) tersebut.

Wahid menilai dukungan masyarakat kepada Putin sekarang berkaitan dengan pengalaman buruk di era sebelumnya. Setelah Uni Soviet bubar pada 1991, Presiden Rusia Boris Yeltsin menerapkan resep Barat: liberalisasi ekonomi dan privatisasi. Kebijakan ini malah menyeret negeri itu ke jurang resesi, yang ditandai dengan anjloknya produk domestik bruto sebesar 40 persen dan penurunan 50 persen produk industri selama 1990-an.

“Kalau kita lihat zaman Yeltsin, ekonominya porak-poranda ketika mereka menerapkan liberalisasi, resep dari Amerika; privatisasi dan macam-macam, dan akhirnya justru menimbulkan kesenjangan yang sangat dalam,” ucap Wahid. “Sebagian besar kekayaan itu dinikmati oleh segelintir oligark yang notabene teman-teman Yeltsin.”

Wahid menggambarkan betapa suramnya kehidupan masyarakat Rusia di masa itu dengan merujuk pada sulitnya penduduk mendapatkan makanan. “Ketika itu, untuk mendapatkan roti saja, rakyat harus antre. Itu kondisi yang parah sekali,” ujarnya.

Angus Roxburgh, wartawan BBC yang bertugas di Rusia pada era itu, juga mencatat kemiskinan ekstrem warga Rusia pada masa tersebut. “Warga Rusia biasa berjejer di trotoar sambil menjual barang-barang mereka. Pusat Kota Moskow menjadi pasar loak yang besar. Saya masih ingat dengan jelas seorang pria, seorang ilmuwan paruh baya dengan gelar PhD, yang menjual gembok tua berkarat dan pernak-pernik lain.... Stasiun kereta penuh dengan pengemis dan gelandangan,” tulisnya dalam buku The Strongman: Vladimir Putin and the Struggle for Russia (2011).

Ketika pertama kali menjadi presiden pada 2000, Putin, yang meraih gelar sarjana ekonomi dari Saint Petersburg Mining University, memulihkan negerinya yang terpuruk itu dengan mengendalikan para oligark, para pengusaha yang kaya raya berkat keistimewaan dan kontrak bisnis pemerintah. Putin memilah para oligark menjadi yang bersih atau sekadar pengusaha dan yang tidak bersih, yakni pengusaha yang haus kekuasaan. Pemerintah, dia mengungkapkan, hanya akan bekerja sama dengan kelompok pertama dan memerangi kelompok kedua. “Orang-orang yang menggabungkan kekuasaan dan modal—tidak akan ada oligark yang seperti sebuah kelas,” tutur Putin saat berkampanye.

Dalam enam tahun masa kepresidenan pertama Putin ini, ekonomi Rusia pulih. Angka inflasinya turun, dari 20 persen pada 2000 menjadi 9 persen pada 2006. Pertumbuhan ekonominya stabil di kisaran 6-7 persen per tahun. Hal ini terutama diraih berkat bonanza minyak, ketika harga minyak dan gas, komoditas ekspor utama negeri itu, sedang naik di dunia. Keuntungan ini membuat Rusia di bawah Putin dapat memangkas utang luar negeri yang mencapai 130 persen dari produk domestik bruto pada 1998 menjadi hanya 18 persen pada 2006.

Pemerintahan Putin juga dapat melunasi semua utang Rusia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar US$ 3,3 miliar di awal 2005. Pendapatan dari minyak yang terus mengalir deras bahkan membuat Rusia dapat membayar semua utang di era Uni Soviet yang berjumlah hampir US$ 40 miliar kepada kreditor pemerintah asing Paris Club.

“Orang di sana melihat Putin kayak pahlawan,” kata Wahid. Masyarakat, dia menambahkan, juga membandingkan kondisi ini dengan era Boris Yeltsin yang liberal tapi membuat mereka menderita. “Sehingga masyarakat merasa bahwa untuk apa liberalisasi seperti zaman Yeltsin bila jadinya terpuruk.”

Faktor lain yang membuat Putin didukung, Wahid melanjutkan, adalah pandangan masyarakat bahwa negeri mereka terlalu besar sehingga perlu dipimpin orang yang sangat kuat. Rusia adalah negara terluas di dunia, mencapai 17 juta kilometer persegi atau dua kali luas Amerika Serikat. “Mereka tampaknya percaya bahwa negeri sebesar ini harus dipimpin oleh seorang otokrat yang otoriter.”

Sekarang pun Putin tetap terlihat kuat. Gempuran sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara Barat kepada Rusia karena menginvasi Ukraina pada 2022 tak menggoyahkan negeri itu. Badan Statistik Federasi Rusia (Rosstat) memperkirakan produk domestik brutonya tumbuh 3,6 persen di akhir 2023, melampaui pertumbuhan Amerika Serikat dan Eropa.

Menurut Wahid, bila kondisi ini terus berlanjut, Putin akan terus berkuasa. Putin hanya akan jatuh bila terjadi krisis ekonomi, seperti Soeharto yang dulu lengser pada 1998. “Nah, apakah ada krisis ekonomi di Rusia? Tanda-tandanya tidak ada,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Orang Kuat dari Leningrad".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus