Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Said Jalili, Negosiator Nuklir Iran yang Mengincar Posisi Presiden

Said Jalili, seorang diplomat dan politikus konservatif Iran yang terkenal, berada di posisi kedua dalam pemilihan presiden

29 Juni 2024 | 20.34 WIB

Kandidat presiden Iran Saeed Jalili.  Morteza Fakhri Nezhad/IRIB/WANA (West Asia News Agency)/Handout via REUTERS
Perbesar
Kandidat presiden Iran Saeed Jalili. Morteza Fakhri Nezhad/IRIB/WANA (West Asia News Agency)/Handout via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Said Jalili, seorang diplomat dan politikus konservatif Iran yang terkenal, berada di posisi kedua dalam pemilihan presiden yang digelar pada Jumat lalu seperti dilansir Anadolu pada Sabtu 29 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Jalili, 58 tahun, memperoleh 9,4 juta suara dalam pemilihan presiden dadakan. Ia berada di posisi kedua setelah anggota parlemen senior dan kandidat reformis Masoud Pezeshkian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan negosiator nuklir Iran itu juga menjadi salah satu kandidat pertama yang mengumumkan pencalonannya sebagai presiden Iran saat hari pertama pendaftaran pada 30 April.

Keduanya sekarang akan saling berhadapan dalam pemilihan putaran kedua pada 5 Juli karena mereka memperoleh jumlah suara tertinggi, tetapi kurang dari 50 persen suara.

Setelah mengajukan permohonan pencalonannya pada 30 April, Jalili berbicara tentang "kesempatan bersejarah" yang dihadapi bangsa Iran. Ia juga berjanji untuk menjaga warisan mendiang Presiden Ebrahim Raisi, yang meninggal dalam kecelakaan helikopter bulan lalu.

Lahir pada 6 September 1965, di Kota Mashhad di timur laut, Jalili berasal dari keluarga kelas menengah yang taat beragama.

Jalili meraih gelar doktor dalam ilmu politik dari Universitas Emam Sadegh di Teheran, sebuah lembaga yang didirikan untuk melatih kader republik Islam tersebut.

Bertutur kata lembut, tetapi dengan kepribadian yang kaku dan religius, ia telah memegang beberapa peran senior sepanjang kariernya.

Saat ini ia adalah salah satu perwakilan Khamenei di Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, badan keamanan tertinggi Iran.

Jalili bertempur dalam perang Iran-Irak pada1980-88 dan terkena pecahan peluru di garis depan, yang mengakibatkan kaki kanannya diamputasi.

Penugasan penting Jalili termasuk memimpin perundingan nuklir negara itu dengan AS pada 2007-2013 di bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad.

Para kritikus menuduhnya membuat pernyataan ideologis selama negosiasi dengan pemerintah Barat, alih-alih mengartikulasikan posisi Iran dengan jelas.

Ia juga menjabat sebagai kepala Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, badan keamanan paling berpengaruh di negara tersebut.

Sebelumnya, ia menjabat sebagai wakil direktur Amerika Utara dan Tengah di Kementerian Luar Negeri Iran.

Pada 2013, Jalili mencalonkan diri sebagai presiden untuk pertama kalinya dan berakhir di posisi ketiga. Pada 2021, ia kembali mencalonkan diri tetapi akhirnya menarik diri dan memilih pemenangnya, Raisi.

Jalili merupakan salah satu penentang paling vokal kesepakatan nuklir Iran 2015, posisi yang ia soroti dalam kampanye pemilihannya, termasuk dalam debat yang disiarkan televisi.

Jajak pendapat pra-pemilu menunjukkan Jalili dan juru bicara parlemen Mohammad Baqer Qalibaf sama-sama berpeluang menang.

Namun, para pemilih sama sekali tidak memperkirakan Jalili berada di posisi kedua dan Qalibaf berakhir di posisi ketiga dengan hanya 3,3 juta suara, kira-kira sepertiga dari pesaingnya yang konservatif.

Pada 2013, ia ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei untuk Dewan Kebijaksanaan, sebuah majelis administratif yang kuat yang bertugas menyelesaikan sengketa kebijakan di negara tersebut.

Dalam debat presiden, Jalili mengatakan ia akan "membuat musuh menyesali" tindakannya menjatuhkan sanksi terhadap Iran, seraya menambahkan bahwa ia memiliki "rencana aksi" untuk melakukan hal ini jika terpilih sebagai presiden.

Ia juga menepis klaim bahwa kesepakatan nuklir Iran 2015 menguntungkan negara tersebut secara ekonomi, dengan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi "nol dan negatif" ketika kesepakatan tersebut ditandatangani.

Jalili juga sangat menganjurkan jilbab, menuduh Barat menyembunyikan "peran mulia" yang dimiliki wanita Iran di berbagai bidang. Ia menyebut jilbab sebagai aturan berpakaian untuk "memelihara dan memperkuat kesucian lembaga keluarga."

ANADOLU

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus