Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Tak Setuju PM Rutte, Geert Wilders: Indonesia yang Harus Minta Maaf ke Belanda

Geert Wilders mengatakan prajurit Belanda yang gugur pada perang kemerdekaan adalah pahlawan.

19 Februari 2022 | 12.02 WIB

Politikus Belanda Geert Wilders merupakan ketua Partai Kebebasan. Reuters
Perbesar
Politikus Belanda Geert Wilders merupakan ketua Partai Kebebasan. Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Parlemen Belanda Geert Wilders tak sepakat dengan pernyataan Perdana Menteri Mark Rutte, soal kekerasan ekstrem yang dialami selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pemimpin Party for Freedom itu justru menuntut balik Indonesia untuk meminta maaf atas kekerasan yang ada.

"Di mana permintaan maaf dari pihak Indonesia atas kekerasan mereka terhadap Belanda dan Bersiap? Menghukum tentara Belanda adalah memalsukan sejarah," cuit Geert Wilders di akun Twitter pribadinya, dikutip pada Sabtu 19 Februari 2022.
 
Politisi Sayap Kanan itu menilai tentara Belanda kala itu sudah melakukan aksi heroik bagi bangsa. Oleh karena itu, Rutte dinilai tidak layak mengucapkan kata maaf. "Mereka adalah pahlawan. Kita harus berdiri di belakang veteran kita. Permintaan maaf tidak pantas," kata Geert.
 
Sebelumnya, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf pada Indonesia atas kekerasan ekstrem masa revolusi. Pernyataan ini menyusul hasil penelitian besar tentang kekerasan militer Belanda berjudul ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945 – 1950’ yang keluar Rabu malam, 16 Februari.
 
Pernyataan Mark Rutte sendiri merupakan permintaan maaf pertama kalinya oleh seorang kepala pemerintahan Belanda terhadap Indonesia atas penderitaan rakyat di masa revolusi.
 
Perdana Menteri Mark Rutte menekankan bahwa pertanggungjawaban berada di penguasa pada saat itu: pemerintah Belanda, parlemen, institusi militer, dan otoritas hukum. Di periode 1945-1949 itu, sekitar 100.000 orang Indonesia meninggal, sedangkan dari pihak Belanda 5.300 serdadu gugur.
 
Menurut penelitian Belanda, yang dilaksanakan tiga lembaga penelitian, yakni KITLV, NIMH, dan NIOD, selama perang berlangsung, militer Belanda tak henti melakukan kekerasan ekstrem secara struktural.
 
Kekerasan itu mulai dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan dalam kondisi yang tak manusiawi, pembakaran rumah dan kampung-kampung, penjarahan dan perusakan barang berharga dan makanan milik penduduk, serangan-serangan udara dan pengeboman yang terus menerus, serta penangkapan secara acak dan massal dan pemenjaraan.
 
Studi empat tahun oleh tiga institut ilmu pengetahuan Belanda ini menyimpulkan bahwa “pemerintah dan pemimpin militer Belanda telah dengan sengaja melakukan pembiaran atas penggunaan kekerasan ekstrem yang dilancarkan secara sistematis dan meluas oleh personel militer Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia.”
 
Lebih dari empat tahun Belanda dan Indonesia berperang dengan senjata dan diplomasi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari bekas penjajah pada tanggal 17 Agustus, 1945. Akhirnya Belanda baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia di bulan Desember 1949. 

Baca: PM Rutte Minta Maaf ke Indonesia: Belanda Sengaja Melakukan Kekerasan Ekstrem

TWITTER | REUTERS 
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daniel Ahmad Fajri

Bergabung dengan Tempo pada 2021. Kini reporter di kanal Nasional untuk meliput politik dan kebijakan pemerintah. Bertugas di Istana Kepresidenan pada 2023-2024. Meminati isu hubungan internasional, gaya hidup, dan musik. Anggota Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus