Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Urun Biaya dari Tokyo

Apa saja sumbangan nyata yang bisa dialirkan oleh negara-negara donor bagi Afganistan?

20 Januari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokyo masih gemetar dalam udara musim dingin pada pekan ketiga bulan Januari. Namun udara yang menggigit ataupun arus mobil yang mengular di jalan-jalan utama ibu negeri Jepang itu pada awal pekan tak menghalangi langkah para wakil negara kaya—Amerika, Uni Eropa, Arab Saudi—untuk menghadiri satu pertemuan penting bagi Afganistan. Pihak Jepang bertindak sebagai tuan rumah bagi tamu-tamu penting tersebut, yang akan merundingkan perihal "saweran uang" alias dana bantuan kepada Afganistan, yang kini babak-belur seusai perang melawan Amerika Serikat (AS). Pada pagi yang sama, di sebuah sudut Tokyo yang lain, Isao Nakauchi bisa jadi tengah mengompres kepalanya setelah sulit tidur semalam suntuk. Belakangan Nakauchi kerap didera pening—dan ini tak ada hubungannya dengan pertemuan di atas. Dia bukan pejabat tinggi atau staf ahli perdana menteri. Dikenal sebagai konglomerat pemilik jaringan Supermarket Daiei, Nakauchi memimpin perusahaan raksasa yang mempekerjakan 100 ribu pegawai dan mengelola hingga 300 anak perusahaan: dari hotel, restoran, pompa bensin, majalah wanita, hingga sebuah klub baseball di Tokyo. Pendapatan perusahaannya pernah mencapai US$ 40 miliar per tahun atau setara dengan Rp 400 triliun. Dalam dunia manajemen, nama Nakauchi disandingkan dengan Peter F. Drucker, pakar manajemen asal AS. Tapi perusahaannya kini sudah menginjak ambang kebangkrutan. Akibat krisis ekonomi, konglomerat itu menanggung utang luar negeri US$ 17,6 miliar—terbesar di Jepang. Adapun harga saham kelompok usaha itu kini tinggal 74 sen dolar atau Rp 7.400 per lembar. Daiei hanyalah potret kecil kebangkrutan ekonomi Jepang. Kredit macet di bank-bank Jepang saat ini setara dengan 68,6 persen produk domestik bruto negeri itu—bahkan lebih besar dari Argentina. Dengan kondisi ekonomi yang morat-marit itulah Jepang memimpin sidang negara donor bagi Afganistan pada 21-22 Januari 2002. "Kami pernah mengalami kehancuran dalam Perang Dunia II. Kini saya ingin mengajak dunia internasional untuk membantu Afganistan, sesuatu yang pernah diterima Jepang lebih dari setengah abad lalu," tulis Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi dalam sebuah kolomnya di majalah Newsweek. Diperkirakan, melalui konferensi itu Jepang akan mengucurkan US$ 500 juta kepada Afganistan. Sadako Ogata, mantan Ketua Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, sudah wanti-wanti agar Jepang—sebagai tuan rumah—memberi jumlah "saweran" yang patut bagi Afganistan. Ogata baru kembali dari Kabul pekan lalu. Dan ia mengaku melihat dengan matanya sendiri hampir setiap anak negeri Afganistan hidup dalam ketiadaan. Setelah luluh-lantak oleh bom Amerika dan perang saudara lebih dari 23 tahun, Afganistan membutuhkan setidaknya US$ 25 miliar untuk mulai berdikit-dikit membangun dari kehancuran. Konferensi negara-negara donor itu diharapkan bisa mengucurkan dana US$ 15 miliar. "Amerika akan membantu apa pun untuk menstabilkan Afganistan," kata Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, dalam kunjungannya ke Kabul Selasa pekan lalu. Tanpa bantuan itu, Perdana Menteri Afganistan Hamid Karzai tak akan bisa berbuat apa-apa. Sekadar contoh, seorang staf PBB menyatakan, "Karzai mesti membayar gaji 210 ribu pegawai negeri dan 25 ribu polisi." Saat ini, kecuali menteri dari staf menteri, semua pegawai di Afganistan belum menerima upah. Pertemuan dua hari negara-negara donor di atas akan membahas kapan dan bagaimana bantuan akan diturunkan. Selain diberi duit segar, pemerintah Afganistan juga akan diberi ruang usaha yang lebih besar. Perusahaan penerbangan Afganistan, Ariana Airline, telah terbang kembali setelah dua tahun tidak beroperasi karena sanksi Dewan Keamanan PBB semasa Afganistan di bawah Taliban. Sementara itu, pemerintah Italia menjanjikan akan memberi bantuan pada televisi Afganistan. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi memang dikenal sebagai konglomerat televisi. Bagi Amerika, bantuan pada Afganistan merupakan bagian dari proyek menggulingkan pemerintahan Taliban. Setelah parlemen AS menyetujui bujet US$ 40 miliar untuk memerangi Taliban dan jaringan Al-Qaidah, kini saatnya "membangun" Afganistan yang maju dan demokratis. Dengan komando AS, sejumlah negara kaya urun biaya—termasuk Jepang, yang ekonominya sedang terhuyung-huyung. "Dengan perhatian dunia internasional yang sangat besar, persoalan Afganistan tak sulit diatasi. Dengan sedikit uang, semuanya akan berjalan sendiri," kata Colin Powell beberapa pekan lalu. Tapi urusannya belum tentu semudah kata-kata Powell. Mingguan The Economist menduga bahwa bantuan untuk Afganistan tak akan lancar. Dasarnya adalah perundingan di Bonn, Jerman, Desember lalu. Dalam konferensi yang kemudian mendudukkan Karzai ke kursi perdana menteri itu, disepakati negara donor akan memberikan bantuan awal US$ 18 juta atau sekitar Rp 180 miliar. Kenyataannya hanya US$ 10 juta yang cair. Ada dugaan, Amerika sendiri tak akan memberikan bantuan yang memadai. Pemerintahan George W. Bush, misalnya, pagi-pagi telah mengumumkan bahwa salah satu bentuk bantuan AS adalah pencairan kembali dana pemerintah Afganistan yang pernah dibekukan Amerika. Jumlahnya sekitar US$ 221 juta. Ini adalah simpanan pemerintah Afganistan di bank sentral Amerika yang telah mengendap bertahun-tahun. Akibat pengeboman Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania, Presiden Bill Clinton pada 1999 membekukan harta berwujud emas batangan tersebut. AS menuduh Al-Qaidah dan Afganistan berada di balik aksi teror itu. Di luar itu, di bank-bank Amerika saat ini diperkirakan masih ada sekitar US$ 43 juta dana yang diduga milik Taliban. Atas nama gerakan antiteror, pemerintah AS hingga sekarang membekukan uang tersebut. Dengan mengembalikan duit Afganistan ke kantong asalnya, tak sulit bagi Amerika untuk mengelola bujet. Dana perang masih bisa digunakan untuk mengejar para aktivis Al-Qaidah ke negeri lain di luar Afganistan. Seorang staf PBB bahkan khawatir, Amerika akan memberikan bantuan minimal pascakonferensi Tokyo. "AS telah mendanai 80 persen program Pangan Dunia PBB ke Afganistan. Amerika bisa mengklaim bantuan itu berikut aksi militernya sebagai bagian dari paket bantuan," kata sumber tersebut. Selain Amerika, negara lain juga akan punya motif pribadi dalam memberikan bantuan. Memang, tak ada yang gratis dalam politik. Perdana Menteri Italia Berlusconi diduga sedang memperbaiki citra internasional di tengah popularitasnya yang turun di dalam negeri. Semenjak terpilih menjadi perdana menteri tahun lalu, Berlusconi terus dipersoalkan publik Italia karena diduga menjalankan praktek korupsi dan nepotisme. Sementara itu, Jepang, selain merasa memiliki kesamaan sejarah dengan Afganistan, juga berharap akan terus memiliki hubungan baik dengan AS melalui keterlibatannya dalam aliansi negara donor tersebut. Sumber TEMPO di Departemen Luar Negeri Jepang mengatakan, dukungan AS pada Nippon sangat dibutuhkan terutama dalam mengimbangi ancaman dari Cina dan Korea. Di dalam negeri Afganistan sendiri, rakyat menunggu-nunggu. "Semua orang tahu," kata Said Hakim, seorang pedagang kelontong di Kabul, "setelah ini semuanya akan menjadi lebih baik." Said, 47 tahun, percaya di bawah pimpinan Amerika bantuan untuk Afganistan akan segera mengucur. Sejatinya tak mudah membangun kembali Afganistan—meskipun seandainya semua dana tersedia. Secara politik negeri itu tercabik-cabik. Meski Hamid Karzai telah berhasil menyatukan kelompok-kelompok yang bertikai dalam pemerintahannya, kondisi di lapangan bisa sepenuhnya berbeda dengan apa yang dirapatkan di meja kabinet. Sebutlah misalnya apa yang terjadi kawasan Mazar-i-Syarief, di Afganistan utara. Di empat provinsi wilayah itu—Samangan, Balkh, Jowzjan, dan Faryab—pemerintahan Karzai praktis tak punya pengaruh. Di sana yang menjadi penguasa adalah Abdul Rasyid Dostum, panglima perang sekaligus pimpinan Milisi Junbish, partai politik yang mewakili etnis Uzbek. Meski sehari-hari Dostum adalah Deputi Menteri Pertahanan, di Mazar ia adalah "perdana menteri". Ia menarik pajak dan mencetak mata uang afgani dengan nomor seri yang ditentukannya sendiri. Untuk menarik orang luar agar memegang afgani versi Dostum, ia menawarkan kurs yang lebih baik ketimbang afgani dari Kabul. "Saya telah berperang selama 23 tahun dan memimpin Gerakan Islam Nasional melawan komunis. Saya menuntut pemerintah pusat agar memperhitungkan kenyataan ini," katanya. Di hadapan wartawan asing yang diundangnya pekan lalu, Dostum menunjukkan bahwa ia bukan sekadar wakil menteri pertahanan. Diiringi puluhan pengawal, ia berkeliling Mazar dalam sedan Audi antipeluru. Ini sungguh pemandangan yang kontras di tengah warga Afganistan yang kini terpaksa menelan rumput karena tak ada makanan. Karzai memahami kendala ini. "Tanpa keamanan, ekonomi Afganistan tak bisa membaik," katanya. Tapi keamanan tanpa dana juga tak berarti apa-apa. Di Tokyo, harapan itu sedang digantungkan. Arif Zulkifli (Wash Post, Newsweek, The Economist, Asahi Shimbun)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus