Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Yordania mengatakan kesepakatan yang diumumkan pada Kamis antara Israel dan Uni Emirat Arab dapat mendorong negosiasi perdamaian yang terhenti jika berhasil mendorong Israel untuk mengakui negara Palestina di tanah yang telah diduduki Israel dalam Perang Arab-Israel 1967.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Jika Israel memperlakukannya sebagai insentif untuk mengakhiri pendudukan ... itu akan menggerakkan kawasan itu menuju perdamaian yang adil," kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, dikutip dari Reuters, 14 Agustus 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kegagalan Israel untuk melakukan ini hanya akan memperdalam konflik Arab-Israel selama puluhan tahun dan mengancam keamanan kawasan secara keseluruhan, kata menteri luar negeri Yordania.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, bagaimanapun, menolak kesepakatan tersebut. "Kesepakatan itu adalah pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al Aqsa, dan perjuangan Palestina," kata juru bicara Abu Rudeineh.
Warga Palestina dari seluruh spektrum politik pada Kamis mengecam keras perjanjian normalisasi antara Israel dan Uni Emirat Arab, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap orang Arab dan Palestina.
Banyak orang Palestina dan Arab turun ke media sosial untuk mengekspresikan kemarahan atas perjanjian tersebut, beberapa menyebutnya sebagai "nakba baru" atau bencana. Mereka juga mengejek Uni Emirat Arab sebagai Uni Emirat Zionis dan pengkhianat, menurut Jerusalem Post. Yang lain menyebut pengumuman itu sebagai "Kamis hitam untuk orang Arab dan Palestina."
Pejabat Palestina mengatakan mereka tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang perjanjian tersebut.
"Israel telah mencaplok Uni Emirat Arab alih-alih mencaplok Tepi Barat," kata seorang pejabat senior Palestina kepada Jerusalem Post. "Ini adalah perkembangan yang sangat berbahaya yang membutuhkan tanggapan tidak hanya dari Palestina tetapi seluruh dunia Arab."
Perjanjian itu melanggar Prakarsa Perdamaian Arab 2002, yang menyatakan bahwa negara-negara Arab akan menjalin hubungan normal dengan Israel hanya "dalam konteks perdamaian yang komprehensif dan penarikan penuh Israel dari semua wilayah yang diduduki sejak 1967," kata para pejabat itu.
Otoritas Palestina mengumumkan pada Rabu malam bahwa mereka telah memutuskan untuk menarik duta besarnya untuk Uni Emirat Arab sebagai protes atas perjanjian normalisasi dengan Israel. Keputusan itu diumumkan oleh Menteri Luar Negeri PA Riad Malki.
Menteri Luar Negeri Yordania mengatakan kesepakatan itu harus diikuti oleh Israel yang mengakhiri setiap langkah sepihak untuk mencaplok wilayah di Tepi Barat.
"Wilayah ini berada di persimpangan jalan ... pendudukan yang berkelanjutan dan penolakan terhadap hak-hak sah rakyat Palestina tidak akan membawa perdamaian atau keamanan," tambah Safadi.
Yordania kehilangan Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur ke Israel selama perang Arab-Israel 1967. Yordania adalah negara Arab kedua setelah Mesir yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel dan lebih dari 8 juta warganya berasal dari Palestina.