Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Banyak Jalan Menuju Suap

Profesi hakim rentan menjadi sasaran suap. Sistem pengawasan masih lemah.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN janggal perkara korupsi di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Palu, Sulawesi Tengah, membuat Eman Suparman gemas. Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial itu jengkel gara-gara banyak majelis hakim memberikan penangguhan atau pengalihan penahanan kasus korupsi. Salah satunya kasus yang menyeret Sekretaris Daerah Kabupaten Parigi Moutong, Ekka Pontoh. Terdakwa kasus korupsi pembangunan dermaga wisata itu bebas berkeliaran karena status tahanannya diganti dari penjara menjadi tahanan kota.

Dipimpin Kepala Pengadilan Negeri Palu Wayan Karya, majelis hakim mengabulkan permohonan Ekka setelah Bupati Parigi Moutong, Samsurizal Tombolotutu, memberikan jaminan. Keistimewaan yang sama diperoleh David Khuntoro dan Abrianto Jafar pada 22 April 2014. Kedua terdakwa korupsi pengadaan batik di Kabupaten Toli-toli, Sulawesi Tengah, itu batal menjadi penghuni hotel prodeo karena dialihkan menjadi tahanan kota. Dua puĀ­tusan itu, kata Eman, tidak sensitif.

Eman kian geram saat datang ke Palu pada awal Desember tahun lalu. Di sana ia mendapat informasi bahwa para koruptor memperoleh perlakuan istimewa lantaran hakim main mata dengan pengacara yang "berkuasa" di pengadilan. "Ada informasi bahwa oknum pengacara diduga kerap menyuap majelis hakim," katanya.

Sebenarnya kasus pengacara menyuap hakim tidak hanya terjadi di Palu, tapi juga di banyak daerah lain. Modusnya beragam, dari memberi uang dan tiket pesawat hingga menjadi panitia sekaligus penyumbang dana acara pribadi atau keluarga. Bahkan tidak jarang perpindahan dan pelantikan pejabat baru pengadilan juga dimanfaatkan. Pengacara akan memfasilitasi dan membelikan tiket pesawat buat kerabat atau teman hakim yang hendak hadir dalam acara pelantikan tersebut. "Istilah mereka, pengacara itu binaan hakim," ujar Eman.

Beberapa hakim dan pengacara sudah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi akibat kongkalikong ini. Pada pertengahan Juni tahun lalu, misalnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap pengacara Susi Tur Andayani. Susi terbukti menjadi perantara suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar dalam sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak dan Kabupaten Lampung Selatan.

Sebelumnya, KPK menangkap pengacara Mario Carlio Bernardo setelah ia menyuap anggota staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung, Djodi Supratman. Fulus yang mengalir dari keponakan pengacara kondang Hotma Sitompoel itu diduga ditujukan buat sejumlah hakim agung. Pada Desember 2013, majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta terhadap Mario.

Pada September 2005, KPK menangkap pengacara Harini Wijoso, yang saat itu menjadi kuasa hukum pengusaha Probosutedjo. Bersama lima anggota staf Mahkamah Agung, mantan hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta itu dicokok di rumahnya di Cilandak, Jakarta Selatan. Dari tangan mereka, KPK menyita uang US$ 400 ribu dan Rp 800 juta yang diduga akan diserahkan kepada sejumlah hakim agung.

Ada juga yang membentuk yayasan, lalu menjadikan keluarga atau kerabat hakim sebagai pengurus yayasan. Hal ini yang diduga dilakukan pengacara Safitri Hariyani Saptogino. Dia membeli Rumah Sakit Aqma di Cikampek, Jawa Barat, dan mengajak keluarga sejumlah hakim agung menjadi pengurus sekaligus pemegang saham. Namun Safitri enggan menanggapi pertanyaan mengenai hal ini. "Itu tidak relevan," katanya melalui jawaban tertulis yang disampaikan rekannya, Tri Hartanto, dua pekan lalu.

Dalam kasus pengalihan penahanan di Palu, menurut Eman Suparman, Komisi Yudisial tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya menegur dan meminta pengadilan mengembalikan tahanan ke penjara.

Wayan Karya, yang dihubungi untuk mengkonfirmasi cerita Eman, enggan berkomentar. "Data dan alasan hukumnya akan dijelaskan, baik menurut hak subyektif majelis maupun material sebagaimana diatur dalam KUHAP," ucapnya dua pekan lalu. Ia lalu meminta Tempo bertanya kepada wakilnya atau humas pengadilan.

Tapi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palu Abdul Halim Amra menyatakan tidak tahu kasus Ekka Pontoh. Meskipun demikian, dia membenarkan ada sejumlah terpidana kasus korupsi yang mendapat pengalihan tahanan.

Konfirmasi lengkap akhirnya diberikan oleh Humas Pengadilan Negeri Palu Rommel Tampubolon. Membantah cerita Eman, dia menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Palu tidak pernah mendapat teguran dari Komisi Yudisial. Para terdakwa yang mendapat pengalihan tahanan juga tidak akan dikembalikan ke penjara. "Itu semua sudah kami laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial," ujarnya.

Mengenai pengalihan penahanan Ekka Pontoh menjadi tahanan kota, Rommel berkeras itu sudah sesuai dengan prosedur. Selain dijamin bupati, menurut dia, Ekka menjaminkan uang Rp 100 juta. Alasan lain, keberadaan terdakwa dibutuhkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Parigi Moutong.

Pengacara Ekka Pontoh, Muhamad Abdurrahman Kasim, juga menepis tuduhan telah main mata dengan hakim. "Saya pengacara idealis dan antikorupsi," katanya saat ditemui pada akhir Desember 2014. Namun, bila ada terdakwa menyuap majelis, "Saya tidak bisa ikut campur karena itu urusan pribadi terdakwa," ujarnya. Kasim terkenal sebagai pengacara andal kasus korupsi di Sulawesi Tengah. Sejak 2005, sudah sekitar 50 tersangka korupsi dia bela. Dari jumlah itu, 15 terdakwa bebas murni.

Demikianlah, hingga kini dugaan praktek suap terhadap "Yang Mulia" sebutan hakim di pengadilan tak pernah surut. Seorang pejabat di Mahkamah Agung bercerita bahwa ia pernah mendapati pejabat di lembaganya menerima suap di lapangan golf. Tas stik golf, misalnya, akan ditukar dengan tas golf yang berisi uang setelah terjadi kesepakatan. "Biasanya acara main golf dibungkus dengan acara turnamen," tuturnya.

Menurut dia, biasanya turnamen tersebut didanai oleh pihak yang punya kepentingan dengan perkara yang ditangani Mahkamah Agung. Lapangan golf yang biasa dijadikan tempat transaksi adalah Padang Golf Taman Modern Tangerang dan Padang Golf Sentul. Fenomena ini, kata dia, terjadi beberapa tahun terakhir. Ia bahkan mengaku pernah dua kali menyaksikan pertukaran tas golf tersebut.

Ditanyai mengenai ini, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan pergaulan antara hakim dan pengacara tidak bisa dihindari. Asalkan ada rambu-rambu yang dijaga agar tidak terjadi main mata di antara keduanya. "Tapi saya bukan mengatakan hal itu sama sekali tidak ada," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus