Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Curang di Tender Borang

Setumpuk dokumen yang dimiliki Tempo menunjukkan ada sejumlah kejanggalan di balik tender pengadaan turbin pembangkit listrik Borang, Sumatera Selatan, tiga tahun lalu. Jauh sebelum tender digelar, PT Guna Cipta Mandiri milik Johanes Kennedy Aritonang terlihat sudah ”disiapkan” menjadi pemenang. Audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan negara dirugikan Rp 24 miliar. Bukan tak mungkin, Direktur Utama PLN Eddie Widiono dan pejabat PLN lain—yang sementara ini masih bebas—bakal diseret ke pengadilan.

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir tengah malam ketika sebuah kopor kecil diseret ke aula Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Ini pasti wadah pakaian orang ”terhormat”, karena sebagian dari belasan orang di ruang itu memandangnya dengan ”takzim”.

Kopor itu ternyata kepunyaan Eddie Widiono, Direktur Utama PT PLN, tersangka korupsi pengadaan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Borang, Sumatera Selatan. Lalu, dari dalam bui di samping aula, terdengar lagu pengantar ”setengah wajib” para tahanan Bareskrim: Di sini senang, di sana senang....

Saat itu, akhir Agustus 2006, sekitar tengah malam, orang nomor satu di perusahaan setrum milik negara ini untuk sementara dilepas dari bui. Sebab, hingga batas akhir 120 hari masa penahanan, dakwaan polisi dinilai jaksa masih tak cukup kuat untuk menjerat Eddie.

Pembebasannya menyusul tiga tersangka lain yang sudah keluar lebih dulu: Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN Ali Herman Ibrahim; deputinya, Agus Darmadi; dan Johanes Kennedy Aritonang, Direktur Utama PT Guna Cipta Mandiri, mitra PLN dalam pengadaan turbin ini.

Dua pekan lalu, Forum Masyarakat Peduli Listrik menjinjing kasus dugaan korupsi ini ke Komisi Hukum DPR. Mereka meminta Dewan mendesak kejaksaan agar segera menuntaskan perkara ini. Pasalnya, kasus dugaan korupsi di tubuh PLN kian menumpuk: di KPK ada 14 kasus; di kepolisian dua kasus; di kejaksaan juga ada kasus PLN lain selain Borang.

Memang, di kejaksaan kasus Borang macet. Tapi polisi haqqulyakin telah terjadi penggelembungan harga dalam pengadaan dua turbin jenis truck mounted 2500 berkapasitas 40 megawatt, yang dipasok Guna Cipta dari General Electric pada November 2004.

Berdasarkan hasil audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), negara ditaksir menderita kerugian US$ 2,6 juta (Rp 24 miliar). Kalkulasi itu dihitung hingga pembayaran cicilan ke-14 pada awal 2006—jika dibayar lunas hingga angsuran tahun keempat, total kerugian US$ 6,5 juta (lihat wawancara Kerugian Negara Adalah Fakta).

Tapi rupanya kejaksaan tak percaya pada temuan BPKP. Jaksa Agung Hendarman Supandji tetap berpegang pada hasil audit keuangan final Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyatakan tidak ditemukan kerugian negara—ralat atas draf audit sementara yang menyebut kerugian negara Rp 122 miliar.

Walhasil, berkali-kali kejaksaan mengembalikan berkas perkara Eddie dkk. kepada polisi. Berkas Eddie bahkan bolak-balik hingga enam rit (lihat pula Jalan Berliku Tender Borang). ”Saya sampai lupa tuh nama PT-nya,” ujar Hendarman ketika anggota Komisi Hukum DPR menanyakan kasus ini pekan lalu. Buntutnya, perang pernyataan antara Hendarman dan Kapolri Jenderal Sutanto pun bertaburan di media massa.

Di Borang, desa perbatasan Kabupaten Palembang dan Banyuasin, pabrik setrum yang jadi kasus ini telah memanen listrik. PLN mencatat pembangkit ini menghemat biaya operasi perusahaan Rp 13 miliar per bulan, pada harga solar Rp 1.700 per liter.

Tapi ini bukan kisah tentang sumbangan pembangkit Borang. Investigasi Tempo, yang mendapat banyak bantuan dari Transparency for Indonesian Electricity (Trafic), LSM penggiat Forum Masyarakat Peduli Listrik, menemukan di Borang memang ada kecurangan. ”Dengan bukti-bukti baru ini, para tersangka tak mungkin lolos lagi,” kata sumber Tempo di tim penyidik kepolisian.

l l l

Surat Ali Herman kepada Johanes itu berklasifikasi rahasia. Isinya: ”... bahwa Perusahaan Saudara ditunjuk sebagai pemasok mesin pembangkit....” Apa istimewanya?

Surat penunjukan ini bertanggal 12 Juli 2004. Padahal, pengumuman pemenang mesin pembangkit Borang masih 10 hari lagi. ”Surat ini memang aneh. Mengindikasikan ada apa-apa di balik tender,” ujar seorang mantan petinggi PLN.

Namun kecurigaan ini disangkal PLN. ”Itu letter of intent (LoI), untuk negosiasi,” ujar Agus Darmadi, tersangka dan Ketua Panitia Pengadaan Pembangkit Borang, pekan lalu.

Pada hari itu, Ali Herman memang mengeluarkan perintah kepada panitia untuk bernegosiasi dengan Guna Cipta. Adakah udang di balik batu? Coba lihat setumpuk dokumen lain yang juga dimiliki Tempo.

Surat itu ternyata dikeluarkan atas permintaan Johanes guna melengkapi persyaratan pengajuan kredit dari Bank Mandiri. Dalam suratnya, Johanes mengatakan kredit diperlukan untuk membiayai pengadaan turbin gas di Palembang.

Disebutkan pula, pengadaan turbin itu bekerja sama dengan PLN. Surat permohonan kredit bertanggal 21 Juni, 10 hari sebelum pengadaan turbin di Palembang disetujui rapat direksi PLN, dan sebulan sebelum Guna Cipta diumumkan sebagai pemenang tender. ”Ini kan aneh?” kata Aryananda dari Trafic, ”Keputusan Direksi PLN belum dibuat, Johanes sudah mengajukan kredit ke Bank Mandiri.”

Jadi, patut diduga ada persekongkolan antara Johanes dan PLN dalam proyek ini: untuk merekayasa pengadaan turbin, dan sejak awal Johanes disiapkan menjadi pemenang lelang.

Merekayasa pengadaan turbin gas di Palembang memang bukan perkara sulit. Ketika itu Palembang dan sekitarnya sangat perlu tambahan turbin listrik, yang tidak pernah ada lagi sejak 1998. Memasuki 2004, pasokan listrik di Palembang dan sekitarnya kurang sekitar 253 megawatt. Saking parahnya, tak jarang listrik di wilayah Sumatera bagian selatan, Sumatera Barat, dan Riau byar-pet.

April, krisis kian buruk karena penurunan debit air di pembangkit listrik tenaga air. Delapan pembangkit listrik tenaga air di Sumatera bagian selatan hanya mampu memasok sepertiga dari kapasitas 710 MW. Padahal di depan ada hajatan besar: Pekan Olahraga Nasional XVI (September), pemilu (Oktober), dan Ramadan/Lebaran.

Ketika itu PLN juga terancam rugi besar akibat batalnya rencana relokasi turbin gas di Pulo Gadung, Jakarta, ke Borang. Pembatalan ini sangat merugikan, karena pengadaan gas untuk turbinnya sudah diteken dengan Medco.

Gas itu diperkirakan siap pakai pada Agustus. Karena pengadaannya dengan sistem take or pay (ambil atau bayar), PLN bisa rugi sekitar Rp 67,5 miliar jika gas tak terpakai.

Anehnya, jika kondisi memang sudah sedemikian gawat, kenapa proyek pengadaan turbin tak ada dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan PLN 2004? Karena sifatnya yang dadakan inilah, tak mengherankan jika banyak orang curiga bahwa proyek ini terkait dengan kepentingan politik tertentu menjelang pemilu.

Sayang, Johanes tidak bersedia memberikan keterangan tentang dugaan persekongkolan itu. Pengusaha Batam ini hanya menjawab pendek: ”No comment.” Jawaban dari Ali Herman pun idem ditto.

Toh, ada indikasi bahwa persekongkolan itu benar. Tengok saja surat Ali Herman kepada General Electric (GE) Power Systems. Dalam surat bertanggal 28 Juni itu, Ali Herman menanyakan ketersediaan TM 2500.

Esok harinya, rapat direksi PLN yang dipimpin Eddie Widiono langsung digelar. Dalam rapat itu, Ali pun mengusung usul bahwa untuk penambahan pasokan listrik perlu segera didatangkan turbin TM 2500—menunjukkan pemihakan direksi terhadap sebuah produk.

Jalan kian mulus setelah pada 1 Juli 2004 direksi PLN mengeluarkan persetujuan pengadaan turbin gas, yang akan dilakukan lewat pemilihan langsung atas sejumlah penawar. Ihwal berbagai dugaan patgulipat di balik tender itu, Eddie memilih tak angkat bicara. ”No comment,” ujarnya pendek ketika dicegat Tempo, Rabu pekan lalu, di Jambi. ”Semuanya sudah saya jelaskan kepada penyidik.”

Sayangnya, Ketua Tim Penyidik Kasus Borang, Ajun Komisaris Besar Polisi Achmad Sabri untuk sementara memilih irit bicara. ”Nanti saja di pengadilan,” ujarnya. Pengacara Eddie, Maqdir Ismail, pun hanya berujar singkat, ”Lihat saja jawaban sebelum-sebelumnya.”

Dalam surat balasan GE kepada Ali Herman pada 30 Juni, ada juga info ”menarik” dari perusahaan kelas dunia ini. Tertulis: ”No other TM 2500 is available in the marketplace….” Tapi, kata GE lebih lanjut, ”Ada dua TM 2500 yang telah diperuntukkan kepada Guna Cipta untuk keperluan PLN di Palembang, Sumatera Selatan”.

Nah, sekali lagi Palembang disebut-sebut sebelum PLN mengeluarkan keputusan resmi akan membangun pembangkit gas di sana. Johanes seperti pindah ke jalur cepat setelah surat GE itu datang. Mereka tinggal menunggu waktu pembukaan tender di Borang.

Tapi tunggu dulu. Masih ada ganjalan buat Guna Cipta, yaitu Keputusan Direksi Nomor 038 Tahun 1998. Berdasarkan aturan ini, pengadaan barang dan jasa di lingkungan PLN hanya bisa dipasok oleh rekanan perusahaan listrik negara itu. Padahal, Guna Cipta tidak termasuk.

Sebagai jalan keluar digunakanlah Keputusan Direksi Nomor 100 Tahun 2004. Menurut aturan baru ini, perusahaan yang ikut lelang tak harus masuk daftar rekanan PLN. Jadi, Guna Cipta dimungkinkan untuk mengikuti proses tender Borang.

Mengacu pada aturan baru ini, direksi PLN pada hari yang sama memutuskan pengadaan turbin akan dilakukan lewat pemilihan langsung. Kedua keputusan penting itu tertuang dalam keputusan direksi PLN yang ditandatangani Ali Herman dan Agus Darmadi, selaku ketua panitia pengadaan pembangkit Borang.

Penggunaan aturan baru ini sebagai dasar tender pada akhirnya juga meruapkan aroma adanya ketidakberesan di balik proyek Borang. Sebab, meski sudah diteken pada 7 Juni, keputusan nomor 100 itu sejatinya baru berlaku resmi pada 1 Agustus.

l l l

Sekarang mari kita memeriksa dokumen penawaran. Penawaran Guna Cipta sungguh aneh. Mereka hanya memberikan perincian pembayaran, bukan harga penawaran seperti dipersyaratkan. Harga jualnya pun kelewat mahal: US$ 30,1 juta, dengan cicilan pembayaran empat tahun.

Menurut keterangan tertulis Ali Herman yang disampaikan setelah ia bebas dari bui, harga tawaran Guna Cipta tidak beda jauh dengan harga perkiraan PLN. Tapi coba bandingkan dengan harga yang diberikan GE kepada Magnum Enterprises Pty. Ltd. Perusahaan asal Australia itu cuma perlu merogoh US$ 16,5 juta dari koceknya untuk bisa membeli dua turbin itu.

Asal tahu saja, Magnum merupakan perantara Guna Cipta dan GE dalam pengadaan dua turbin TM 2500 untuk Borang. Peran perusahaan milik David McDonald ini dibutuhkan khususnya guna memuluskan transaksi jual-beli turbin antara Guna Cipta dan GE, yang pola pembayarannya dilakukan lewat mekanisme letter of credit (L/C) dari Bank Mandiri ke Westpac Bank.

Untuk bisa menentukan mahal-tidaknya harga jual dua turbin itu, sumber Tempo di PLN membisikkan perlu ditelusuri jejak rekam perjalanan kepemilikannya. ”Dari sana bakal terlihat seberapa besar kickback alias komisi yang biasanya dinikmati para broker,” ujarnya.

Jurus untuk mendulang untung itu biasanya dilakukan dengan pola: panjangkan rantai distribusi, dan naikkan harga sedikit-sedikit. Bisa jadi, pola ini juga yang diterapkan dalam proses pengadaan dua turbin Borang. Lihat saja alur transaksi dan perjalanan harganya.

Pada 10 Juni 2004, atas permintaan Johanes, GE menawarkan satu TM 2500 seharga US$ 8,4 juta untuk ditempatkan di Batam. Lima hari kemudian GE—yang telah menjual lebih dari 100 turbin aneka jenis di Indonesia—merevisi harga menjadi US$ 7,9 juta per unit atau US$ 15,8 juta untuk dua unit. Saat itu Johanes membeli turbin masih untuk PT Nusatama Properta Panbil, perusahaan propertinya di Batam—bukan untuk Guna Cipta.

Ketika kontrak pembelian turbin bernomor ID-LF-204-00-0012-3 itu ditandatangani pada 16 Juni, status Panbil berubah menjadi pengguna (end user). Sedangkan pembelinya berubah menjadi Magnum Power, unit bisnis Magnum Enterprise, Australia.

Penyebabnya? ”L/C lokal tidak dipercaya,” ujar Ali Herman dalam lembar pernyataan yang dikantongi Tempo. GE memang meminta jaminan dari bank asing untuk pelunasan pembayaran kedua unit turbin tersebut. Sementara Johanes tak punya hubungan dengan bank asing. Maka tampillah David McDonald, Managing Director Magnum, yang menggandeng Westpac Bank.

Tapi lihat akibatnya! Mata rantai transaksi kian panjang. Panbil pun kini harus membeli kedua turbin dari Magnum US$ 23,7 juta. Alhasil, harga Panbil ke PLN pun kian mahal. Terbukti, belakangan Johanes menawarkan turbin itu ke PLN lewat perusahaan lainnya, Guna Cipta, sekitar US$ 30 juta

Celakanya, turbin yang didatangkan pun ternyata diketahui bukan barang gres, melainkan bekas pakai, sehingga harganya diturunkan menjadi US$ 27 juta. Pengirimannya telat pula. Mesin baru beroperasi pada Desember, setelah PON dan pemilu usai.

Sejarah harga TM 2500 inilah yang kemudian menjadi dasar tudingan BPKP bahwa ada penggelembungan harga dalam transaksi jual-beli turbin Borang. ”Kasus ini sebetulnya sederhana. Kalau PLN bisa memesan turbin langsung dari General Electric, kenapa harus lewat perantara?” ujar Deputi Bidang Investigasi BPKP Suradji (lihat wawancara Kerugian Negara Adalah Fakta).

Tapi mengapa kejaksaan tidak sependapat dalam soal penggelembungan ini? Gara-garanya, ya itu tadi, kenaikan harga dianggap wajar karena disebabkan oleh panjangnya mata rantai distribusi turbin itu. Namun kejaksaan agaknya melupakan sebuah fakta penting: pihak-pihak yang terlibat dalam mata rantai itu saling terkait. Panbil dan Guna Cipta sama-sama dimiliki oleh Johanes. Sedangkan McDonald, seperti tertuang dalam daftar susunan pengurus dan komisaris Guna Cipta yang diterbitkan Maret 2005, tercatat pula sebagai pemilik saham (dan komisaris) Guna Cipta.

Besar kemungkinan, Magnum pun cuma perusahaan kertas yang bertindak sebagai broker. Terbukti dari aliran dana transaksi, Panbillah yang membayar uang muka US$ 150 ribu langsung ke GE. Sedangkan sisanya US$ 16,35 juta dibayarkan Guna Cipta ke GE lewat fasilitas L/C Bank Mandiri. ”Jadi, sesungguhnya tak ada peran Magnum,” kata Aryananda.

Ketika dimintai konfirmasi, McDonald berkelit dengan menyatakan telah terjadi kesalahan prosedur pembayaran oleh Panbil. ”Dalam kontrak jual-beli dengan GE yang ditandatangani juga oleh Panbil, uang muka itu harusnya dikirim via Magnum sebagai pembeli,” katanya.

Masih ada kejanggalan lain dalam jual-beli turbin itu. Beberapa hari setelah pembayaran uang muka, Johanes memberi tahu GE bahwa pengimpor barang adalah Guna Cipta, bukan Panbil. Lalu, ada kontrak misterius antara Magnum dan Guna Cipta.

Kontrak itu bernomor sama seperti kontrak antara GE Rental Asset Holding dan Magnum, yakni ID-LF-204-00-0012-3. Yang paling aneh, kontrak diterbitkan enam bulan sebelum jual-beli antara GE dan Panbil, yakni 5 Januari 2004. Jika benar begitu, patut diduga bahwa Johanes dan McDonald jauh-jauh hari sudah dapat ”bocoran” rencana pengadaan turbin itu. Karena itulah sisa turbin TM 2500 pun buru-buru diborongnya dari GE.

Ali Herman pernah menjelaskan soal nomor ganda ini. Dia mengatakan, pada akhir 2003 Magnum menjajaki pemasangan TM 2500 di Batam. Magnum pun meng-indent turbin ini kepada GE. Magnum memakai nomor ini sebagai referensi kontrak pemasangan itu dengan Guna Cipta. Masalahnya, kenapa nomor yang diterbitkan dalam kurun yang berbeda itu sama persis?

l l l

Pada Jumat pekan lalu di Istana Wakil Presiden. Tiga pejabat yang tengah berseteru dalam kasus Borang: Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutanto, dan Kepala BPKP Didi Widayadi menandatangani nota kesepahaman penanganan kasus tindak pidana korupsi. ”Dengan kesepakatan ini tidak akan terjadi lagi bolak-balik perkara yang ditangani oleh penyidik maupun penuntut umum,” kata Hendarman dalam jumpa pers seusai acara itu.

”Apakah ini termasuk kasus Borang?” tanya Tempo, yang mendapat kesempatan bertanya di ujung acara.

Hendarman terkejut. ”Kasus Borang itu tidak bolak-balik. Sudah diterima kejaksaan, tinggal pelimpahan saja,” ujarnya. Sayang, dia tak menyebutkan kapan dan ke mana berkas akan dilimpahkan.

Bolong Borang

  • Pembelian turbin dirancang sebelum tender
  • Pembelian turbin tak teranggarkan dalam RKAP PLN 2004
  • Pemenang tender dipilih langsung
  • Pemenang tender bukan rekanan PLN
  • Penunjukkan pemenang tender dilakukan sebelum proses selesai
  • Penunjukkan pemenang tanpa keputusan rapat direksi PLN
  • Pembelian Tidak menggunakan jalur langsung ke produsen
  • Prakiraan harga mengacu pada harga turbin baru, padahal barang bekas.
  • Tidak membandingkan dengan harga resmi produsen
  • Penggelembungan harga
  • Persetujuan komisaris keluar setelah tender
  • Mesin molor empat bulan
  • GCM mengemplang pajak 1999-2003

Jalan Berliku Tender Borang

2004 5 Januari PT Guna Cipta Mandiri (GCM) meneken kontrak dengan Magnum Enterprises Pty. Ltd. (Australia) untuk membeli turbin TM 2500 senilai US$ 23,2 juta

10 Juni Johanes Kennedy Aritonang, pemilik GCM, meminta Ge­neral Electric (GE) me­ngirim proposal ke perusahaannya yang lain, PT Nusatama Properta Panbil, untuk pem­be­lian satu unit turbin senilai US$ 8,4 juta.

15 Juni GE mengirim ulang proposal dengan jumlah mesin menjadi dua. Harga direvisi menjadi US$ 7,35 juta, US$ 700 ribu ongkos kirim, US$ 500 ribu instalasi.

16 Juni Setelah GE meminta ada jaminan bank asing, kontrak direvisi menjadi Magnum sebagai pembeli dan Panbil sebagai pengguna. David John McDonald, Direktur Magnum, menggandeng Westpac Bank. Harga direvisi menjadi US$ 16 juta untuk dua unit plus US$ 500 ribu biaya angkut.

18 Juni Panbil membayar uang muka US$ 150 ribu kepada GE. Sisa US$ 16,35 dijamin letter of credit Bank Mandiri cabang Lubuk Baja, Batam.

21 Juni Johanes memberitahu GE bahwa GCM importir mesin yang punya kerja sama dengan PLN, sebulan sebelum tender. GCM hari itu juga mengajukan permohonan kredit ke Bank Mandiri. GCM memakai angka pengenal impor milik PLN.

28 Juni Deputi Pembangkitan PLN Ali Herman Ibrahim mengirim faksimile kepada GE Power System, menanyakan ketersediaan TM 2500.

29 Juni Dalam rapat direksi PLN, Ali Herman usul membeli dua mesin TM 2500 dari GE untuk mengatasi krisis setrum di enam provinsi, pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional, dan pemilihan presiden tahap II. Direktur Utama Eddie Widiono meminta analisis pengadaan seperti saat membeli turbin Indralaya 2.

30 Juni GE membalas faks Ali bahwa dua mesin tersedia dan sudah dibeli GCM yang akan dipasang di pembangkit PLN di Palembang. PLN membentuk panitia pengadaan TM 40 MW dan menetapkan metode pemilihan langsung.

Tender dimulai

1 Juli Rapat direksi setuju membeli TM 40 MW. Mengundang Indo Turbine, Rolls Royce, dan GCM.

8 Juli GCM menyatakan sanggup mengadakan TM 2500 yang dipesan PLN. PLN tak mengecek harga pabrikan dari GE. Harga dibandingkan dengan mesin Indralaya 2.

12 Juli Ali Herman meneken surat penunjukan pelaksanaan pengadaan TM 2500 2 x 20 MW. Surat itu diminta Johanes untuk melengkapi syarat pengajuan kredit ke Bank Mandiri.

13 Juli Eddie Widiono memin­ta persetujuan Dewan Ko­misaris untuk pengadaan turbin Borang.

22 Juli Ali Herman mengirim surat penunjukan GCM sebagai pelaksana pengadaan turbin.

28 Juli Eddie meneken kontrak Borang US$ 29,56 juta.

Agustus Borang dibiayai dari anggaran belanja tambahan.

5 Agustus Pembayaran pertama US$ 2 juta.

26 Agustus Dewan Komisaris baru menyetujui pembelian turbin Borang.

2-14 September PON XVI Palembang. Turbin belum beroperasi.

Akhir Oktober Mesin tiba di Borang

3 November Mesin ditemukan dalam kondisi bekas pakai 1.000 jam di Gana.

9 November Pembayaran uang muka kedua US$ 1,18 juta.

12 Desember Mesin siap pakai.

31 Desember Nilai kontrak US$ 29,56 juta dicatat sebagai aktiva. BPK menemukan harga kemahalan US$ 11 juta.

2005 3 Januari Ali Herman meminta pengurangan harga US$ 2.664.442 ke GCM.

2006 6 Januari GCM setuju pengurang­an US$ 929.600

Januari-Mei Agus, Johanes, Ali, dan Eddie ditahan sebagai tersangka.

10 Mei Kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada polisi.

Juli BPKP menyerahkan hasil audit Borang. Kerugian negara Rp 24 miliar hingga angsuran ke-14.

31 Agustus Masa penahanan Eddie habis. Kapolri menilai indikasi korupsi kasus ini sangat jelas.

11 September Jampidsus Hendarman Supandji mengatakan kasus Borang tak merugikan negara.

13 Oktober KPK siap mengambil alih.

2007 8 Juni Pengacara PLN meminta kejaksaan menghentikan pengusutan.

28 September Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan melimpahkan kasus Borang ke pengadilan.

Sumber : PLN, Trafic

Kerugian Negara

Polisi membekukan rekening PLN di Bank Mandiri pada Maret 2006 sehingga pembayaran cicilan terhenti pada tahap ke-14. Saat itu, PLN sudah membayar uang muka dan cicilan plus bunga sebesar US$ 13,94 juta.

Padahal, jika mengacu pada harga yang diterima PLN berdasarkan harga kontrak antara Magnum Enterprises Ltd. dan General Electric, nilai dua mesin bekas itu sampai terpasang hanya US$ 20,64 juta. Sehingga jika mengacu harga ini mestinya pada bulan ke-14 itu PLN hanya membayar US$ 11,31 juta.

Alhasil terdapat kerugian negara US$ 2,63 juta atau setara Rp 23,7 miliar. Jika kasus ini tak tercium polisi dan PLN terus membayar cicilan hingga bulan ke-48 alias tahun keempat, dengan harga US$ 27,17 juta, uang PLN menguap sia-sia US$ 6,54 juta atau setara Rp 58,9 miliar. Berikut rinciannya:

ItemHarga (US$)
Harga mesin TM 250016.000.000,00
Biaya Pemasangan dan Komisioning500.000,00
Biaya training70.000,00
Biaya persiapan lokasi221.884,39
16.791.884,39
Risiko, Biaya Overhead, Untung 10%1,679.188,44
Sub Total18.471.072,83
Bunga 8% selama 4 tahun cicilan2.167.101,65
Total20.638.174,48
Harga mesin dalam kontrak27.174.702,00
Potensi kerugian negara6.536.527,52

Tim Investigasi Penanggung Jawab: Metta Dharmasaputra Kepala Proyek: Yosep Suprayogi Penyunting: Metta Dharmasaputra, Hermien Y. Kleden, M. Taufiqurohman Penulis: Yosep Suprayogi, Bagja Hidayat, Philipus Parera, Ramidi, Metta Dharmasaputra Penyumbang Bahan: Dewi Anggraeni (Adelaide), Ali Nuryasin (Jakarta), Fanny Febiana (Jakarta), Rika Panda (Jakarta), Arif Ardiansyah (Palembang), Erick Priberkah Hardi (Bandung), Syaiful Bukhori (Jambi) Periset Foto: Arif Fadillah Desainer: Anita Lawudjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus